Bath tube

1845 Words
Banyu duduk di atas sofa yang berada di dekat ranjangnya, menghadap langsung ke pantai lepas, menyaksikan langit yang perlahan mulai berubah warna, seiring fajar yang mulai menyingsing membuat mentari pagi siap berbagi kehangatannya. Laura duduk miring di pangkuannya menyandarkan tubuh dan membenamkan wajahnya di leher sang suami. "Sayang, mau sarapan di luar atau pesen room servise aja?" tanya Banyu karena merasakan perutnya yang sedikit keroncongan. Ia tidak begitu banyak memakan makan malamnya semalam ditambah lagi sudah banyak tenaga yang ia keluarkan malam ini. "Hem ...." Laura hanya bergumam merespon pertanyaan dari bibir Banyu. "Sayang, pemandangan indah gini kamu malah tidur lagi," ucap Banyu sambil membelai kepala sang istri lalu merapikan anak rambut yang menutup sebagian wajahnya. "Aahhh, Abang. Aku masih ngantuk, 'kan aku baru tidur bentar," gumam Laura. Banyu mengulum senyum mendengarnya, "ya kamu, semalem Abang ajakin tidur malah ngebangunin terus." Laura tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya di tubuh Banyu seolah itu adalah tempat ternyaman sedunia. Banyu menciumi pucuk kepala sang istri dan membiarkannya terlelap dalam dekapannya, ia biarkan rasa lapar yang terasa untuk beberapa saat sampai ia rasa Laura benar-benar lelap dalam tidurnya. * Dita Andriyani * Ceu Irah tengah menyiapkan meja makan, berbagai menu makanan sehat telah tersedia di atas meja makan siap menyambut ketiga penghuni rumah, Daniel masih tinggal di rumah itu tentu saja dengan membawa istrinya turut serta. Priyo sendiri yang meminta mereka tetap tinggal di sana karena ia tak kuasa menbayangkan betapas sepinya rumah itu tanpa anak-anaknya. Kadang lelaki itu merasa jika ia terlambat menyadari kesalahannya, di saat dia sudah sadar bahwa keluarga adalah hal yang paling berharga anak-anaknya malah justru sudah harus memulai hidup baru mereka dan meninggalkannya sendiri. Sebenarnya ia ingin Laura lah yang tetap menempati rumahnya itu, tapi ia sadar jika Banyu adalah anak tunggal ia juga merasa tidak tega jika Miranda harus merasa kehilangan Banyu, maka ia biarkan Laura tinggal bersama ibu mertuanya. Priyo keluar kamar dengan membawa tas kerja dan jas yang tersampir di lengannya, tidak jauh berbeda dengan apa yang selalu dilakukan Dimas. Memang benar jika ada pepatah buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, baik perilaku ataupun sifat Dimas memang mirip Priyo. Dalam waktu yang tidak berselang lama Daniel turun dengan Sandra menggenggam tangannya, memang tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada hari depan jika dulu tangan Sandra adalah tangan yang paling Daniel hindari tapi sekarang tangan itulah yang paling ingin ia genggam. "Selamat pagi, Pi." Sapa keduanya bersamaan pada Priyo yang sedang menyeruput kopinya, Priyo yang sedikit terkejut hampir saja tersedak dibuatnya. "Pagi, bagaimana persiapan resepsi pernikahan kalian?" tanya priyo setelah mereka berdua duduk berdampingan. "Progresnya sudah tujuh puluh persen, Pi." jawab Daniel, sementara Sandra tengah sibuk melayani suami dan mertuanya mengisi piring mereka dengan nasi dan lauk pauknya. "Kalian urus semuanya dengan baik, ingat setelah itu kamu urung kuliah kamu dan langsung kerja!" tegas Priyo sebelum menyuap makanannya. "Yah, Papi! Kita, 'kan, mau honeymoon dulu. Lagian kuliah Daniel juga tinggal nunggu wisuda aja," protes Daniel. Dari ketiga anaknya memang Daniel ini yang istimewa, keras kepala dan banyak maunya. "Ya sudah, tapi kalau kalian mau pergi honeymoon jangan lupa pulangnya bawain Papi oleh-oleh," ujar Priyo. "Sip. Gampang kalau cuma oleh-oleh, sih," jawab Daniel. "Emang Papi mau oleh-oleh apa?" kini Sandra yang bertanya. "Papi mau cucu," jawab Priyo enteng. Mendengarnya Sandra mengulum senyum malu dengan pipi yang bersemu merah. "Ya, kalau itu, sih, enggak perlu nunggu kita pulang honeymoon, Pi. Sekarang aja setiap saat selalu kita usahain bikin, kok!" celetuk Daniel tanpa tedeng aling-aling yang berakhir dengan ringisan karena sebuah cubitan mendarat di lengannya. "Sakit, sayang!" protes Daniel pada istrinya yang tengah melotot. "Kalau ngomong jangan begitu! Malu!" bisik Sandra. Priyo menehan tawanya sambil meneguk air putihnya pura-pura tidak memperhatikan tingkah anak dan menantunya. "Selamat pagi semua." Pandangan mereka berpindah ke sumber suara. "Selamat pagi," jawab mereka. Kompak. Dimas menarik kursi yang berada di ujung lalu duduk bersandar dengan santai. "Kak Dimas mau sarapan?" tanya Sandra. "Enggak, terima kasih. Tadi udah sarapan di rumah," jawab Dimas. "Terus ngapain lu pagi-pagi ke sini?" tanya Daniel. Tengil seperti biasanya. Sandra mengeplak tangannya memintanya untuk berbicara lebih sopan pada Kakaknya. "Apa lagi, sih, Sayang?" protes Daniel. Lagi. "Sopan dikit kalau ngomong sama orang tua!" tegas Sandra sambil berbisik. "Kita emang biasa gini, Sayang. Tapi ... emang bener, sih, Dimas udah tua!" jawab Daniel sambil terkekeh. "Jemput Papi. Kita mau ke Surabaya ada meeting di sana." jawab Dimas membuat mereka berdua menyudahi perdebatannya. "Wah ... jangan lupa baliknya beli lapis Surabaya, ya!" pinta Daniel bersemangat. "Kak, gimana dengan Nabilla?" tanya Sandra tiba-tiba membuat Daniel diam dan memperhatikan mereka. Sedangkan yang ditanya hanya tersenyum kikuk. "Kayak ABG aja lu, malu-malu gitu! Denger enggak tadi Sandra bilang elu udah tua!" ledek Daniel pada kakaknya. "Sayang!" bisik Sandra penuh penekanan. "Iya-iya, gini banget, ya. Punya bini," gerutu Daniel tapi malah membuat cubitan Sandra menghinggapi pinggangnya. "Aduh, iya ... iya, ampun! Dimas dan Priyo tertawa melihat tingkah mereka. "Kakak udah hubungi dia? 'kan, aku udah kasih nomernya?" Kembali Dimas tergagap karena Sandra yang masih membahasnya. Entah sadar atau tidak tapi sepertinya Sandra berencana menjodohkan Dimas dengan sahabatnya itu. "Iya, udah. Hanya sekedar bertanya kabar," jawab Dimas sekenanya. Dalam hati ia membenarkan perkataan Daniel dirinya mendadak seperti ABG yang merasakan jantung akan melompat hanya karena membicarakan seorang wanita. Sandra tersenyum lebar mendengar jawaban Dimas, "Nanti pas resepsi pernikahan kami, dia ke sini lho!" Tanpa disadari senyum Dimas merekah karena merasa bahagia bisa bertemu Nabilla lagi. "Biasa aja kali enggak usah kembang kempis gitu hidung elu!" sambar Daniel melihat wajah Dimas. Detik kemudian ia melirik istrinya, dan bisa bernapas lega karena melihat Sandra yang sedang tersenyum bukan menyemberuti dirinya seperti tadi. "Dimas, Papi seneng kalau kamu sudah bisa membuka hati kamu untuk wanita lain, tapi Papi cuma pesan satu hal–." "Jangan bilang pesen cucu lagi, Pi!" celetuk Daniel memotong ucapan Papinya. Lalu langsung diam karena Sandra yang mengeplak lengannya sambil memyuruhnya diam. "Papi cuma ingin kamu lebih berhati-hati, carilah wanita yang baik. Jangan sampai kamu salah melangkah untuk kedua kalinya." Priyo melanjutkan perkataannya. Dimas mengangguk sambil memandang Sandra yang juga mengangguk kecil seolah mengatakan jika Nabilla adalah wanita yabg baik untuk dirinya. * Dita Andriyani * "Sya, maaf, ya, semalem hape gue ketinggalan di kamar. Eh, pas gue telpon balik elu enggak angkat," ujar Laura begitu panggilannya pada sang sahabat diterima. "Enggak apa-apa, Ra. Justru gue yang minta maaf karena gue udah ganggu acara honeymoon elu," jawab Meisya dengan suara parau khas seseorang yang habis menangis. "Sya, lu nangis kenapa?" tanya Laura penasaran, ia tahu betul kalau sahabatnya itu adalah gadis kuat yang jarang sekali menangis walau menghadapi masalah berat. "Istrinya Papi Rudi meninggal, Ra," jawab Meisya pelan. "Iya, semalem gue udah denger dari sekertarisnya Bang Banyu. Terus apa masalahnya, kenapa elu sampe nangis gitu?" tanya Laura sambil menyingkirkan tangan Banyu yang sibuk menjelajah tubuhnya, ia tahu jika yang akan ia bicarakan dengan Meisya adalah hal yang serius. "Gue sedih, gue takut, Ra! Mereka bilang gue penyebab istrinya Papi Rudi meninggal," jawab Meisya sambil tergugu. Laura pun tampak terkejut mendengarnya, "Hah? kok bisa!" Banyu mendongak agar bisa menatap wajah Laura, lalu setelahnya kembali membenamkan wajahnya di pelukan Laura. "Iya, mereka bilang karena gue istri Papi Rudi kena penyakit jantung. Terus sakit-sakitan sampe sekarang meninggal," sahut Meisya sambil terus terisak. "Mereka siapa?" tanya Laura tidak mengerti karena sebelumnya Meisya tidak pernah menceritakan apa-apa. "Anak-anaknya Papi Rudi, gue takut, Ra." Laura juga terkejut mendengarnya. Konsentrasinya terbagi antara mendengarkan Meisya dengan menikmati apa yang Banyu lakukan pada tubuhnya. "Jadi mereka udah tau?" gumam Laura. "Iya, Ra. Gue harus gimana?" tanya Meisya membuat Laura harus berfikir tapi bagaimana dia bisa berfikir jika Banyu terus mengerjainya. "Abang! nanti dulu, lagi serius ini!" bisik Laura tegas, Banyu menghentikan aksinya lalu berjalan ke kamar mandi. "Papi Rudi sendiri gimana? Dia belain elu, 'kan?" tanya Laura serius. "Gue enggak tau, kita belum ketemu, tapi sejak istrinya di rumah sakit dia juga enggak hubungin gue," jawab Meisya dengan nada bingung. "Sya, kenapa elu enggak tinggalin Papi Rudi aja? Apa lagi sekarang anak-anaknya udah tau, dan mereka pasti enggak suka sama elu." Dengan halus Laura menasehati Meisya. "Gue pengen kuliah, Ra. Elu tau sendiri biaya kuliah sekarang berapa, orang tua gue udah angkat tangan buat nguliahin gue," jawab Meisya sedih. "Lu bisa kuliah sambil kerja, Ra. Nanti lu kerja di restoran suami gue aja, gimana?" tanya Laura. "Thanks banget, ya, Ra. elu emang sahabat gue yang terbaik," jawab Meisya. "Tapi, gue tetep takut kalau anak-anak Papi Rudi bakal laporin gue ke polisi," keluh Meisya. Laura tersenyum mendengarnya. "Mereka enggak bakalan ngelakuin itu, Sya. Mereka enggak bakalan membuka aib orang tua mereka sendiri, atau setidaknya Papi Rudi enggak bakalan ngebiarin mereka ngelakuin itu. Lu tenang aja, ya, kalau ada apa-apa lu harus langsung ngabarin gue aja." Sebisa mungkin Laura mencoba menenangkan Meisya. "Begitu, ya, Ra?" gumam Meisya. "Iya, mendingan sekarang elu ke rumah Celine aja, deh, elu ngerumpi ama dia biar enggak kepikiran yang aneh-aneh. Masalah hubungan elu sama Papi Rudi, nanti pasti kalau dia udah enggak berkabung dia akan hubungin elu lagi. Eh, tapi gimana ceritanya anak-anaknya bisa ngancam elu?" tanya Laura penasaran. "Gue enggak tau darimana mereka bisa tau, mereka tau-tau dateng ke tempat kost gue dan ngelabrak gue waktu Papi Rudi lagi nunggin istrinya di rumah sakit," terang Meisya, Laura hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Maaf, ya, gue enggak ada di samping elu pas elu lagi ada masalah," ujar Laura merasa bersalah. "Enggak apa-apa, Ra. Walaupun kita udah enggak bisa sama-sama terus, tapi gue tau elu sahabat yang terbaik," jawab Meisya mantap. "Ya udah. Sekarang elu jangan terlalu banyak fikiran. Gue enggak mau Elu sakit!" tegas Laura. "Iya, Ra. Setelah ngobrol sama elu pikiran gue jadi lebih tenang. Ya udah, sana lu lanjutin kegiatan yang tertunda gara-gara gue!" ledek Meisya. "Hah, kegiatan apa?" tanya Laura pura-pura bodoh. "Alah, pura-pura! lu pikir gue kagak denger!" jawab Meisya sambil terkekeh. Laura tergelak mendengarnya, ucapan Meisya membuat Laura sadar jika suaminya sudah terlalu lama di dalam kamar mandi. Sedang apa dia? "Iya, deh. Bye Meisya," pungkas Laura dan tanpa menunggu jawaban ia sudah mematikan ponselnya lalu meninggalkan sofa tempatnya bersandar menuju kamar mandi yang pintunya tidak terkunci. "Bang?" panggil Laura pelan. Banyu hanya berdeham untuk menjawab panggilan istrinya. Laura masuk dan mendapati Banyu duduk di dalam bath tube yang masih kering sambil memainkan sebuah game dalam ponselnya. Laura memeluknya dari belakang dan menciumi tengkuknya, Banyu sama sekali tidak merespon ia masih saja fokus dengan ponselnya. Laura mencibirkan bibirnya, "Hm ... mau balas dendam, nih, ceritanya!" batinnya. Laura mengambil ponsel dari genggaman suaminya dan meletakkannya di atas meja sabun, lalu masuk ke dalam bath tube dan duduk di atas pangkuan suaminya. Tangannya memutar keran hingga air hangat perlahan mulai memenuhi bath tube dan membasahi piyama yang masih mereka kenakan walau kancingnya sudah tidak terpasang rapi. "Maaf, ya, Bang. Meisya lagi ada masalah," bisik Laura. Banyu mengernyitkan dahinya, "Masalah apa?" "Nanti aja ngomonginnya kalau kita udah selesai," jawab Laura. "Selesai apa?" tanya Banyu berlagak polos. "Hem ... pura-pura enggak tau, kita udah pernah di sana, sekarang gantian di sini!" jawab Laura. sambil melirik shower dan bath tube bergantian. Banyu mengulum senyum lalu memulai aksinya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD