Sekarang, aku sedang berdiri di depan kobaran api yang membara, begitu panas dan menusuk saat kulitku terkena asapnya. Mataku membelalak, mulutku terbuka lebar, rasa yang begitu sesak terkumpul di dadaku, sampai akhirnya air mata menetes-netes di pipi tanpa kusadari. Hal yang sedang kulihat saat ini adalah rumahku yang kini tengah dilalap kobaran api. Apinya menyala-nyala dan semakin membesar, dan situasinya sedang berada di keheningan malam, banyak orang yang hadir di sekitarku. Beberapa ada yang mencoba untuk memadamkan api dengan berbagai cara, beberapanya lagi, hanya menonton dengan panik. Aku tahu, di dalam sana bukan hanya benda-benda sepele saja yang terbakar, melainkan semua anggota keluargaku.
Aku tahu mereka semua sebelumnya sedang tertidur lelap tanpa tahu hal seperti ini akan datang dan menimpa hidup mereka, aku sebagai bagian dari mereka yang secara kebetulan selamat dari hal itu, hanya bisa berdiri dalam diam dengan isakan tangis yang begitu menyesakkan hati. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi semuanya sudah terlambat. Aku sudah melihat kobaran api ini dari kejauhan beberapa menit yang lalu, saat aku sedang dalam perjalanan pulang dari toko permen, dan kupikir api yang kulihat hanya sekedar api yang dinyalakan secara sengaja oleh warga kota untuk memeriahkan suatu acara yang tidak kupedulikan apa namanya. Tapi dugaanku ternyata telah membawaku ke dalam situasi yang mengejutkan. Semua praduga dan prasangkaku terhadap kobaran api yang kusaksikan dari kejauhan, secara tidak langsung, telah membunuh nyawa keluargaku setiap detiknya saat aku sedang berjalan santai sembari menghirup udara malam dalam senyuman tipis.
Aku, Markov Lunoz, sebagai anak laki-laki berambut orany dengan mata berwarna merah, yang masih berusia 7 tahun, benar-benar merasa rusak sekarang. Aku tidak pernah merasa sesakit ini sebelumnya, aku tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata, tapi rasa sakit ini benar-benar membuatku menderita. Aku bukan seperti anak-anak lain yang langsung menangis kencang di tengah-tengah banyak orang, aku tidak menunjukkan emosiku segamblang itu di hadapan orang lain. Itulah mengapa, aku hanya berdiri dalam isakan tangis yang hening, sebelum akhirnya, aku memilih pergi dari tempat itu, untuk mencari tempat yang sepi.
Setelah kutemukan lokasi yang cocok, aku langsung menangis sekencang-kencangnya di tengah hutan dalam kegelapan malam, tanpa peduli jeritanku mengganggu para hewan yang sedang beristirahat. Aku sangat sedih, kesedihan terlalu menyakitkan, rasanya benar-benar menyakitkan. Aku merasa sendirian, tidak ada lagi keluarga tempatku pulang. Bagaimana caranya aku hidup esok hari jika aku tidak punya sebuah keluarga? Aku hanya bisa menangis dan menangis sampai akhirnya, aku jatuh pingsan saking sesaknya.
“Oh, sepertinya anak-anak ini bagus,” Aku mendengar suara pria dewasa, tapi aku tidak mengenalnya. Perlahan-lahan, aku membuka kelopak mataku dan terkejut saat menemukan diriku sedang berbaring di sebuah ranjang di dalam sebuah ruangan luas penuh dengan anak-anak yang juga tertidur di ranjang, sama sepertiku. Apa yang terjadi? Mengapa aku bisa berakhir di tempat seperti ini? Tempat apa ini? Aku tidak kenal anak-anak yang ada di sekitarku, aku juga tidak mengenal orang-orang dewasa yang sedang berbincang riuh di ruangan lain. Sebenarnya apa yang terjadi?
Aku terus bertanya-tanya dalam hati, sembari mengangkat badanku untuk duduk di atas ranjang, lalu memutar pandanganku ke seluruh area di ruangan ini. Sekarang aku sadar, meskipun sebagian besarnya aku tidak tahu, tapi ada beberapa anak yang wajahnya tidak asing di mataku, karena sepertinya aku sering melihat mereka bermain di dekat rumahku. Namun, mengapa anak-anak seperti kami bisa terbaring di ranjang dan di tempat seperti ini? Apakah orang tua mereka mengetahui hal ini? Atau kemungkinan paling buruknya, apakah kami semua diculik?
Karena hal ini, aku sampai tidak ingat bahwa aku sedang dalam kondisi berduka. Ini benar-benar menyebalkan, padahal aku masih kecil, tapi sudah dihadapi dengan dunia yang begitu aneh.
“Aku harus pergi. Aku tidak boleh berada di sini.” Namun, saat aku hendak turun dari ranjang untuk kabur dari tempat ini, hatiku merasa tidak enak harus meninggalkan anak-anak lain yang masih sedang terlelap di ranjang mereka masing-masing, entahlah, aku merasa seperti seorang pengkhianat jika kabur sendirian, tapi aku juga tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa menyelamatkan mereka semua. Akhirnya aku mencapai kesimpulan, setidaknya untuk sekarang, aku harus bisa menyelamatkan diriku sendiri dulu. Soal anak-anak yang lain, akan kuurus nanti.
Aku langsung menapak lantai dan berlari menuju pintu, dan untungnya pintu ruangan tidak terkunci sehingga memberiku peluang untuk bisa kabur dari tempat aneh ini. Saat tubuhku keluar dari ruangan itu, pemandangan pertama yang kulihat adalah sebuah lorong yang sangat panjang, dengan dinding besi dan lantai putih. Aku berlari dengan mengenakan pakaian serba putih, entahlah, aku tidak ingat pernah memakai baju dan celana panjang seperti ini, sepertinya mereka yang memakaikanku pakaian ini. Tapi aku tidak peduli lagi soal itu. Aku harus pergi dan menyelamatkan diriku.
“Mau pergi ke mana, Tupai Kecil?” Aku sangat terkejut saat seorang wanita berseragam seperti seorang perawat, dengan kombinasi warna yang juga serba putih, muncul di depan pintu utama yang akan mengeluarkanku dari gedung aneh ini. Wanita itu, yang memiliki rambut pirang dan tubuh yang begitu tinggi, menghalangi jalanku dan memasang wajah yang merendahkanku. “Aku tahu kau pasti kaget, tapi jangan pernah coba-coba lari dari tempat ini. Sekali kau masuk ke dalam tempat ini, kau tidak akan bisa keluar untuk selamanya, Tupai Kecil.”
“Tapi aku tidak ingat pernah masuk ke dalam tempat ini! Justru kau yang memasukan kami ke tempat ini seenaknya!”
“Itu memang benar, tapi sayangnya, kau tetap saja sudah terlanjur masuk ke dalam tempat ini dan tidak ada yang bisa kau lakukan selain menerima kondisimu, Tupai Kecil.”
“Biarkan aku pergi! AKU TIDAK INGIN BERADA DI SINI!”
“Ya, kami semua juga sama sepertimu, tidak ingin membusuk di tempat aneh seperti ini, tapi begitulah hidup, kau hanya harus pasrah menerimanya, sebelum kau mati dalam keadaan yang mengenaskan!”
Ketika mendengar kata ‘mati’, aku langsung terdiam dengan ingatan yang langsung tertuju ke kejadian semalam. Aku bergeming dalam hening, membuat wanita itu memicingkan matanya, terheran-heran pada diriku yang tiba-tiba diam seperti itu. Kemudian aku langsung mengembalikan kesadaranku ke saat ini dan segera memandangi wanita itu dengan serius.
“Kalau kau tidak membiarkanku pergi, aku akan memberimu pelajaran. Kusarankan jangan meremehkan anak kecil sepertiku. Kami tidak sepolos dan sebodoh yang kau kira, Orang Dewasa!”
“Lalu? Kau mau apa dengan tangan dan kaki mungilmu itu, hah?”
“AKU AKAN MENGHAJARMU!”
Aku langsung menerjang wanita itu dan memukulinya dengan tangan-tangan mungilku, aku juga menggigit betisnya sehingga dia menjerit-jerit kesakitan dan berusaha melepaskan diriku yang menempel di dua kakinya. Aku terlihat seperti seekor kera ganas yang menyerang manusia tanpa ampun. Semua itu berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya wanita itu secara tidak sengaja membuka pintu utama dan membebaskanku dari tempat aneh itu.
Namun, kebebasanku tidak berlangsung lama.