"Bercanda? Maaf, tapi aku tidak sedang bercanda saat ini, wahai pemuda. Terserah kau mau percaya atau tidak pada penjelasanku, tapi yang jelas, hidupmu akan berakhir di sini."
Saat pedang itu akan diayunkan ke kepala Zebra, lelaki itu buru-buru kabur dari hadapan Merry dengan secepat kilat. Dia berlari kencang seperti pencuri yang dikejar-kejar warga, napasnya tersengal-sengal disetiap langkahnya, menerobos setiap ranting yang menghalangi jalannya untuk pergi sejauh mungkin dari keberadaan Merry.
"Ini tidak bagus! Aku harus lari! Dari melihat matanya saja, aku sudah yakin kalau dia bukan gadis biasa! Jika aku tetap di sana, nyawaku bisa terbunuh! Aku belum mau mati! Sialan!"
Zebra terus melangkahkan kakinya secepat mungkin, kecepatannya sudah hampir setara dengan seekor rusa, namun sayangnya,
BLETAK! BUAG!
Kaki kirinya tersandung batu yang membuatnya jatuh terguling-guling di tanah berumput hijau ini. Ranselnya sobek karena tergores ranting tajam di pohon yang dilewatinya dan semua isinya berjatuhan. Dan akhirnya Zebra sadar kalau sekarang dirinya sedang berada di zona 'sulit'.
"Aw! Kakiku lecet, sialan!" Kedua betisnya terluka, rasa sakitnya berdenyut-denyut, membuat Zebra sangat kesal. "Tapi syukurlah, aku bisa pergi dari gadis mengerikan itu! Aku yakin, dia pasti sedang mengejarku, kalau begitu, aku harus cepat-cepat keluar dari hutan ini."
☆ ☆ ☆
Karena ranselnya telah rusak, dia terpaksa hanya membawa benda-benda penting saja digenggamannya, yaitu kotak makanan, air sebotol, dan beberapa alat untuk membuat tenda.
Dia berjalan pincang karena kakinya sedang dalam kondisi tidak memungkinkan, walaupun begitu, Zebra masih tetap semangat untuk terus berpetualang. Padahal, bisa saja dia kembali ke desa Sugela karena jaraknya masih tidak terlalu jauh untuk pulang, tapi kenekatannya masih membumbung tinggi, begitulah sifat seorang lelaki bernama Zebra.
TRAK!
Suara pedang terdengar di belakang tubuhnya, membuat pergerakan Zebra terhenti seketika.
"Target telah ditemukan. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan selain mati, wahai pemuda."
"Tu-Tunggu! Kumohon, tunggu sebentar!" Zebra ingin berbicara dulu agar Merry tidak langsung menebas kepalanya.
Mendengarnya, Merry tersenyum dari balik penutup mulutnya. "Kelihatannya kau sedang ketakutan? Baiklah, aku beri kau kesempatam untuk berbicara. Ayo, bicaralah."
"Terima kasih banyak!" Zebra tersenyum lega mendengarnya. "Tolong maafkan aku! Aku telah mengatakan hal yang tak pantas tentang dirimu. Walaupun kau seorang gadis, tidak seharusnya aku berkata demikian! Aku benar-benar minta maaf! Tapi, kumohon, jangan membunuhku! Aku masih punya mimpi! Aku harus menggapai mimpi itu! Jika tidak ... Jika tidak aku akan membuat mereka semua kecewa."
Saat ini, Zebra sedang bersujud di hadapan Merry seperti seorang hamba yang menyembah dewa. Dia terpaksa melakukan itu agar Merry tidak membunuhnya karena dia masih punya misi untuk diselesaikan.
"Mimpi?" Merry penasaran. "Apa mimpimu itu, wahai pemuda?"
"Pergi ke Negara Indonesia untuk mendapatkan pusaka bernama Glory More!" jawab Zebra dengan lantang. "Jadi, kumohon padamu ...."
"Indonesia? Glory More? Jadi begitu, ya? Kau masih termasuk ke dalam tipe-tipe orang yang mudah masuk ke dalam jebakan."
Mendengar Merry berkata demikian membuat Zebra menengadahkan kepalanya, menatap wajah Merry dengan raut tidak mengerti.
"Ap-Apa maksudmu?"
Merry langsung berjongkok dan mengusap rambut jabrik Zebra dengan lembut. "Mimpimu itu tidak akan pernah bisa terwujud," bisik Merry pada Zebra. "Karena Negara Indonesia maupun Pusaka Glory More dari awal memang tidak pernah ada."
"Ap-Apa!? Glory More dan Negara Indonesia dari awal tidak pernah ada!? Kau berbohong, 'kan? Kau pasti sedang membohongiku,'kan!?"
Zebra terlihat kesal mendengar bisikan Merry yang mengatakan kalau mimpinya tidak akan bisa terwujud karena dari awal semua itu tidak pernah ada. Alhasil, karena terpikat dengan mimpinya, Zebra tidak terima Merry berkata demikian, dia memaksanya untuk mengaku kalau perkataannya hanyalah kebohongan.
Tapi Merry langsung berdiri tegak dan menginjak pergelangan tangan Zebra dengan memelototkan matanya. "Menyerahlah, wahai pemuda. Mimpimu telah berubah menjadi angan-angan belaka yang jelas tidak mungkin bisa diraih, bisa dibilang, mimpimu itu hanyalah sebuah cerita dongeng. Aku tahu, kau pasti berat menerimanya, tapi aku harus mengatakan kebenarannya padamu."
"Bodoh sekali aku ini?" Zebra mulai bangkit dari posisi sujudnya, kemudian berdiri tegak menghadap Merry seraya menunjukkan muka marahnya. "BODOH SEKALI AKU INI JIKA MEMPERCAYAI OMONG KOSONGMU!"
Merry tersentak mendengarnya. "Heh? Jadi maksudmu, kau tidak mau menerima kenyataan dan masih ingin pergi ke tempat khayalanmu itu? Aku menyesal membiarkanmu hidup, tapi terserahlah, aku tidak peduli. Tugasku sebagai malaikat pembunuh sudah berakhir, aku akan pulang. Kalau begitu, hati-hati diperjalananmu, wahai pemuda."
Dan secara mengejutkan, Merry menghilang tertiup angin dari hadapan Zebra dan betapa teledornya gadis itu karena menjatuhkan pedangnya sebelum pergi, membuat Zebra mengambil senjata tersebut.
"Mungkin dia sengaja memberikan pedang ini untukku. Terima kasih, Merry. Tapi kurasa dia bukan malaikat, mungkin lebih pantas kujuluki sebagai Samurai." Zebra memandang pedang tersebut. "Lihat saja! Akan kubuktikan padamu kalau mimpiku akan menjadi kenyataan! INGAT ITU!
Kemudian, Zebra membawa pedang itu di punggungnya dan kembali melanjutkan perjalanannya menyusuri hutan lebat ini sendirian, walaupun kakinya terluka, Zebra terus berjalan.
Tapi dia tidak tahu kalau sebenarnya, Merry sedang mengawasinya dari atas pohon.
"Aku akan mengikuti mimpi konyolmu itu, wahai pemuda."
Karena lelah berjalan seharian, Zebra memutuskan untuk istirahat sejenak di bawah pohon yang rindang, dia juga membangun tenda di sana, awalnya dia kesulitan membuat tenda sendirian, tapi syukurnya dia berhasil. Kini, Zebra sedang menyantap makanannya di kotak bekal itu di dalam tenda, nikmat sekali rasanya saat rasa lelahnya hilang setelah memakan bekalnya tersebut.
Tubuhnya sudah kembali berenergi, yang harus dia lakukan sekarang adalah membuat api unggun, tapi jika dipikir-pikir, api unggun hanya akan mengundang binatang buas datang, mungkin lebih baik jangan.
Zebra pun tidak membuat api unggun, malam ini dia langsung tidur nyenyak di dalam tenda setelah menghabiskan makanannya.
Berawal dari 'istirahat sejenak', menjadi 'istirahat semalaman'.
☆ ☆ ☆
Sruk ... Sruk ... Sruk.
Bunyi langkah kaki yang mendekat di luar tenda membuat suasana malam menjadi seram, padahal ini masih tengah malam, tapi Zebra terbangun karena mendengar suara tersebut.
"Sialan, bulu kudukku berdiri semua. Aku penasaran, siapa orang yang sedang berjalan-jalan di luar tenda pada malam gelap gulita seperti ini?"
Zebra sempat berpikir mungkin itu adalah suara langkah rusa atau badak yang melewati tendanya karena tertarik dengan cahaya lampu di dalam tenda, tapi anehnya, suara itu lebih terdengar seperti orang yang sedang mundar-mandir.
"Apa aku periksa saja, ya?"
Zebra tidak yakin soal itu, tapi dia tidak mau tidurnya terus-terusan diganggu oleh suara tersebut.
Sreeek ...
Dengan sedikit keberanian, Zebra pun membuka resleting tendanya dan pelan-pelan dia mengintip suasana di luar dan ternyata,
"WAAAA!!! AP-APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?"
Ada sesosok gadis telanjang bulat yang sedang berdiri di depan tendanya, membuat Zebra secara spontan menjerit.
"Jadi begitu, ya? Kau takut pada tubuh halusku ini, wahai pemuda. Kupikir, seorang lelaki akan terangsang setelah melihat wanita telanjang, tapi sepertinya dugaanku salah."
"BODOH! CEPAT PAKAI PAKAIANMU! KAU MEMBUATKU KAGET!" Zebra langsung cepat-cepat menutup kembali tendanya, mukanya saat ini memerah, antara kaget dan senang.
"Apa-apaan dia? Malam-malam begini telanjang? Apa dia tidak kedinginan? Huhhh~ tenanglah, aku harus--"
"Pemuda, aku sudah memakai pakaianku. Bolehkah aku ikut bergabung untuk istirahat di tenda buatanmu?"
Sreeek ...
Zebra membuka kembali tendanya, lalu matanya menatap lekat-lekat wajah Merry. "Boleh, tapi kalau terjadi apa-apa, aku tidak mau tanggung jawab."
Merry mengangguk.
☆ ☆ ☆
"Maaf jika suara langkahku membangunkanmu, sebenarnya, dari tadi aku sedang berjaga di depan tendamu agar tidak ada binatang buas yang mendekatimu. Tapi sayangnya, tidak ada satu pun binatang yang muncul, karena bosan, aku malah mundar-mandir tidak jelas."
Setelah Merry masuk ke dalam tenda, mereka berdua pun terlibat dalam obrolan seputar masalah yang tadi.
"Haah? Kau berjaga agar tidak ada binatang buas mendekatiku? Apa maksudnya itu? Bukankah kau membenciku? Lalu mengapa pakaianmu harus dilucuti segala!?"
Merry tersenyum. "Memang benar, aku tidak suka orang bodoh yang terlena dalam mimpi konyol sepertimu, tapi entah kenapa, itu malah membuatku tertarik padamu. Jadi, aku mengawasimu dari kejauhan untuk memastikan kondisi mentalmu. Tapi jangan salah paham, aku melakukan ini agar kau tidak melenceng dari mimpimu, aku hanya ingin melihat wajah putus asamu saat tahu kalau semua itu tidak pernah ada," kata Merry dengan datar. "Soal aku yang telanjang, kau tidak perlu tahu, karena kami para gadis punya rahasia sendiri."
"Hmmm." Zebra tidak yakin pada jawaban Merry.
"Agar komunikasi kita bisa berjalan lancar, bolehkah aku mengetahui namamu?" tanya Merry pada Zebra dengan menatap mata lelaki tersebut.
"Aku Zebra."
"Nama yang payah."
"SIALAN!"
Zebra dan Merry terlelap di bawah tenda, mereka tidur bersama dengan memeluk satu sama lain, persis seperti sepasang suami istri.
"Sudah pagi, ya?" Zebra mengerjap-erjapkan matanya dan terkejut pada Merry yang sedang memeluk badannya dalam tidur. "AP-APA-APAAN INI! MENGAPA KAU TIDUR BERDUA DENGANKU!" Zebra langsung keluar dari tenda buru-buru.
Merry terbangun dan kaget karena mendengar suara teriakan Zebra. "Ada apa, Zeb? Sepertinya kau menjerit lagi."
"Zeb? Siapa yang mengizinkanmu menggunakan nama 'Zeb' untuk memanggilku! Tapi yang lebih penting, mengapa kau tidur seranjang denganku! Seharusnya kau berhati-hati jika tidur bersama lelaki, sialan!"
Merry tiba-tiba memasang muka mengejek. "Kau berteriak begitu tanpa sadar kalau celanamu melorot dan burungmu terlihat jelas di mataku, Zeb. Oh, burungmu sedang berdiri rupanya."
"SIALAN!!!"
☆ ☆ ☆
Melupakan kejadian memalukan tadi, hari ini, Zebra akan melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda. Namun, kali ini dia tidak sendirian, seorang gadis menemaninya dalam berpetualang.
"Zeb, sebentar lagi kita akan keluar dari hutan ini, setelah itu, kita akan ke mana?" tanya Merry.
Mereka berdua berjalan berdampingan, melewati pepohonan dan beberapa sungai.
"Entahlah, aku juga tidak tahu."
Merry tersenyum. "Bagaimana kalau kita mampir sebentar di rumahku?"
"Rumahmu? Jadi kau juga punya rumah, ya?"
"Bodoh. Tentu saja aku punya."
"Apa keluargamu tinggal bersamamu?"
Merry menundukkan kepalanya. "Keluargaku telah terbunuh oleh para bandit kampungan."
"Ah, maaf." Zebra merasa bersalah karena menanyakan soal itu.
"Tidak apa-apa. Lagipula, aku sudah melupakannya."
"Oh, ya, ini pedangmu, kau meninggalkannya saat akan menghilang kemarin." Zebra memberikan pedang itu pada Merry.
"Terima kasih." Merry menerima pedang tersebut.
"Ngomong-ngomong," ucap Zebra. "Kau berasal dari desa mana?"
"Aku berasal dari desa air terjun, tapi sayangnya desa itu sudah binasa karena p*********n bandit dua tahun yang lalu. Jadi, sekarang aku tinggal di bawah reruntuhan."
"Re-Reruntuhan?" Zebra terkejut.
"Jadi, ini yang dimaksud reruntuhan adalah rumahmu?"
Zebra dan Merry telah keluar dari hutan dan kini mereka sedang memandangi reruntuhan tembok yang katanya adalah rumah Merry. Sejauh yang Zebra lihat, dia tidak menemukan apa pun selain tembok dan tiang yang hancur, karena hal itu dia bingung, sebenarnya apa yang ada di pikiran Merry sampai menganggap kalau tempat antah berantah ini sebagai rumahnya?
"Eng ... Merry, maaf jika pertanyaanku sedikit menyinggung, tapi di mana tempat yang kau sebut-sebut rumah itu?"
Merry menoleh dan tersenyum tipis pada Zebra. "Kau ini sangat bodoh, ya?" Merry maju selangkah dan merentangkan kedua tangannya. "Ini semua adalah rumahku. Mungkin agak sedikit berantakan, tapi anggap saja rumah sendiri, ayo ikuti aku."
"Agak sedikit berantakan, dia bilang? Menurutku sih, ini super berantakan." gumam Zebra disertai wajah masam.
"Apa tadi kau bilang sesuatu?" tanya Merry sambil memiringkan kepalanya.
"Ahaha! Tidak-tidak, lupakan saja." Zebra cemas jika ucapannya terdengar oleh Merry karena gadis itu sangat berbahaya jika sedang marah.
"Baiklah, sekarang, kita ke kamarku."
"Kamar?"
Merry menggeser sebuah tembok kotak yang menghalangi lantai, saat benda itu sudah tergeser, ternyata di bawahnya bukan lantai melainkan tangga yang turun ke bawah.
Lalu Merry menuntun Zebra untuk ikut menuruni tangga tersebut. Suasana gelap mulai terlihat ketika mereka semakin turun, sampai akhirnya sampai juga di lantai dasar.
Lampu-lampu yang terbuat dari obor tergantung di langit-langit, entah mengapa, setelah memasuki tempat ini membuat perasaan Zebra tidak tenang.
"Selamat datang di kamarku, Zeb." ucap Merry sambil membalikkan badan, menyambut Zebra yang baru masuk ke dalam kamar gelapnya.
"Kau bilang ini kamar, tapi menurutku, tempat ini lebih pantas disebut sebagai tempat pemujaan setan, soalnya gelap sekali, bahkan aku tidak bisa melihat kasur atau pun benda-benda kamar lainnya."
"Kasur? Kau ini bicara apa sih? Aku selalu tidur di lantai karena tidak mungkin gembel sepertiku bisa membeli kasur."
"Jadi kau itu seorang gelandangan?" Zebra semakin terkejut atas hal itu. "Lalu dari mana kau mendapatkan pakaian, makanan, pedang, dan yang lainnya jika kau itu seorang gelandangan?"
"Bodoh. Kau kira aku ini pengangguran? Tentu saja aku mendapatkan semua ini dari hasil bekerja."
"Bekerja? MENGAPA KAU MENYEBUT DIRIMU GEMBEL, SIALAN! Tapi, Jika kau memang bekerja, mengapa kau tidak membeli kasur untuk tempat tidurmu?!"
"Aku tidak suka yang empuk-empuk, lantai lebih nikmat."
"Oh ya Tuhan, baru kali ini aku bertemu dengan seorang gadis semengerikan dia."
☆ ☆ ☆
Selesai berkeliling di kamar Merry, Zebra kembali keluar dari sana untuk melanjutkan perjalanan dan berusaha melupakan sifat anehnya Merry.
"Terima kasih atas kunjungannya. Lain kali, bawa tiketnya juga, ya, Tuan Zeb?"
"TIDAK AKAN ADA ORANG YANG MAU MEMBELI TIKET HANYA UNTUNG MASUK KE DALAM KAMAR GELAPMU ITU! SIALAN!"
"Ahahahah! Baru kali ini aku bisa tertawa. Kau memang menarik, Zeb." kata Merry dengan tertawa riang.
Setelah berkunjung ke reruntuhan tempat tinggal Merry, Zebra pun memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Kali ini, mereka sengaja mampir ke sebuah bar terlebih dahulu, memesan dua gelas minuman, Merry dan Zebra duduk di meja bar dengan nyaman.
"Jadi begitu, ternyata kau suka minum-minuman keras, ya?" duga Merry dengan memangku dagunya di telapak tangan.
"Aku tidak memesan minuman seperti itu! Yang aku pesan hanya dua gelas jus jeruk, kok!"
Entah mengapa, karena mereka semakin dekat, Zebra sedikit demi sedikit menganggap Merry sebagai sahabatnya. Namun, dia masih belum tahu seluk beluk kehidupan Merry lebih dalam, karena itulah, dia sengaja masuk ke tempat ini untuk menanyakan sesuatu pada gadis bertopi petani itu.
Saat pesanan mereka sudah tiba, Zebra langsung bertanya ketika Merry sedang menikmati jus jeruk tersebut.
"Ada hal yang ingin kutanyakan, apa kau bersedia menjawabnya, Merry?" Merry menoleh, memandangi wajah Zebra yang agak mencurigakan, dan akhirnya dia mengerti.
"Tidak masalah. Katakan saja, Zeb." jawab Merry dengan terus menyedot minuman asam manis tersebut.
"Kau pernah bilang, kan? Kalau kau sudah membunuh banyak petualang amatir karena mereka menganggapmu sebelah mata ketika kau menunjukkan wujudmu pada mereka. Aku ingin bertanya, apa yang kau rasakan setelah menebas mereka semua hingga mati?"
Merry tersenyum, melepaskan capitan bibirnya dari gelas dan merespon hal itu dengan wajah santai. "Menyenangkan. Itulah yang aku rasakan setelah membantai mereka semua. Tapi aku heran, mengapa tiba-tiba kau bertanya begitu, Zeb? Apakah kau ragu menganggapku sebagai rekanmu? Santai saja, aku ini manusia, kok. Aku bukan monster yang membunuh siapa pun tanpa pandang bulu. Selama kau baik padaku, aku juga akan baik padamu."
"Tapi, aku juga penasaran, kenapa kau selalu menyambut petualang-petualang baru yang masuk ke hutan itu dan membunuh mereka semua saat mereka mengatakan hal yang buruk padamu? Apa yang sebenarnya kau inginkan dari 'menyambut' mereka?"
"Apa yang kuinginkan?" Merry hampir tertawa mendengarnya. "Aku sengaja melakukan itu karena ingin mencari seorang teman. Setelah semua orang di desa terbunuh, aku hidup sendirian, karena ingin mengisi kekosongan di kehidupanku, makanya aku ingin mencari seorang teman. Karena itulah aku berpikir, mungkin dengan diam di batas masuk hutan, mungkin banyak orang baru yang akan kutemui di sana dan mungkin saja salah satunya akan menjadi temanku, tapi sayangnya, dua belas bulan aku menunggu, yang aku temukan hanyalah para petualang bodoh yang menilai seseorang dengan sebelah mata."
Zebra tersentak mendengarnya. "Dan sekarang, apakah kau sudah menemukan apa yang kau inginkan?"
Merry menatap dan tersenyum pada Zebra. "Sepertinya sih begitu."
"Lalu, apa pekerjaanmu? Kau bilang kau bekerja,'kan?" tanya Zebra pada Merry ketika mereka masih duduk-duduk di dalam bar ramai itu.
"Pekerjaan? Mengapa kau menanyakan soal itu?" Merry balik bertanya pada Zebra, mendengar respon tersebut membuat Zebra agak canggung.
"Me-Memangnya tidak boleh, ya? Jika aku bertanya soal itu? Apa pekerjaanmu itu sebuah rahasia?"
Merry menghela napas, kemudian dia memesan pada bartender wanita di depan. "Tolong, jus jeruknya lagi." Lalu menoleh pada Zebra. "Aku bekerja sebagai seorang perampok."
Zebra terbelalak mendengarnya, dia sampai berdiri dari kursinya sambil menggebrak meja bar hingga semua orang yang ada di bar menoleh padanya.
"Pe-Perampok, kau bilang!?" seru Zebra disertai raut wajah super kaget.
Merry meminum jus jeruknya yang baru tiba, dan mengerling pada Zebra. "Mengapa kau sekaget itu, Zeb? Aku merampok untuk bertahan hidup."
"Tapi caramu salah!" bentak Zebra sampai semua pengunjung bar terkaget. "Merampok adalah tindakan kriminal! Kau harus berhenti mengotori tanganmu! Merry!"
"Memangnya kau siapa hingga melarangku melakukan hal itu?" Sebuah pedang langsung disodorkan ke hidung Zebra oleh Merry, para pengunjung semakin terkejut mengamati mereka, suasana semakin memanas. "Biar kuberitahu satu hal padamu, Zeb. Semua orang yang ada di sini adalah seorang perampok, jika kau merendahkan pekerjaan yang kugeluti, itu artinya sama saja kau menghina kami semua. Berhati-hatilah dalam bersikap, Zeb. Ingatlah, ini bukan lagi kampung halamanmu."
Zebra tersentak saat menyadari kalau seluruh pengunjung bar termasuk bartendernya mengeluarkan senjata mereka masing-masing, tatapan wajah mereka bisa diartikan sebagai amukan, mereka semua sepertinya tidak terima atas ucapan Zebra.
Saat ini, Zebra jadi pusat perhatian para binatang buas, tinggal menunggu waktu hingga dia dikepung oleh mereka semua.
"Malang sekali nasibmu, Zeb."
Merry tersenyum senang sementara Zebra gemetar kaget."Ahahahah! Mukamu itu--Ahaha! Aku sampai tidak bisa berhenti tertawa mengingatnya! Zeb! Kau benar-benar menarik! Ahaha!"
Merry tertawa terpingkal-pingkal mengingat Zebra hampir menangis di bar saat semua orang akan menyerangnya. Beruntungnya, Merry langsung memerintahkan para perampok untuk memaafkan kesalahan Zebra dengan alasan dia adalah anak polos.
Sampai sekarang, Merry masih tertawa jika mengingatnya, padahal mereka sudah tidak berada di bar lagi, sebaliknya, saat ini mereka sedang berjalan menuju desa selanjutnya untuk membeli beberapa keperluan.
Tapi tetap saja, melihat dirinya ditertawai oleh Merry membuat Zebra sedikit kesal. "Hah~ Padahal yang kukatakan itu benar,'kan? Perampok adalah pekerjaan kotor. Apa salahnya aku mengutarakan seruanku?"
"Kau ini benar-benar bodoh, Zeb." ucap Merry dengan datar. "Mereka tidak merampok pada orang-orang yang tidak bersalah. Mereka bukanlah perampok rendahan, yang mereka rampok adalah harta dari para orang kaya sombong yang rakus dan tidak berperikemanusiaan. Baik atau buruk, mereka tidak peduli pada kedua hal itu, yang mereka pedulikan adalah mengambil kembali hak mereka dari para iblis itu."
Zebra terdiam, mereka sedang menyusuri jalan setapak yang sepi, tinggal beberapa kilometer lagi hingga sampai di desa Gofil, tempat para pedagang senjata berkumpul.
Namun, tiba-tiba, ada seseorang yang menjegat jalan mereka. Dia seorang gadis berambut hitam dengan pakaian berjas merah, tatapan dari gadis itu terlihat mengintimidasi.
"Maaf jika kehadiranku menghambat perjalanan kalian, sebelum itu, izinkan aku untuk memperkenalkan diri, namaku Sahara Melodica, panggil aku sesuka kalian. Aku adalah salah satu pengawas yang selalu mengawasi para pendatang yang akan berkunjung ke desa Gofil. Maka dari itu, izinkan aku untuk memeriksa kalian berdua seteliti mungkin agar kalian dapat masuk ke desa dengan nyaman. Boleh?"
Merry dan Zebra terkejut mendengarnya."Aku menolak." jawab Merry dengan tegas pada Sahara Melodica, membuat gadis berambut hitam panjang itu tersentak.
"Sayang sekali, tapi aku tidak menerima penolakan." Sahara tersenyum tipis. "Bagaimana denganmu?" Sahara menoleh pada Zebra dengan ramah.
"Ak-Aku sih tidak keberat--"
"Kami menolak!" Tiba-tiba ucapan Zebra langsung dipotong oleh Merry, hal itu membuat Sahara kembali menolehkan pandangannya pada gadis bertopi petani tersebut.
"Maaf, tapi saat ini aku sedang bicara padanya, bukan padamu, gadis kecil." kata Sahara dengan santainya, tapi secara mengejutkan,
TRAK! CRAT!
Merry langsung melesat ke hadapan Sahara disertai pedang yang disodorkan pada perut gadis pengawas itu, tapi anehnya Sahara tidak bergeming sama sekali sampai akhirnya, perutnya tertusuk oleh ketajaman pedang milik Merry.
"Inilah akibatnya jika kau berani menyebutku dengan sebutan 'gadis kecil'." Merry langsung mengeluarkan pedang yang menancap di perut Sahara dengan paksa hingga darah gadis itu muncrat ke mana-mana.
"Ah, pedangmu membuat perutku terluka, kejam sekali." Sahara tetap mempertahankan keramahannya pada Merry walau saat ini tubuhnya sedang terluka. Melihat kejadian itu membuat Zebra meloncat kaget.
"Ke-Kenapa kau masih bisa tersenyum, No-Nona Sahara!?" seru Zebra tidak percaya. "Apa kau tidak kesakitan? Padahal tubuhmu telah tertusuk pedang,'kan? Kenapa kau masih--"
"Ini sudah sering terjadi, kok." ucap Sahara dengan tenang, perlahan-lahan, perutnya yang terluka kembali beregenerasi dengan cepat, menutup lubang luka yang ada di badannya.
Merry mau pun Zebra terbelalak melihatnya.
"Lagi pula," ucap Sahara dengan menyeringai senang. "Tubuhku tidak serapuh yang kalian kira, lho."
Setelah tubuhnya kembali pulih, Sahara tersenyum ramah pada Merry. "Kalau begitu, izinkan aku untuk memeriksamu duluan, ya? Tenang saja, aku tidak akan memanggilmu dengan sebutan itu. Bolehkah aku mengetahui namamu dulu?"
Merry mengerang kesal dan melompat mundur, dia berbisik pada Zebra dengan keringat berjatuhan.
"Zeb, aku ingat, dia adalah salah satu anak dari keluarga bangsawan, dia punya kebiasaan untuk merampas harta para pendatang dengan berpura-pura menjadi seorang pengawas. Lebih baik, kita pergi saja dari sini, dia juga memiliki ilmu bela diri level tinggi, bahkan lukanya bisa pulih dengan cepat. Dia lawan yang tangguh."
Mendengar penjelasan itu malah membuat Zebra yang tadinya gugup berhadapan dengan gadis cantik langsung bersemangat untuk melawannya.
"Tidak, kita harus menghadapinya. Bukankah kau juga salah satu perampok yang merampas harta para orang rakus seperti mereka,'kan? Kalau begitu ini saat yang tepat untuk menindas balik mereka, Merry."
Bosan terus-terusan diabaikan, Sahara pun melangkahkan kakinya dengan anggun, mendekati Merry.
"Maaf, tapi kau belum menjawab pertanyaanku. Jadi, siapa namamu?" tanya Sahara pada Merry dengan senyum ramah.
"Namaku adalah Merry!"
CRAT! CRAT!
Secepat kilat, Merry berhasil memotong pergelangan tangan Sahara sampai potongannya menggelepar di tanah.
Tapi, dengan santainya, Sahara mengambil lengannya yang terpotong di tanah dan dipasangkan kembali di tempatnya.
"Sia-sia saja," ucap Sahara dengan tersenyum licik. "Semua seranganmu sia-sia saja, Merrrrrry."
BELEDAG!
Sahara langsung membanting kepala Merry ke tanah dengan tersenyum ramah. "Berandalan sepertimu harus kudisiplinkan," kemudian, Sahara menoleh pada Zebra. "Aku harap kau tidak memiliki keangkuhan seperti gadis ini. Sepertinya, kau yang harus kuperiksa duluan."
Zebra melotot tegang memandang temannya dibantai oleh Sahara. "SIALAN KAU!"
"PADAHAL KAU SUDAH PUNYA HARTA BANYAK! TAPI MENGAPA KAU MASIH INGIN MERAMPAS HAL YANG BERHARGA DARI ORANG LAIN! SIALAN!"
Raungan Zebra berhasil mengubah pandangan Sahara yang sebelumnya meremehkan menjadi marah.
"Harta banyak?" Sahara bangkit meninggalkan Merry yang sudah tidak berdaya di tanah, jalan yang sepi ini mungkin akan menjadi saksi tentang pertarungan antara Zebra dan Sahara. "Kau benar, aku memang punya banyak aset dalam hartaku, tapi entah mengapa, rasanya aku masih belum puas. Baiklah, karena topengku terlanjur ketahuan, aku akan melayanimu. Walaupun aku tidak menjamin kau bisa selamat dari terkamanku."
Sahara langsung lari mendekati Zebra, mengetahui dirinya dalam bahaya, Zebra langsung sigap melindungi dirinya dengan mengambil beberapa batu dan melemparkannya ke Sahara, tapi sayang sekali, batu-batu itu malah menembus tubuh Sahara seperti arwah. Gadis itu benar-benar berbahaya.
"Kau lemah."
BUAG!
Hidung Zebra dihantam hingga tubuhnya terjungkal ke belakang dan berguling-guling seperti bola sampai akhirnya berhenti sendiri. Sahara tersenyum memandang lawannya terkena pukulannya.
"Sak-Sakit sekali! Rasanya aku tidak bisa merasakan hidungku lagi! Sialan!" erang Zebra dengan wajah babak belurnya. Ketika Sahara mulai mendekatinya lagi, Zebra mengerlingkan matanya ke arah sepatu milik Sahara lalu kemudian,
CRAK!
Dia melepaskan sepatu yang tertanam di kaki Sahara secara paksa sampai yang punyanya jatuh ke tanah berkerikil.
"Apa yang mau kau lakukan dengan mencuri sepatuku, kucing pencuri?"
Zebra tersenyum dan berdiri tegak, memandang rendah Sahara dengan tatapan kemarahan.
"Aku sadar, saat tubuhmu terpotong dan tertembus, sepatu ini langsung menyala, yang menandakan kalau rahasia dibalik tubuh kuatmu berasal dari sepatu yang kau pakai. Karena itulah, aku berhasil mengambil dua sepatu yang kau pakai ini agar tubuhmu bisa terluka. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa membiarkan gadis kejam yang selalu menipu dan merampas harta orang lain sepertimu bebas berkeliaran! Aku, Zebra Chronos! Akan menghukummu!"
"Menghukumku?" Sahara menatap wajah Zebra yang sedang marah, matanya yang kelam masuk ke dalam mata Zebra. "Apa kau akan membunuhku, begitu?"
Zebra menggertakkan gigi kesal, mendengar kata-kata Sahara benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Sudah diputuskan, dia akan menghukum gadis tak berperasaan itu agar dia jera karena telah berbuat sesuatu yang keji. Tentu saja, Zebra tidak akan membunuhnya, jika dia adalah Merry mungkin 'melenyapkan' merupakan cara yang dipilihnya, tapi sayangnya, dia bukan Merry.
Dia akan menghukum gadis berjas merah itu menggunakan caranya sendiri.
"Dengarkan aku! Sialan!" bentak Zebra dengan mengepalkan tangannya. "Aku akan membuatmu menyesali semua perbuatan yang telah kau lakukan selama ini!"
Sahara memiringkan kepalanya. "Dengan cara?"
"Menelanjangimu!"
BUAG!
Sebuah pukulan maut berhasil menerbangkan Zebra ke langit ke tujuh, yang barusan memukulnya adalah Merry, sepertinya gadis bertopi petani itu sudah sedikit baikan walau kepalanya penuh darah.
"Kau mesuuuum!" jerit Merry dengan kencang, setelah Zebra lenyap tertelan awan, dia menoleh pada Sahara yang sedang memandangnya. "Kau juga. Seharusnya orang sepertimu harus dibunuh, tapi kupikir, Zebra punya caranya sendiri."
"Eh?" Sahara semakin heran mendengarnya. "Aku terkejut. Ternyata gadis cilik sepertimu memiliki tubuh yang lumayan kuat, ya? Lihat saja, padahal kepalamu sudah kubenturkan ke tanah tapi kau masih bisa berdiri tegak. Sungguh mengagumkan." ucap Sahara dengan tersenyum ramah.
PLAK!
Lalu, secara mengejutkan, Merry langsung menampar pipi Sahara dengan ganas. "Hentikan omong kosongmu! Babi tengik sepertimu tidak pantas untuk berbicara, mendengarnya saja membuatku muak," geram Merry dengan menunjukkan wajah seramnya pada Sahara. "Biar kuberitahu satu hal padamu, Babi. Kau harus membayar semua yang telah kau rampas dari kami, semuanya!"
Saat Sahara akan menjawabnya, Zebra sudah tiba di sana dengan pakaian super kotor karena telah dipukul oleh Merry hingga terjun ke lumpur.
Dan Zebra terkejut ketika melihat situasi di mana Sahara di bentak oleh Merry.
"Membayar?" Sahara tersenyum. "Seingatku, aku tidak pernah berhutang apa pun padamu atau pun orang lain, mengapa aku harus repot-repot membayarnya?"
"SUDAH DIAMLAH!" Karena kesal mendengar mereka terus-terusan berdebat, Zebra pun berteriak kencang untuk melerai mereka. "Merry! Yang perlu kita lakukan adalah menghukumnya, bukan memaksa dia untuk membayar semua yang telah dilakukannya! Dan kau! Sahara Melodica! Berhentilah memasang senyuman ramahmu itu! Aku benci melihatnya!"
Sahara dan Merry terdiam sesaat setelah mendengarnya.
Sepatu milik Sahara yang kini sedang digenggam oleh Zebra merupakan sumber kekuatan dari pemiliknya, kini, setelah melewati berbagai hal, akhirnya Sahara mau mengakui kesalahannya dengan kepala tertunduk malu.
"Baiklah, sepertinya aku sudah tak bisa lagi menipu kalian berdua. Ya, semua dugaan kalian tentangku memang benar. Aku bukanlah seorang pengawas atau semacamnya, yang kulakukan di sini bertujuan untuk merampas harta mereka yang akan berkunjung ke desa Gofil. Sebenarnya, selain harta mereka, aku juga ingin melihat ekspresi orang lain yang menderita karena sumber hartanya lenyap dirampas olehku. Dua hal itulah yang menggerakkanku untuk melakukan hal keji begini. Maaf, aku telah membuat kalian terluka."
"Bodoh! Bukankah kau itu putri dari keluarga bangsawan!? Mengapa kau masih ingin mengambil harta mereka! Dan apa-apaan itu! Kau juga ingin melihat ekspresi penderitaan mereka! Kau benar-benar seperti ... SAMPAH!"
Sahara terkejut mendengarnya, seketika rambut hitamnya menari-nari terterpa angin, kedua bola matanya menampilkan tatapan kaget. Sepertinya kata-kata yang dikeluarkan oleh Zebra berhasil menyentuh hati nuraninya dan membuat Sahara semakin bersalah atas semua yang telah dia lakukan.
Bahkan Merry hanya bisa tersentak di tempatnya berdiri, melihat temannya mengatakan hal itu membuat dirinya sedikit merenung.
Tak kusangka, dia bisa seperti itu juga, kata Merry dalam hati.
"Lalu ... Hukuman apa yang akan kau lakukan padaku?" tanya Sahara dengan memasang wajah penyesalan.
Karena posisi Sahara saat ini masih sedang berjongkok di tanah, Zebra memerintahkannya untuk berdiri dan mulai berkata, "Hukumannya adalah kau harus menjadi pacarku!"
Sahara dan Merry yang mendengarnya langsung kaget. Tidak, sepertinya ekspresi yang ditampilkan oleh Merry lebih seperti seseorang yang jengkel.
BELEDAG!
"SUDAH KUBILANG! HUKUMLAH DIA DENGAN CARA YANG WAJAR! BODOH!"
Lagi-lagi Zebra terkena hantaman Merry sampai tubuhnya terhempas menabrak pohon.
Melihat hal itu, Sahara tersenyum mengerti.
"Aku paham sekarang."
"Hey, Babi. Dengarkan aku, karena tujuan kami ke desa Gofil adalah untuk membeli beberapa keperluan, bagaimana kalau kau antarkan kami ke tempat seperti itu? Mungkin itu juga termasuk hukumanmu, apa kau bersedia?"
Tawaran yang dikatakan oleh Merry langsung membuat Sahara menganggukkan kepalanya. "Baik. Aku akan mengantarkan kalian ke sana, tapi bagaimana dengan dia? Apa tidak kita bantu saja?" tanya Sahara menunjuk kondisi Zebra yang mengenaskan di bawah pohon.
"Biarkan saja, dia pasti akan bangun dengan sendirinya jika kita tinggalkan. Ayo, pandulah kami, Babi."
☆ ☆ ☆
Kemudian, Sahara pun melakukan hukumannya, dia berjalan di depan Merry untuk mengantarkannya ke desa Gofil.
Di tengah perjalanan, Merry melontarkan sebuah pertanyaan pada Sahara.
"Kelihatannya kau bukan bangsawan dari desa Gofil, dilihat dari penampilanmu saja, aku tahu kau berasal dari kota Kensei,'kan? Cih, kota yang terkenal dengan penduduknya yang sombong-sombong. Tapi, apakah kau memang berasal dari sana?"
Mendengarnya membuat Sahara menghembuskan napas berat. "Dulu aku memang tinggal di sana," jawab Sahara dengan lembut. "Warganya yang terkenal sombong, rakus, jahat dan semacamnya, itu memang benar. Perkelahian dan perebutan jabatan sudah biasa kulihat di sana, perisakan, pembunuhan, diskriminasi, itu juga sudah menjadi makanan sehari-hari warga kota Kensei. Karena itulah, aku memutuskan untuk pergi dari kota busuk itu dan tinggal di desa."
"Kenapa?" tanya Merry heran. "Bukankah kau juga sama busuknya dengan mereka? Lalu kenapa kau pergi dari Kensei? Apa yang membuatmu memutuskan untuk tinggal di desa?"
"Karena aku bosan," Sahara menoleh ke belakang, menatap wajah Merry dengan tatapan iblis. "Aku bosan tinggal di sana. Semuanya membosankan. Aku berpikir, 'sepertinya akan menyenangkan jika aku mempermainkan orang-orang di desa' dan karena hal itulah, aku berada di sini, untuk memenuhi nafsuku."
Merry langsung menggeretakkan gigi kesal. "Sudah kuduga, sifat busukmu memang memuakkan."
Sahara tersenyum. "Tapi tak usah khawatir, berkat kalian, aku sadar betapa pentingnya peran manusia untuk saling memahami, dan akhirnya aku paham bahwa semua orang memiliki derajat yang sama denganku, karena kita semua adalah manusia. Dulu, aku selalu memandang orang lain bukan sebagai manusia, bahkan lebih rendah dari kotoran, tapi setelah bertemu kalian, entah mengapa, aku merasa kalau aku lah yang paling kotor dari orang yang kuanggap kotor."
Merry terdiam mendengarnya. "Bagus jika kau sadar."
"Terima kasih." ucap Sahara.
"HEEEY!! TUNGGU AKU!" Zebra lari untuk menyusul Merry dan Sahara yang sudah agak jauh.
Setelah tiba di dekat mereka, Zebra bertanya, "Mengapa kau meninggalkanku? Dan kenapa kau berjalan di belakang Sahara?" Merry mendecih mendengarnya.
"Dia sedang kuhukum untuk mengantarkan kita ke tempat yang kau tuju. Ikuti saja kami."
"Hooh? Mengapa kau yang harus menghukumnya? Seharusnya--"
SRAK!
Merry langsung menyodorkan pedang tajamnya ke wajah Zebra. "Tutup mulutmu."