Dipecat

1057 Words
Adi menjawab singkat, "Tidak apa-apa." Setelah itu, panggilan terputus. Alina mengerutkan keningnya, "Aneh sekali, tiba-tiba menelpon menanyakan apa aku masuk kerja, dan aku bilang kenapa, tidak apa-apa." Alina menggelengkan kepalanya, merasa aneh pada Adi. Setelah itu, Alina berjalan menjauhi rumahnya dan naik angkot untuk sampai ke tempat kerjanya. Sesampainya di tempat kerja, Alina kaget karena Adi sudah berdiri di depan gerbang, memperhatikannya dengan tatapan dalam, seolah tengah menunggu kedatangannya. Alina pura-pura tak melihatnya, merasa ngeri sendiri karena baru diperhatikan oleh seorang lelaki dengan tatapan seperti itu. Adi, lelaki berusia 30 tahun dengan rambut sedikit berantakan, mengenakan kaos oblong dan celana jeans sobek-sobek, sementara kemeja seragamnya dipegangnya. Alina merasa Adi selalu dingin, jarang berkomunikasi di tempat kerja. Mereka pertama kali terlibat dalam satu masalah seminggu yang lalu, sehingga Adi mendapat nomor ponsel Alina. Alina tak memungkiri ketampanan Adi jika saja rambutnya rapi. Ketika sudah dekat gerbang, Adi menyapanya, "Alina, bisa kita bicara sebentar?" Alina enggan mengangguk, tapi Adi meyakinkan, "Hanya sebentar, bicara saja." Alina akhirnya mengangguk pelan tanpa bicara apapun. Alina mengikuti langkah kaki Adi hingga keduanya berdiri di antara dua mobil box dekat gudang. Adi berdiri berhadapan dengan Alina. Canggung, Alina merasa takut Adi berbuat macam-macam, terutama karena suasana sangat sepi. Alina berkata dalam hati, 'Kok perasaanku ga enak gini sih.' Ia menunduk, berpikir untuk pergi dari sana. Tapi Adi langsung bertanya, membuat Alina melihat ke arahnya. Adi yang memiliki tubuh tinggi dengan tinggi 175 cm, sedangkan Alina hanya 155 cm. Dalam keheningan mencekam, Adi bertanya, "Kamu tidak punya pacar kan?” Alina kaget saat Adi menanyakan hal personal padanya. Adi menyadarinya dan berkata, "Aku hanya ingin memastikan saja." Alina pun bertanya, "Maksudnya bagaimana? Kenapa tiba-tiba menanyakan hal personal seperti itu?" Adi berkata, "Jawab dulu. Nanti akan ku beri tahu alasanku bertanya." Alina merasa kesal, tapi enggan menunjukkan perasaannya. Ia memilih diam, hingga akhirnya menjawab, "Ya, aku tidak punya pacar.” Adi pun menjawab, “itu bagus.” Alina terdiam, ia benar-benar kesal berlama-lama di sana. Saat itu ada suara dua orang melangkahkan kaki menuju tempat itu, Adi menyadari itu namun tidak dengan Alina. Tiba-tiba Alina dipeluk oleh Adi. Spontan Alina terkejut dan hendak berteriak, namun dengan cepat Adi membungkam mulut Alina. Kini posisi tubuh Adi menempel sekali dengan tubuh Alina dan ia mengecup pipi Alina. Alina melebarkan matanya. Berusaha melepaskan diri dari Adi. Namun ia tak memiliki tenaga sebesar Adi. Dan tak lama kemudian dua orang satpam melihat keduanya dan mereka langsung berkata, “apa yang sedang kalian lakukan!” Adi dan Alina melihat ke arah satpam itu. Adi langsung menjauh dari tubuh Alina. Alina berseru dengan wajah panik sekaligus ketakutan, “dia tuh pak! Sambil menunjuk Adi.” Alina hendal melangkahkan kaki menjauhi Adi, namun Adi menarik tangan Alina. Diluar dugaan Adi menjawab pertanyaan satpam itu “maaf pak. Kami khilaf.” sontak Alina melebarkan matanya pada Adi. Setelah tertangkap basah, dua satpam langsung menyeret Alina dan Adi ke ruangan Manager. Diseretnya mereka membuat Alina merasa sangat malu. Tatapan sinis dari para pegawai perempuan yang mereka lewati membuat Alina semakin merasa tidak nyaman. Sementara itu, Adi tampak tenang dan santai. Sikapnya yang seolah tidak terpengaruh berhasil membuat Alina semakin kesal. Mereka akhirnya tiba di ruangan Manager, di mana keadaan semakin membuat Alina merasa rendah diri. Manager menegur Alina dan Adi dengan keras, “perbuatan kalian ini dapat merusak citra perusahaan!” Manager memandang Alina, “saya tak percaya dengan ini Alina. Kamu admin yang rajin.” Alina menundukan kepalanya. Ingin sekali membela diri namun mulutnya terasa terkunci. Ia merasa tak berani angkat bicara pada manager yang tengah marah. Manager lalu melihat ke arah Adi, “kamu juga!” Manager seakan tak bisa berkata apa-apa pada Adi. Dengan suara tegas, Manager akhirnya berkata, “kalian dipecat!” Alina menunjukkan wajah kaget, dan Adi tampak biasa saja. Manager pun menambahkan, “perusahaan tidak membutuhkan pekerja seperti kalian!” Alina berusaha memohon, “pak. Saya mohon. Tetap terima saya bekerja di sini. Cari pekerjaan sekarang susah.” Namun Manager menegaskan, “Sudah tahu begitu. Malah melanggar peraturan berat. Maaf Alina keputusan ini sudah final. Kamu dan Adi tidak akan pernah bisa lagi bekerja di sini.” Alina menunduk dengan rasa kecewa yang mendalam. Manager dengan tegas berkata pada Alina dan Adi, "Silahkan kalian keluar dari sini, tak ada kesempatan lagi untuk kalian tetap bekerja di sini." Dengan langkah berat, Alina meninggalkan ruang manager, diikuti oleh Adi yang ada di belakangnya. Alina tidak lagi mendapat tatapan sinis karena pekerja lain sudah fokus dengan tugas mereka. Alina keluar dari gerbang bersama Adi, membawa rasa kekecewaan yang mendalam. Alina terus berjalan menyusuri trotoar, sesekali mengusap air matanya tanpa menyadari bahwa Adi mengikutinya. Di tengah kebingungan setelah dipecat, Alina memikirkan perkataan ibunya semalam, meminta Alina untuk memilih antara menikah dengan pengusaha, menjadi istri keempat, atau keluar dari rumah. Alina melangkah menuju taman kota yang saat itu cukup sepi. Adi membiarkannya masuk sendiri, dan Alina duduk di bangku tak jauh dari pohon yang lebat daunnya. Di sana, Alina menangis dan berkata pelan, "Pak, Alina kangen." Dalam tangisannya, Alina menyampaikan perasaannya, "Hanya Bapak yang bisa membuat Alina bahagia. Hanya Bapak yang membuat Alina nyaman. Dan hanya Bapak yang tidak mau Alina merasa lelah." Air mata terus menetes, dan Alina merindukan ayahnya yang telah meninggal. Ia mengingat bagaimana ayahnya selalu memperlakukannya seperti seorang putri, peduli dengan kesehariannya, menyediakan makanannya, dan selalu memastikan Alina bahagia. "Pak, Alina kangen," bisiknya dalam keheningan taman yang sepi. Setelah puas menangis, Alina pulang dengan mata sembab. Alina memakai masker dan ia naik angkot untuk sampai ke rumahnya. Sesampainya Alina di depan rumah, Rose yang saat itu baru saja menerima paket dari kurir merasa heran karena Alina sudah pulang. "Alina kamu sudah pulang?" Tanya Rose. Alina tak menjawab dan langsung nyelonong melewati ibunya. Rose pun berseru, “Alina tunggu!” Namun Alina tetap masuk ke rumah. Rose mengejarnya dan langsung memegang tangan. Alina pun melihat ke arah Rose, “ada apa sih bu?” Rose memperhatikan mata Alina yang sembab lalu ia bertanya, “kamu nangis?” Alina pun menjawab, “bukan urusan ibu.” Alina hendak pergi lagi tapi Rose kembali memegang tangannya. Rose bertanya lagi, “kenapa kamu sudah pulang?” Dan alina menjawab cepat, “aku dipecat.” Rose melebarkan matanya namun beberapa saat kemudian senyum terbit di wajahnya lalu berkata, “itu kabar baik.” Alina memandang ibunya dengan kesal. Dan berkata, “kabar baik apanya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD