Bagaimana hati Windy terhadap Reyhan tentu hanya Windy yang tahu. Sekalipun saat ini dia tak bisa memastikan bahwa dia mencintai Reyhan lebih besar dari Chandra, tetapi pasti ada nama pria itu dalam hatinya. Windy berdiri tepat di belakang Reyhan. Pria itu kini tengah berdiri di depan kolam renang. Dia bersidekap sambil menatap air yang memantulkan cahaya lampu di sekitarnya.
"Kenapa kamu ngelakuin ini, Rey? Apa kita bisa bicara? Kita bicara serius tentang apa yang kamu inginkan. Setelah pulang dari berlibur, sikap kamu berubah," ujar Windy.
Reyhan membalikkan badan. Kini, tatapan tajamnya tengah beradu pandang dengan tatapan Windy. Untaian senyum kaku singgah di bibirnya sambil mendekati Windy.
"Katakan apa yang mau kamu sampaikan ke aku, Windy!" seru Reyhan.
"Apa alasan kamu nolak surprise atau birthday party itu? Kamu jelas tau, aku selalu ngerayainnya setiap tahun. Ulang tahun kamu itu-"
"Karena itu, aku nggak mau ngerayain lagi. Itu semua karena kamu!"
Windy tertegun menatap raut keseriusan di wajah Reyhan. Ada pancaran kekecewaan dan cinta di binar matanya. Begitu tampak indah kilauannya ketika menyatu dengan bening kristal berair miliknya.
"Birthday party atau apa pun itu, aku nggak mau ada lagi. Aku nggak mau ada kamu lagi, Windy! Sekarang aku lagi berusaha menghapus memori masa lalu kita yang indah. Karena itu, aku nggak mau ada memori baru lagi yang tercipta di antara kita!"
Tak bisa terbendung lagi air mata yang mengalir, refleksi dari kekecewaannya atas perubahan sikap Reyhan terhadapnya. Kekecewaan yang sangat sulit diungkapkan Windy lewat ucapan, air mata seolah mewakili.
"Kamu egois, Rey! Kenapa kamu kekanakan begini? Apa cuma karena cinta kamu nggak terbalas, kamu bersikap dingin ke semua orang? Apa kalau diri kamu hancur, kamu mau dunia juga hancur bersama kamu? Apa benar begitu?!" pekik Windy, kesal.
Reyhan terkejut dengan ucapan kasar Windy. Dia seperti ditampar dengan ucapan sengit. Terlalu menyakitkan ketika gadis itu bukan simpati pada ungkapan cinta tak terbalasnya, justru malah mengatakan perkataan yang membuat Reyhan malu pada diri sendiri.
Reyhan terdiam, membiarkan amarah di d**a Windy mereda. Dia menunduk sejenak dan merasa takut dengan tatapan mengerikan Windy saat ini. Menyadari perubahan wajah Reyhan, tatapan Windy melunak. Tangan gemetarnya ingin menyentuh pipi Reyhan, tetapi dia urung melakukannya ketika Reyhan mengangkat pandangannya.
"Ya. Ini satu-satunya caraku untuk melindungi hatiku sekarang. Aku cuma mikirin hatiku sendiri. Karena selain aku, nggak ada lagi yang mikirin perasaanku."
Windy merasa bersalah. Tangisnya berubah menjadi tangisan penyesalan. Windy menyadari perkataannya tadi begitu kasar pada Reyhan. Hubungan retak mereka tak mungkin diakhiri dengan permusuhan jika mereka tak menemukan titik terang untuk berdamai.
"Kamu bahkan sanggup bicara kasar untuk menanggapi hatiku. Kamu bicara tanpa mikirin apa aku terluka atau nggak waktu dengar itu. Kamu tau kenapa? Karena kamu sama sekali nggak pernah mikirin aku, karena aku sama sekali nggak berarti apa pun buat kamu. Saat aku nggak berarti buat kamu, itu sama halnya dengan aku sama sekali nggak pernah ada di hati kamu."
"Aku minta maaf." Sambil mengutarakan maafnya, Windy menangis lirih. Betapa terlukanya hati Reyhan saat ini. Windy tak memikirkan akan seperti ini akibatnya.
"Kamu belum puas? Apa aku pantas dapat hukuman sekejam ini? Aku nggak paksa kamu untuk terima hatiku. Apa nggak bisa kamu menganggap kejadian di villa itu nggak ada artinya? Kenapa kamu nggak bisa abaikan gitu aja? Aku jatuh cinta sama kamu memang bukan kesalahan kamu, tapi apa kamu nggak bisa menghargai sedikit aja, Win?"
Reyhan berontak. Mungkin ini ungkapan hati yang ingin dia luapkan. Rasa sakit yang terus ditahannya. Dengan berpura-pura dingin adalah salah satu cara seseorang untuk menutupi rasa sakit.
"Tolong, jangan begini. Apa kita nggak bisa balik kayak dulu, Rey? Apa aku nggak bisa dapatin alien-ku lagi?" isak Windy.
"Jangan meletakkanku di persimpangan. Sikap kamu ini cuma akan bikin aku bingung dan salah langkah. Kalau memang kamu nggak cinta sama aku, jangan biarin aku terus di samping kamu. Buang aku sejauh yang kamu mau. Dengan begitu, aku bisa sadar diri. Tolong."
Reyhan pergi meninggalkan tangisan Windy. Mungkin papanya Reyhan benar. Jika Reyhan sudah teguh pada hatinya, takkan ada satu pun yang bisa meruntuhkannya. Saat ini Reyhan telah mengambil langkah pasti untuk meninggalkan Windy. Dia tak tahu apakah di tengah perjalanan nanti, dia akan goyah oleh permintaan maaf Windy padanya atau tidak.
*
Pagi yang cerah, tetapi bukan simbol ekspresi di hati Windy. Kejadian malam itu membuatnya nyaris tak bisa tidur. Dia terlihat suntuk saat hampir jam tujuh, Chandra belum muncul di pelataran untuk menjemputnya.
"Sayang, maaf. Aku lupa bilang sama kamu. Pagi-pagi tadi aku harus ikut rapat club basket. Jadi sekarang aku udah di sekolah. Maaf," sahut Chandra dari seberang ponsel.
Klek! Windy memutuskan pembicaraan. Matanya beralih pada sepeda motor putih Reyhan yang masih terparkir di pelataran. Langkah kaki terdengar dari dalam, tampak Reyhan dan Luna yang bersiap pergi ke sekolah.
"Kenapa belum pergi, Kak? Kak Chandra nggak jemput, nih?" tanya Luna.
"Hah? Oh, Chandra lagi on the way, kok. Mungkin 5 menit lagi juga nyampe."
Reyhan tak peduli. Dia segera menyalakan mesin sepeda motor dan memakai helm-nya. Dengan sigap, Luna segera duduk di jok belakang.
"Ya udah, kami pergi duluan, ya!" pamit Luna.
"Ya!"
Sepeda motor itu meninggalkan pelataran. Rasa sakit tercipta di hati Windy melihat yang ada di boncengan Reyhan bukan dirinya lagi, melainkan gadis lain. Gadis yang kelak akan mengisi hati Reyhan dan menendang Windy dari posisi awalnya. Gadis manis yang tak lain adalah adiknya sendiri, Luna.
Sepeda motor Reyhan melaju cepat, secepat dia ingin menghindari tatapan Windy. Tak lama, sepeda motor itu tepat berhenti di parkiran sekolah. Keduanya turun menuju halaman sekolah.
"Silakan urus sendiri kelas kamu! Aku masih ada urusan," ucap Reyhan.
"Of course. Kak Rey pikir aku ini manja kayak barbie-mu itu, hah? Aku bisa urus diriku sendiri."
Reyhan tak peduli. Dia pergi saja meninggalkan Luna bersamaan dengan bunyi bel masuk yang terdengar. Ketika langkahnya menginjak kelas Sains XII-1, dia terkejut saat melihat Chandra sudah berada di bangkunya. Bangku Windy terlihat kosong.
"Kenapa lo ada di sini? Mana Windy?" kesal Reyhan sambil menantang kesinisan tatapan Chandra.
"Kenapa tanya gue? Apa lo nggak bisa bareng sama dia? Gue udah bilang ke dia kalau gue nggak bisa jemput dia pagi ini!"
Hampir terjadi keributan di kelas. Tentu saja yang menuai senyuman sinis adalah Arvin. Dia tertawa di tengah hati mereka yang membara. Arvin tersenyum cuek dan menghampiri Chandra, menepuk bahu pria itu.
"Ayo pergi!" ajak Arvin pergi meninggalkan kelas.
"Udahlah, Chan. Ayo, ikut ke club! Coach udah datang, kita harus rapat lagi. Aku udah izin kita nggak masuk jam pertama," seru Karina sambil menarik tangan Chandra.
Ketiganya pergi meninggalkan raut khawatir di wajah Reyhan. Reyhan hendak meraih ponsel-nya dan menghubungi Windy karena gadis itu belum muncul juga. Reyhan urung menghubungi Windy lagi ketika guru muda berwajah serius itu masuk ke kelas. Windy pasti terlambat di jam pelajaran guru mengerikan ini.
"Morning, Class!"
"Morning, Miss."
Reyhan merasa bersalah telah meninggalkan Windy tanpa menawarkan diri untuk mengajak Windy. Luna pasti bisa mengerti. Setidaknya mereka bisa naik mobil. Jika pun terlambat, mereka akan mendapatkan hukuman bersama. Ini semua ulah Luna. Kehadirannya yang baru satu hari itu bagai luka di hati Windy.