Pagi-pagi sekali usai sarapan, mereka berkumpul di halaman villa. Kondisi Reyhan sudah membaik, suhu tubuhnya sudah turun. Mereka meninggalkan Reyhan sendiri di kamar. Windy tampak di antara mereka, berjalan perlahan mendekati Chandra. Wajah Chandra tampak sangat dingin. Putusnya hubungan mereka kemarin benar-benar tak bisa diprediksi sebelumnya.
"Apa kita beneran putus, Chan?" tanya Windy dengan wajah sendu.
Chandra mengalihkan wajahnya, terus memantul-mantulkan bola basket ke lantai.
"Kamu pikir hatiku terbuat dari apa? Selama ini aku bisa tahan rasa cemburuku, tapi yang kemarin udah kelewat batas, Win. Aku capek. Aku nggak mau sakit terus. Lebih baik sakit menjauh dari kamu daripada sakit dikhianati begini."
Chandra sangat kecewa dengan hati plin-plan Windy. Karena saat ini, hati Reyhan juga memiliki cinta yang besar untuknya. Harusnya dia bisa memilih mana kekasih dan sahabat.
"Kamu mau aku gimana, Chandra?"
Chandra tak menjawab, berjalan meninggalkan Windy dan masuk ke dapur villa. Dia mendekati lemari pendingin untuk menenggak air es yang tersedia di dalamnya.
"Chandra ...."
"Harusnya kamu tau jelas apa yang aku mau. Aku nggak mau ada Reyhan di antara kita!"
Chandra meminta Windy menjauhi sahabatnya jika hubungan mereka ingin membaik. Akan tetapi, Reyhan itu belahan jiwanya, jauh lebih dulu hadir sebelum ada Chandra. Bagaimana mungkin Windy bisa mengusir Reyhan begitu saja dari hatinya?
"Tapi dia sahabatku. Aku nggak bisa gitu aja ninggalin dia. Mengertilah."
"Ya udah! Kalau gitu kita benar-benar sampai di sini, Win. Mungkin berteman lebih baik."
Windy menatap wajah Chandra. Dia tahu saat ini Chandra juga terluka dengan kejadian semalam. Tampak sekali di binar matanya rasa sedih akan pengkhianatan cinta yang dia terima. Windy menyentuh kedua sisi pipi Chandra, menatap dengan pandangan lembut.
"Apa kamu nggak sayang sama aku lagi?"
Chandra segera menepis tangan Windy. "Ini bukan tentang hatiku, tapi hati kamu. Kamu sendiri yang nggak bisa mengerti hatimu. Waktu dia nyium kamu kemarin, apa rasanya beda? Apa detak jantung kamu sekarang berubah ke dia? Aku takut di hati kamu sebenarnya punya perasaan yang lebih ke dia tanpa kamu sadari!"
"Tau apa kamu? Aku yang tau hatiku. Dia cuma sahabatku, nggak lebih," tegas Windy dengan intonasi meninggi.
Chandra mengurai senyum sinis. "Oh ya? Coba tanya hati kamu apa kamu bisa hidup tanpa dia. Kalau kamu bisa melalui itu, berarti memang di hatimu nggak ada sedikit pun rasa ke dia. Tapi kalau sebaliknya ... jangan pernah temui aku lagi!"
Chandra meninggalkan Windy sendiri di dapur, menangis dalam hati tanpa ingin bersuara. Tanpa dia tahu, Reyhan bersandar di balik dinding. Dia mendengar pembicaraan Windy dan mantan kekasihnya itu.
"Maaf udah merusak semuanya. Aku akan bantu kamu perbaiki ini, Barbie. Aku akan berusaha jauh dari dunia kamu," sesalnya.
"Sakit banget, 'kan?"
Reyhan terkejut saat terdengar sebuah suara menghampiri Windy. Suara dingin itu sangat dikenali oleh Reyhan, suara yang membuat Windy tampak takut.
"Arvin?" seru Windy.
Pemuda yang berada di sekitar mereka. Arvino Ardiansyah. Meski tak banyak berinteraksi, Windy menyadari sinar mata Arvin tak pernah ramah setiap menatapnya. Sejak kejadian lalu. Rahasia keduanya.
"Gimana? Apa lo bisa ngerasain sakit hati gue sekarang? Chandra dan Reyhan, lo kehilangan mereka, 'kan?" tanya Arvin, sinis.
Reyhan tak ingin keluar lebih dahulu dari persembunyiannya. Dia ingin tahu apa yang akan dibicarakan Arvin pada sahabatnya itu. Windy mulai gemetar melihat tatapan tajam Arvin. Aura sinis yang mengelilingi Arvin seolah menghembuskan hawa dingin di sekitarnya.
"Apa ini ulah kamu, Vin?" tanya Windy, seolah tak percaya.
Arvin tertawa sinis, mulai mencengkram rahang Windy dengan perasaan marah. "Kalau iya, apa yang akan lo lakuin? Lo pikir gue bisa ngendaliin hati Chandra dan Reyhan? Lo sendiri yang serakah dan nggak mau melepas salah satu dari mereka!"
"Apa yang kamu inginkan?"
"Ck, ini hukuman yang pantas karena lo pernah nolak gue dulu."
"Kenapa kamu lakuin ini, Vin? Kamu sahabat mereka."
Arvin melepaskan cengkramannya, menyungging senyum sinis.
"Sahabat? Lo kira gue bodoh? Gue nggak akan pernah biarin lo jadi milik mereka. Lo cuma milik gue."
"Aaahhh!!!"
Arvin mulai menunjukkan wajah aslinya di depan Windy. Dia memeluk Windy dengan posesif. Sekuat tenaga, Windy berontak dan melepaskan diri dari lengan atletis yang begitu kuat mendekapnya.
"Arvin, please." Suara Windy terdengar lirih.
Windy tak bisa berteriak. Takut suasana menjadi kacau. Dia juga tak ingin Chandra datang di saat seperti ini dan timbul kesalahpahaman lagi di depan matanya.
Brukkk!!! Arvin kesakitan saat ada yang menghantam punggungnya. Reyhan muncul dengan binar marah. Setidaknya satu tendangan dari jurus taekwondo-nya itu sukses membuat Arvin roboh dan Windy bisa melepaskan diri dari tindakan iblis Arvin. Windy menatap Reyhan dengan wajah ketakutan. Reyhan enggan membalas tatapannya.
"s**l!"
Sekalipun sedang sakit, Reyhan akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi sahabatnya. Perkelahian sengit terus mencuat. Windy tak berani berteriak. Dia takut teman-temannya yang lain tahu akan kejahatan Arvin. Jika saja mereka percaya pada Windy, bagaimana jika sebaliknya?
"Awas, lo!"
Arvin segera pergi meninggalkan Reyhan. Untuk sesaat, Reyhan bersandar di dinding. Kejadian tadi benar-benar mengejutkan. Siapa Arvin sebenarnya? Windy menatap Reyhan dengan lirih. Tampak ada luka di pipi Reyhan, mungkin terkena goresan cincin di jari Arvin. Windy hendak mendekat, namun dia takut Reyhan marah padanya.
Gue nggak mau bicara lagi sama lo! Jangan bicara sepatah kata pun ke gue sampai lo merasa hampir mati. Ini hukuman atas apa yang lo lakuin ini!
Ucapannya malam itu terngiang lagi di telinga Windy. Reyhan juga enggan bicara pada Windy. Dia ingin menepati janji untuk menjauh dari Windy, belajar hidup tanpa Si Barbie Girl itu. Perlahan, Reyhan berjalan mendekati lemari pendingin yang berada tepat di sisi Windy, mencoba membukanya. Dia terkejut saat tangannya dipegang oleh Windy. Mereka saling tatap, mata Reyhan sangat teduh. Dia ingin mengatakan maaf pada Windy, tetapi takut Windy enggan mendengarnya. Tangan Windy terangkat. Perlahan, dia menyentuh pipi Reyhan yang terluka, juga sudut bibirnya yang mulai memar. Tiba-tiba saja Windy menjadi kikuk. Detak jantungnya sangat tidak beraturan. Mata Reyhan terlalu lembut saat menatapnya. Apalagi kecupan Reyhan malam itu membuat Windy hilang akal sejenak.
Reyhan memegang tangan Windy untuk menjauhkannya seraya berkata, "Jangan lakukan ini lagi. Belajarlah untuk berhenti khawatir tentangku. Seenggaknya itu satu langkah awal untuk kita hidup di dunia masing-masing. Ini saatnya kita berpisah, Windy."
Perlahan, air mata mengalir di pipi Windy. Ucapan Reyhan itu sangat terasa sakit di hatinya.
"Kenapa nangis?" tanya Reyhan.
Reyhan tersenyum, mengusap air mata itu dengan jemarinya. "Ini terakhir kalinya aku ngapus air mata kamu. Setelah ini, jangan pernah nangis lagi. Kamu harus balik ke Chandra. Harusnya memang aku nggak ada di antara kalian. Aku juga nggak mau kamu terus ngeliat aku dengan tatapan aneh gitu. Yang aku butuhkan itu cinta, bukan rasa kasihan. Pergilah! Kita selesai sampai di sini aja, ya."
Reyhan mencium kening Windy. Rasa cinta itu ingin dia sampaikan melalui sebuah kecupan terakhir, sebagai tanda perpisahan dengan sahabat terkasih.
*