18. I Dare You - 1

1119 Words
Suasana hati yang cerah bagi Reyhan. Dia telah mendapatkan kepastian cinta dari Windy. Kepastian tentang isi hati yang kini mulai dialihkan Windy dari kekasihnya, Chandra. Terasa tidak adil, tetapi cinta memang egois. Windy ingin menjalani keduanya, tanpa peduli apa yang terjadi di masa mendatang. Dia hanya berharap akan mendapat jawaban pasti tentang garis cintanya, Reyhan atau Chandra. Sesuai permintaan Windy, sekalipun telah menyatakan cinta, mereka harus tetap berjalan di koridornya masing-masing. Windy tetap menjalin hubungan dengan Chandra dan Reyhan tetap melanjutkan pertunangannya bersama Luna. "Happy birthday, pangeran kesayanganku," sambut Karina ketika Reyhan dan Windy masuk ke kelas. Karina segera merangkul bahu Reyhan dan menimbulkan goresan kecemburuan di wajah Windy. Tak ingin Chandra mengetahui tentang peningkatan hubungannya dengan Reyhan, Windy segera mengubah ekspresinya dan menyentuh tangan Chandra. Reyhan tersenyum membalas ucapan terima kasih yang tulus dari teman-temannya, terutama dari Ares. "Rey, happy birthday," ucap Ares setulus hati. "Thanks." Hari ulang tahun yang hendak diabaikan oleh Reyhan ternyata tak seburuk itu. Di hari itu, dia justru mendapatkan kado terindah dari Windy. Sepotong hati yang begitu manis, benarkah? Di sisi lain, satu tatapan sinis dihadiahkan oleh Arvin dari sudut ruangan. Tanpa mereka sadari, masih tertinggal satu duri yang akan menusuk salah satu dari mereka. 'Lo nungguin kado dari gue, Rey? Oke, gue akan kasih kado spesial untuk hari ini. Selamat menikmati!' batin Arvin. Sesaat, dia mengalihkan pandangan pada Chandra yang masih tersenyum di sisi kekasihnya, Windy. 'Stupid guy! You must say goodbye to your princess.' Arvin membatin sambil mengurai senyum sinisnya. Arvin menyiapkan kado yang tak lain adalah mimpi buruk bagi kedua pemuda itu. Sampai detik ini, dia masih menyimpan dendam di relung jiwanya karena si gadis barbie itu tak menerima hatinya. Dia takkan berhenti sampai semua rasa sakitnya hilang dan dendamnya terbalaskan. * Reyhan berjalan santai menuju ruang guru ketika tadi dia mendapat kabar tentang program Beasiswa S1 Inggris dari Dewan Pertimbangan Sekolah. Di meja bundar itu, Reyhan duduk di antara peserta lain yang mengikutinya. "Baiklah, istirahat kedua nanti, saya harap kalian melakukan tes lisan untuk seleksi pertama program ini. Jika tes ini lolos, maka tahap selanjutnya masih ada tes tulis dan wawancara. Kemungkinan akhir bulan ini, kita sudah mendapatkan 5 orang terpilih untuk mengikuti proses karantina. Berikanlah yang terbaik dari kalian. Selamat berjuang!" Reyhan berada pada titik di mana dia mulai ragu untuk melangkah. Niat awalnya untuk mengikuti tes beasiswa ini adalah karena rasa terpuruk tentang hatinya terhadap Windy. Memberi jarak pada hati yang terluka mungkin satu-satunya yang terpikir oleh Reyhan agar luka yang bersarang dalam relung jiwanya dapat terobati. Namun, dia mulai mendapatkan separuh hati Windy. Mungkinkah dia pergi? Reyhan justru ingin berjuang sedikit lagi untuk bisa merebut sepenuhnya hati Windy dari Chandra. Reyhan masuk ke kelas. Masih terlihat di hadapannya, Windy tersenyum manis untuk Chandra. Windy memang masih mencintai Chandra, tetapi dia tak bisa begitu saja melepaskan Reyhan. Sikap Windy yang memasang hati di dua cinta itu tentu saja akan menyakiti keduanya. Termasuk Reyhan. 'Apa benar pernyataan cinta itu dari hati kamu, Barbie? Atau ... yang kemarin itu cuma cara supaya aku tetap di sisi kamu?' batin Reyhan. Setelah mendapatkan jawaban hati Windy, tentu saja Reyhan merasa berhak atas diri dan hati Windy. Timbul keinginan bagi Reyhan untuk memiliki Windy seutuhnya. Cinta memang egois, cinta memang tak sesederhana yang dibayangkan oleh Windy. 'Aku nggak mau begini, Barbie. Aku mau jadi satu-satunya. Kamu benar cinta sama aku, 'kan? Kalau kamu nggak cepat kasih keputusan, nerima aku dan mutusin Chandra, memang pergi dari sini jadi jalan terbaik. Maaf, aku terlalu egois. Aku yakin aku jauh lebih bisa jagain kamu daripada Chandra.' Dia bertekad untuk merebut Windy dari tangan Chandra. Yang Reyhan lupa, Windy menjalin hubungan sudah cukup lama dengan Chandra. Jika sedikit saja Reyhan berbuat salah, maka hal itu akan menjadi pertimbangan bagi Windy untuk mutlak meninggalkan Reyhan. Sama halnya dengan Reyhan, Chandra juga harus waspada. Jika sedikit saja goresan kekeliruan yang Chandra tampakkan, meninggalkannya adalah jalan terbaik bagi Windy demi menjaga hubungan baiknya dengan Reyhan selama 17 tahun terakhir ini. Segala rasa memiliki konseksuensi, tergantung hati dan pikiran yang mampu atau tidak untuk mengendalikannya. * Arvin duduk santai di taman yang tak jauh dari perpustakaan. Pemuda itu tentu saja lebih menyukai kesendirian dengan segala aura beku di sekelilingnya. Senyum kaku selalu terukir di bibirnya. Di kepalanya hanya berisi rasa benci dan dendam akan senyuman Windy yang selalu dilukiskan gadis itu setelah menghancurkannya. 'Gue harus jauhin Chandra dari Windy. Lo lihat, Windy! Ga ada satu pun, baik Reyhan atau Chandra yang bisa lo miliki. Lo harus kehilangan orang yang lo cintai,' bisik hati Arvin. "Udara di sini sejuk banget, ya, Kak!" Arvin terkejut mendengar sapaan lembut di telinganya. Gadis manis yang pertama kali mampu menggetarkan hatinya hanya dengan tersenyum begitu tulus. Ya, hingga detik ini bisa terhitung gadis yang mau mendekati Arvin. Dia memang tampan. Namun, jika hati dan ekspresinya begitu dingin tentu takkan ada seorang gadis yang berani meruntuhkan dinding pertahanannya akan cinta. "Siapa?" "Kakak lupa?" "Apa lo cukup penting untuk gue ingat?" Gadis belia itu tak lain adalah Luna. Dia mengulas senyum kecil setelah helaan napas jengkel berhembus dari sela bibirnya. "Namaku Luna, Kak." Luna memperkenalkan dirinya dengan sopan. "Aku siswi kelas Sains XI-3. Terima kasih udah nolongin aku kemarin." Arvin mengurai senyum sinis, tak mau menghiraukan atau tinggal lebih lama di sisi gadis yang tak dikenalnya itu. "Aku harus pergi!" Arvin pergi dan tak begitu peduli pada keramahan Luna. Yang tak dia tahu, Luna bukanlah gadis biasa. Dia terlalu tangguh hanya untuk menaklukkan pemuda angkuh dan sombong itu. "Kamu pasti bisa kudapatkan, Kak Arvin." Luna berjalan mengikuti ke mana langkah Arvin membawanya. Siswa senior itu masuk ke ruang Club Taekwondo yang ada di samping perpustakaan. Luna tersenyum dari kejauhan. Hampir 15 menit dia berdiri hanya untuk menyaksikan Arvin yang tampak begitu mengagumkan dengan aksi bela dirinya. Titik-titik keringat yang mengalir membasahi leher jenjangnya menimbulkan kesan menarik di mata Luna. Glek! Dia bahkan menelan ludah karena gugup. Ya, Arvin memang sangat mengagumkan. Auranya sanggup menarik perhatian gadis mana pun di tiap sendi sekolah ini. Namun, satu-satunya gadis yang sepertinya berani masuk ke lingkaran beku Arvin adalah Luna. "Baiklah, tempat ini akan jadi saksi nantinya kamu akan jatuh cinta sama aku, Kak Arvin." Bel usai jam istirahat terdengar nyaring, Luna masih belum beranjak dari posisi berdirinya. Dari kejauhan, pemuda itu sudah dengan cepat mengganti seragam sekolahnya dan hendak meninggalkan club. Setelah Arvin benar-benar pergi, langkah kaki Luna mendekati meja di sudut ruangan. "Aku siswi baru di sekolah ini. Aku tertarik menjadi salah satu dari kalian, Kak." Luna sudah bertekad takkan mundur sebelum berhasil menjatuhkan Arvin. Mungkin dengan berada di lingkungan yang sama akan lebih mudah menyatukan hati. Arvin harus tahu, dia tak perlu menghabiskan waktu dan hatinya hanya untuk dendam. Biar bagaimana pun, hati beku itu membutuhkan cinta. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD