CSLY 1

2613 Words
7 tahun yang lalu... Bel istirahat yang baru saja berbunyi membuat ruang kelas begitu sepi. Hanya tertinggal seorang gadis di dalam kelas, tengah sibuk mencatat materi di papan tulis. Gadis itu, Natya Raharjeng, yang memang sering mengorbankan waktu istirahatnya. Seakan tidak peduli dengan semua teman yang lantas berlarian untuk membeli jajanan kantin. Hal ini dilakukannya, lantaran rangkaian ujian penentu kelulusan hampir di depan mata. Hanya terik matahari menembus kaca kelas, menemani goresan pulpen yang menari di atas buku Natya. Ia merupakan salah satu siswi di sebuah Sekolah Menengah Atas ternama. Penampilannya terlalu biasa untuk ukuran remaja perempuan yang sudah menginjak kelas sepuluh. Natya cenderung tak mengikuti perkembangan zaman. Bahkan tak memiliki sahabat atau teman dekat, ia hanya berteman seperlunya. Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Disusul dengan derap langkah yang berhasil mengusik konsentrasi Natya, membuatnya melirik sekilas. Terlihat dua laki-laki melangkah mendekati mejanya. "Heh, Nat!" seru salah satu dari laki-laki itu. Natya tak terkejut mendengar seruannya, lantaran sangat mengenali suara tersebut. Sedari awal bahkan sudah yakin, kedua teman kelasnya itu akan menghampiri. Natya hanya menghela napas pelan, memilih mengabaikan. "Nggak denger kali, cuy!" Sahabat laki-laki tersebut menginterupsi dengan tidak sabar. Namun, masih gagal untuk membuat Natya memperhatikan mereka. "Natya!" Anak laki-laki itu kembali menyentak Natya. Akhirnya Natya menyerah karena sudah terusik. Decakan dari bibirnya terdengar jelas. ditambah tatapan malas saat mendongakan wajah. Kini, melihat jelas bahwa Asep dan Tata sudah berdiri hadapannya. "Apaan? Bisanya ganggu aja!" Tata, laki-laki itu, menarik salah satu sudut bibirnya. Memandang Natya remeh. "Akhirnya, gue tahu nama bokap lo!" ujarnya terdengar begitu bangga. "Yaelah," dengus Natya kesal. Tak lupa memutarkan bola matanya jengah. Hanya karena Tata mengetahui nama bapak mengharuskannya berhenti mencatat. Ini jelas sangat membuang waktu Natya. "Ya, terus?" tanyanya memutuskan untuk mengalah karena terlalu malas meladeni. Tak langsung mendapatkan balasan, Natya kembali melanjutkan catatannya dengan sesekali membaca papan tulis. Itu bukan reaksi yang Tata inginkan saat ini di wajah Natya. Ia bahkan sudah sering kali menebak nama orang tua Natya, akan tetapi selalu saja salah. Tata mendengus masih memperhatikan respon Natya yang tidak sama sekali berubah. Asep pun tak banyak membantu, saat ia meminta pendapat. Sedangkan Natya teringat waktu itu, Tata pernah menyebutkan semua nama tetangganya yang terdapat di komplek perumahan. Dengan alasan, mungkin saja nama-nama yang disebutkan ada yang sama seperti nama bapaknya. Mulai dari Sarniadi, Barjo, Paijo, Haidar, Hermanto, Salino, Paryanto, Pardimin, Ponimin, Amin, Kasmin, Kuswaro, Budi. Itu semua belum seberapa karena masih banyak lagi yang telah Natya lupakan. Tak sadar membuat Natya menggeleng tak percaya. "Ngapain lo geleng-geleng? Kali ini nggak bakalan salah lagi," ujar Tata begitu yakin menggebu-gebu. Setelah melihat yang baru saja Natya meragukannya. Dikibaskannya tangan Natya tetap mengabaikan Tata. Namun, debaran jantungnya tak bisa berbohong, ia merasa sedikit khawatir kali ini. "Halah, dari zaman kelas sepuluh omongan lo selalu sama, tapi nyatanya apa? Selalu salah!" Natya mendongak kepada Tata lalu mencebikkan bibir. Tata membeliak tak percaya. Cukup yang sudah-sudah. Kali ini, ia sangat yakin bahwa jawabannya benar, tak mungkin salah lagi. "Sekarang gue yakin seratus persen, Nat," jawabnya tak mau kalah. Asep yang hanya mendengarkan kini mengangguk-angguk setuju, seakan ikut menyemangati temannya. "Siapa kalau gitu?" sahut Natya menantang seraya meletakan pulpennya. "Bilang aja buruan! Gue mau lanjut nyatat lagi!" "Sengak banget lo," Tata berdecak menahan kekesalan. Padahal awalnya ia berniat untuk membuat Natya kesal. Toh, selama ini mendengar Natya menyebutnya dengan nama bapak, Tata mencoba berusaha untuk tetap cool. Natya memandang Tata semakin jengah. Dihelanya napas panjanh nan dalam, menghadapi Tata kali ini membuatnya begitu lelah. Terlebih, Tata bukanlah teman dekat maupun sahabat Natya. Bagaimana bisa menjadi sahabat, jika Tata merupakan orang yang cukup sering membuat Natya kesal. Terlebih, Natya memang tak memiliki sahabat atau teman dekat selama ini. Lebih memilih bersikap netral pada semua teman di kelasnya. Bersikap seperlunya dan tak ingin berlebihan. Selain itu, Natya sama sekali tak pernah macam-macam. Pulang sekolah, langsung kembali ke rumahnya. Ia bahkan belum pernah pergi nongkrong ataupun mampir ke tempat-tempat lain bersama teman. Natya lebih menyukai kesendirian. Tentu saja ditemani dengan playlist musik kesukaannya. "Nama bokap lo mirip kayak nama bus malem, 'kan?" ucap Tata dengan seringai yang begitu menyenalkan. Natya tersentak sejenak. "Apa? Ngomong apa barusan?" tanyanya tidak yakin kemudian memastikan. "Nama bokap lo mirip nama bus malem!" ulang Tata sekali lagi dengan penuh emosi yang sengaja ia bangun untuk lebih mendramatis momen ini. Di balik ketidakpedulia Natya yang hanya mengedikan bahunya, tetapi dadanya yang sempat berangsur normal, kembali berdebar kencang. Sebisa mungkin, Natya mencoba untuk mengontrol mimik wajahnya. Meski begitu kesal saat ekspresinya seolah mudah dibaca oleh Tata. "Sebutin aja dulu, Darmadi! Selesai itu, baru lo ketawa!" sentaknya kala mendengar tawa Tata yang menyebalkan. "Sialan lo, Nat! Gue belum nyebutin nama bokap lo,ya. Lo nggak usah sebut-sebut nama bokap gue dong! Dasar Handoyo!" Tata yang semula senang, kini tak kalah kesal. "Madi sialan!" balas Natya yang menyerah menahan amarahnya, tetapi masih mempertahankan pride-nya. Kini, tawa Asep langsung terdengar mengisi ruangan kelas. Belum lagi, Tata yang awalnya emosi mendadak ikut terbahak. Mimik wajah dari Natya begitu menghiburnya kali ini, ingin sekali rasanya Tata abadikan. Natya mendengus kasar sekaligus mengumpat kecil. Ini semua tak bisa didiamkan. Tata dan Asep masih bersuka cita atas keberhasilannya mengetahui nama bapak dari Natya. Tak sia-sia usahanya kali ini. Meminta data dari penjaga kantor TU. "Yah, makin emosi. Bingung ya, gue bisa tahu dari mana? Sabar, ya, Nat." Tata meledek Natya habis-habisan. "Berisik lo! Udah sana pergi!" Natya memang semakin kesal bahkan sudah kehabisan kata-kata. Semakin Natya kesal, Tata makin melebarkan senyum puasnya. Seakan memenangkan door prize ketika sadar wajah Natya yang memerah. "Udah sana pergi lo berdua!" usri Natya untuk kedua kali belum mengubah nada bicaranya justru makin emosi. "Sep, si Natya memang galak banget, ya. Begitu aja ngambek! Makanya, Nat, kalau lo nagih uang kas nggak perlu sebut nama bokap gue," ucap Tata yang sebenarnya menyuarakan keinginan hati. "Heh! Dengar ya, kalau gue nggak galak yang ada lo makin ngelunjak. Gue galakin aja malas bayar kas, apalagi kalau gue baikin, yang ada lo nggak bayar kas! Tunggakan lo sampai sebulan, lo tahu nggak?!" balas Natya sengit seraya membeberkan. Karena asumsi Natya uang jajan Tata habis untuk mentraktir pacar-pacarnya. Maka tak heran, Tata selalu terlambat membayar uang kas, jika Natya tak menagihnya. Sejak semester awal kelas sepuluh, Natya memang sudah menjabat sebagai bendahara kelas. Dia terkenal akan galaknya. Mungkin sikapnya yang seperti itu, membuat teman-temannya pun segan. Kalau sudah menyangkut hal yang menjadi tanggung jawabnya, Natya tak segan akan memberi gebrakan kepada semua temannya yang melanggar peraturan. "Tahu nih, Natya galak banget. Pantas aja jomblo," ujar Asep asal denga menahan tawa. Tata kembali terbahak mendengar ucapan Asep. Seketika Natya terdiam. Ia pun bingung mendengar ucapan mereka berdua, tengah meledek atau memang bertujuan mencelanya. Setelah hanya mengerjap beberapa kali, Natya memutuskan untuk tetap diam tak membalas. Sadar akan terlalu menutup diri bahkan Natya sempat merasakan iri ketika melihat beberapa temannya, menjalani hubungan percintaan. Di dalam kelasnya saja ada 3 pasangan karena cinta lokasi. Mengungkit masalah kejombloannya memang paling berhasil membuat Natya tersinggung. "Diam 'kan, dia." Tata masih meremehkan Natya. "Memang gue harus gimana? Lo juga udah puas, 'kan?" Natya kembali memandang Tata dengan lebih kalem. "Kalian lebih baik pergi deh, lanjutin istirahat, sana!" Entah sudah berapa kali Natya mengusir. Masih merasa malu sekaligus kesal, Natya hanya bisa mengusir Tata dan Asep. "Galak banget kayak ibu kos!" Tata mencebikan bibir. "Diem lo, Darmadi!" balas Natya membentak padahal melihat mereka menuruti ucapannya. Namun, seakan tak dapat mengubah kekesalan tadi. Tata yang sudah akan pergi, membalikan badan menatap Natya tajam. "Ngomong apa lo, Handoyo?" "Udah-udah!" Asep melerai Tata dan Natya. "Cabut aja yuk, cuy! Sebentar lagi pasti si Natya ngacak-ngacak kelas!" serunya kembali mengekori Tata yang sudah melangkah keluar kelas. Sejak saat itu, setiap kali Tata dan Natya saling sebut satu sama lain dengan memanggil nama kedua orang tua masing-masing, Darmadi dan Handoyo. 10 tahun yang lalu... "Siapa yang masih belum paham tentang bab Avogadro?" tanya Bu Lika yang suaranya terdengar ke penjuru kelas. Bu Lika memang guru yang paling sabar. Beliau juga merupakan wali kelas Natya dan Tata. Natya mengangkat tangan ragu-ragu. "Saya, bu. Belum paham," ucapnya sedikit takut. Belum dijawab, tiba-tiba terdengar suara bel yang menandakan pelajaran usai. Tidak menanti Bu Lika berbicara, anak-anak kelas sudah terlihat sibuk berkemas. Mengingat mata pelajaran Bu Lika di jam terakhir. Bu lika hanya tersenyum kecil lalu mengangguk. "Hanya Natya saja? Ada yang lain?" Beliau memastikan. Namun pertanyaan Bu Lika sudah terlindas oleh keriuhan murid didiknya pada jamberakhirnya pelajaran. "Baiklah, karena jam belajar sudah selesai, Ibu ulas kembali minggu depan ya, Natya," ujar Bu Lika. Kemudian ikut merapikan buku-bukunya. "Baik, bu," jawab Natya sambil mengangguk samar. Natya masih duduk bertahan di dalam kelas. Meski suasana sekolah sudah cukup sunyi. Seakan tidak pantang menyerah, ia masih mengamati catatan yang Bu Lika berikan tadi. "Kok susah, ya?" Menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. "Wah, gue belum bisa ngerti." Setelah beberapa menit mencoba kembali membaca buku catatannya. "Ini kok hasilnya segini?" Natya bahkan menghitung ulang. Namun, justru semakin tak mengerti. "Nyerah, deh!" ungkapnya setelah bertekad di dalam hati untuk tidak mudah menyerah. Setelah beberapa kali merutuk sendiri. Ketika akan berkemas, Natya terpaku kala pintu kelas terbuka lebar. Matanya lantas menangkap sosok Tata yang sudah berdiri di ambang pintu kelas. Membuat Natya mengernyit, heran. Ia kira yang masih tersisa di sekolah ini, hanya dirinya dan juga anak-anak eskul. "Nat, lo ngapain kok belum balik?" tanya Tata penasaran. Tak menunggu jawaban dari Natya, Tata lantas melangkah mendekati mejanya. "Abis nyalin contoh soal yang Bu Lika kasih," balas Natya menunjukan buku tulisnya. Tata mendengus geli. "Serius? Lo nyalin beginian?! Kurang kerjaan banget. Ini sih ada di buku cetak, Nat." Natya mendongakkan menatap Tata. "Hah?! Masa sih?" Ia jelas tak percaya. Tata mengangguk cepat sambil mencari buku yang ia maksud di meja Natya, tetapi tidak ada. "Buku cetak lo mana? Sini dah." Seakan terhentak, Natya lantas mengalihkan tatapannya dari Tata. Dengan tergagap, ia menyodorkan buku tersebut pada Tata. Kini, Tata yang mengambil alih, tak sampai hitungan detik, sudah menyodorkan kembali buku cetak miliknya. Natya terpaku membaca barisan angka yang tercetak. "Ini. Nomor tiga bagian dua, lo lihat? Sama, kan? Sama kayak yang di papan tulis?" ucap Tata seraya menunjuk point pentingnya. Natya meringis pelan. Betapa malunya dan tentu saja pasti terlihat begitu bodoh di hadapan Tata saat ini. "O--oh iya! Kenapa gue baru sadar, yah?" "Kerajinan lo, Nat, kalau mau nyalin jawabannya aja," saran Tata. "Iya sih, tapi tetap aja, gue masih nggak ngerti. Kenapa susah sih," keluh Natya tanpa sadar. "Bagian mana yang lo nggak ngerti?" tanya Tata sambil menarik bangku tepat di samping Natya. Aroma Tata lantas menguar merasuki indera penciuman Natya. Meski hanya aroma pewangi pakaian biasa, tetapi berhasil membuat jantungnya berdebar kencang. Tak sengaja melihat Tata dalam jarak cukup dekat, Natya hanya bisa membatin kalau Tata memang ganteng. Dengan cepat, ia memutuskan pandangan. Berusaha keras menetralkan debaran jantungnya. Diam-diam, Natya menghirup napas dalam. "Ta, Seriusan lo mau ngajarin gue Avogadro?" tanya Natya terdengar sedikit bergetar. Tata mengangguk tanpa menoleh, pandangannya sibuk mengamati soal-soal di buku milik Natya. "Jadi bagian mana yang lo nggak ngerti? Mumpung gue lagi baik nih, tapi cepat ya, takut keburu sore." "Yang ini." Natya menunjuk soal yang lain. "Nyari massanya gimana?" "Sekarang gue tanya, rumus cari massa apa?" tanya Tata menatap Natya. Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Jika menahan pandangan tiga detik berarti orang tersebut tertarik. Teringat hal tersebut, Natya mengerjapkan mata. "Gue nggak tahu, Ta...." Di saat kepalanya yakin, ia baru saja menghapal rumus itu. Akan tetapi semua berubah kosong. Natya diam-diam beberapa kali sempat memperhatikan Tata. Ketika mendapatkan kesempatan seperti ini, justru membuat Natya sulit untuk mengendalikan rasa debar dalam d**a. Karena tanpa menahan pandangan 3 detik pun, bahkan Natya sudah tertarik. Tata itu perpaduan sempurna. Tinggi, ganteng, dan pintar. Tata menghela napas mencoba untuk sabar. "Rumus aja, lo nggak hafal. Gimana bisa, ngerjain soal?" ujarnya setelah memutus kontak pandangan pada Natya untuk kembali melihat lembar buku. Natya tidak berucap untuk menimpali. "Gue contohin dulu, deh." Tata memutuskan mengambil pulpen yang tengah Natya genggam. "Ini kalau mau cari massa, jumlah mol, lo kaliin sama massa relatif atom molekul, rumusnya dikali M." Tata menulis rumus tersebut di buku catatan Natya. "Nah, sekarang, coba lo hitung?" Kembali menyodorkan pulpen kepada pemilik sebenarnya. "Okei." Natya mengangguk lantas mulai menghitung menggunakan fitur kalkulator yang ada di ponselnya. Tata mengamati Natya. Melihat Natya yang serius hingga kening berkerut, membuatnya cukup terhibur. "Ketemu!" pekik Natya bangga. "Ketemu, 'kan?" Tata tersenyum kecil. Perut Natya melilit seketika, tak sengaja melihat jelas senyum itu. "Lo memang harus hafal rumusnya, Nat. Kalau udah hafal rumus, ngerjain soal jadi gampang," ucap Tata tetapi tidak terdengar menggurui. Natya mengangguk cepat. "Iya, bener, Ta. Thanks banget loh." Tata tertawa pelan. "Apaan dah, gue cuma ngasih tahu rumus, lo sendiri yang hitung." Pikiran Natya semakin bercampur, teringat setelah ini dirinya tidak akan bisa menatap Tata lekat. Kening Tata mengerut saat melihat arloji yang cukup keren untuk anak seusianya di pergelangan tangan. "Udah sore, Nat. Lo nggak mau balik?" tanyanya seraya bangkit. "Ya iyalah, gue juga tahu udah sore." Natya mulai membereskan buku dan peralatan sekolahnya. "Baliklah. Masa mau nginap." "Lo balik sama siapa?" Natya tak salah dengar, bukan? "Kenapa, Ta?" Ia memastikan jika pendengarannya tidak salah dengar. "Lo balik sama siapa?" tanya Tata mengulang menahan gemas. Mereka saling berpandangan. Namun, dengan cepat, kali ini Natya yang memutuskan. "Sendiri." Setelah dadanya menghangat, rasa hangat jtu seakan menjalar ke pipi. Tata mengangguk paham "Ke arah mana lo?" "Indigo," jawab Natya singkat. Yang sebenarnya tengah menahan gemuruh di d**a. "Ya sudah. Ayo, ke halte nunggu bus," ajak Tata yang melangkah terlebih dahulu keluar kelas. Melihat punggung Tata, Natya tersenyum senang. Meski langkahnya terlunta, harus terburu untuk mengimbangi Tata. "Ta! Jalannya santai aja. Nggak perlu buru-buru kayak mau ngambil gaji." "Takut ketinggalan bus, Nat," jawab Tata tetap melangkah tanpa menoleh ke arah Natya. Akhirnya, mereka sampai di halte lebih cepat dari biasanya. Suasana halte sama sepinya dengan suasana kelas tadi. Tinggal mereka berdua yang menempati bangku di halte tersebut. Tak menunggu lama, bus tujuan Alam Sutera datang, tetapi mereka abaikan. "Ta, rumah lo di mana?" pertanyaan Natya berhasil membuat Tata menoleh. "Alam Sutera," balas Tata santai. "Hah?" Natya memandang bus yang sudah jauh dengan gelisah. "Loh, itu tadi, udah datang busnya. Lo nggak naik?" ucapnya yang sedikit histeris melihat Tata yang terlalu santai. "Udahlah, nanti juga datang lagi," sahut Tata pelan. Natya memandang Tata terheran. Ia bahkan masih mengingat jika Tata yang awalnya terburu untuk mengejar bus, supaya tidak ketinggalan. "Bukannya tadi lo takut ketinggalan bus?" tanyanya tak habis pikir. "Kita cuma berdua di sini. Lo berani sendirian?" Mencoba memahami apa yang dimaksud Tata, membuat Natya terdiam memandang Tata sulit diartikan. Hingga kemudian terdengar suara klakson bus yang semakin mendekati halte. Natya segera bangkit daei duduknya. "Ta, bus gue datang. Gue duluan, ya!" Natya tersenyum simpul berpamitan. "Okei, Nat." balas Tata yang ikut bangkit seraya mengacungkan ibu jarinya kepada Natya. Melihat Tata yang masih berdiri di halte ketika bus yang ditumpangi Natya jalan, membuat Natya berkali-kali menghela napas panjang. Napasnya tersengal bukan karena ia berlari kecil menghampiri bus ini. Namun, ucapan Tata yang tidak langsung menggambarkan, bahwa laki-laki itu rela menunggu bus kembali, karena tidak tega meninggalkannya sendirian. Rasanya Natya tidak ingin untuk mengakhiri hari ini begitu saja. Senyum Natya mengembang sempurna di wajah tanpa disadari. Kala mencoba menikmati euforianya yang tercipta. Namun, ia harus cepat untuk menetralkan perasaan gembira berlebih kali ini. Natya menyamarkan senyumnya dengan susah payah. Meskipun masih berpikir tentang satu hal yang sekarang sudah menyeruak lebar. Bahwa Tata telah berhasil menambah kadar rasa suka yang selama ini Natya tahan. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD