Jiwa yang Mati dan Sebuah Rencana

1875 Words
Amelia menggeliat dalam tidur. Wanita itu memimpikan kehidupan yang nyata bersama kakaknya. Kehidupan indah, dimana ia dan sang kakak bersama demi merajut asa. Menjalankan rumah tangga yang secara sembunyi ia idam-idamkan. Dosa! Sekalipun dalam mimpi, nyatanya satu suku kata itu juga melintas dalam benak Amelia. Sejauh apapun Amelia pergi, nyatanya ia ingin terus kembali. Biarlah hanya darah yang menjadi alasan untuk ia tak bisa bersatu dengan sang kakak. Asal masih bisa melihat Kakaknya, Amel cukup bahagia. Cukup! Amelia membuka mata perlahan saat merasakan ada seseorang yang memeluk tubuhnya. Ia menatap sendu wajah Damian yang berada dihadapannya. Jemari tangan Amelia terulur menyentuh wajah itu. Wajah damai yang beberapa tahun ini tidak ia lihat dalam keseharian. "Aku berdosa Kak." lirihnya, sangat pelan. "Aku berdosa. Tolong ampuni aku Kak. Biarlah hanya aku yang merasakan sakit ini." Bisik Amel mulai tercekat. Amel memajukan bibirnya, mengecup bibir Damian singkat. Dalam hati ia merasa takut jika Damian terbangun lalu mempertanyakan akan hal yang ia lakukan baru saja. "Aku mencintaimu Kak. Sangat." lirih Amelia lagi, sebelum kembali memejamkan mata. Ia ingin terus berada dalam dekapan Damian. Jadi, sebelum semuanya berakhir, biarkan dirinya kembali terlelap dengan tenang dalam dekapan pria yang ia cintai, meski dengan status yang sama. Sebagai seorang adik belaka. Lima belas menit setelah Amelia benar-benar kembali terlelap, Damian membuka kedua matanya. Hatinya menghangat saat Amelia masih berada disampingnya. Wanita itu masih tertidur damai dalam dekapan tubuhnya. "I love you," adalah kata pertama yang Damian ucapkan ditelinga dan wajah wanita itu. Meski pelan, ia harap wanita itu dapat mendengar pernyataan cintanya. Sesekali Damian mengendus wangi dari rambut sang adik. Ia terbuai dengan harum itu sampai tak sadar bahwa indera penciumannya itu saat ini berpindah meninggalkan kecupan ceruk leher wanita tercinta. Amelia melenguh membuat darah Damian berdesir hebat. Lenguhan itu, lenguhan yang Damian rindukan. Lenguhan yang ia dengar kala ia mencuri-curi bibir dan harta berharga yang dimiliki oleh wanita yang dirinya cintai. Amelia mengernyitkan kening saat merasakan sesuatu yang basah tengah bergerak diatas kulit lehernya. Tangannya bergerak, meremas baju Damian yang kini telah menindih tubuhnya. Matanya terbelalak, merasa terkejut atas apa yang Damian lakukan. "Kak.." tegur Amelia sembari mendorong tubuh Damian. Damian menggelengkan kepala, membawa kedua tangan Amelia ke atas kepala wanita itu agar sang adik banyak bergerak. Karena demi apapun, ia tak ingin kehilangan wanitanya lagi. Damian ingin Amelia terus berada diranjangnya kala ia membuka mata untuk esok dan seterusnya. "Kak, apa yang Kakak lakuin Kak. Berhenti, kita kakak-adik, Kak!” "Kakak cinta kamu." Ujar Damian berani, membuat Amelia bungkam tanpa kata. Tubuhnya mematung mendengar kata cinta yang keluar dari bibir Damian. "Kakak cinta kamu Amel. Kakak pengen milikin kamu." ucap Damian jujur. Ia tahu apa yang mulutnya katakan adalah sebuah kesalahan. Apa yang ia lakukan juga merupakan dosa besar karena ingin menggauli adiknya sendiri. Tapi bukankah dosa itu sudah ia lakukan dulu? Dosa itu tak berarti lagi setelah ia berhasil memiliki Amelia pada malam itu. Dan untuk pagi ini, ia kembali ingin berada di dalam tubuh itu secara sadar. Mengulang indahnya waktu mengarungi indahnya dunia cinta. "Kak.. Jang..." Amelia terus menggerakkan tubuhnya, menolak apa yang akan kakaknya itu lakukan. Ia bukan wanita bodoh yang tidak tahu apa arti kata memiliki dari bibir Damian. Cinta? Benar, dia mencintai Damian. Tapi untuk melakukan hubungan badan, bukankah hubungan terlarang itu terlalu jauh? Tidak, semua itu adalah dosa. Dosa yang amat besar dan Amel tak siap menanggung resikonya. "Amel nggak mau Kak. Ini dosa. Amel mau kasih semua ini buat suami Amel, Kak! Jangan!" mendengar kata suami diucapkan, rahang Damian mengeras. Baginya tidak boleh ada kata suami dihidup Amelia jika itu bukan dirinya. "Suami? Untuk suami kamu? Perawan kamu maksudnya?" Damian terkekeh kala Amelia mengangguk. "Sayang, listen. Kakak udah ambil itu dari kamu tiga tahun yang lalu. Pagi dimana kamu bilang itu kamu sakit, saat kamu merengek untuk kakak gendong. Kamu masih ingetkan, Amel?" tanya Damian sembari menampilkan seringaian. "Nggak, kakak bohong." "Kakak nggak mungkin setega itu sama Amel." Amelia menangis. Ia memalingkan wajah saat Damian ingin mencium bibirnya. Mencoba menghindar tentu saja. "Ayo kita buktikan." bisik Damian sembari menggerakkan tangannya ke bawah. Amelia mencoba memberontak saat Damian memasukkan tangannya ke dalam mini dres yang ia kenakan. "Kamu nggak akan bisa lepas, Sayang. Ini kamu.. Lihat." ucap Damian sembari mengangkat pelindung bawahnya ke udara. "Kak.. Jangan." mohon Amelia saat Damian tengah berusaha membuka celana laki-laki itu sendiri, "jangan, Kak. Amel mohon, kakak nggak boleh seperti ini." "Kakak cinta kamu Amel. Kakak nggak sanggup nahan sakit ini sendiri. Kakak butuh kamu." menulikan pendengarannya akan permintaan Amel, Damian meneroboskan miliknya tanpa izin ke dalam wanita yang ia cintai. Rasanya masih sama seperti pertama kali ia masuk. Memabukkan, membuatnya ingin terus berada di dalam sana. "Kamu masih seluar biasa dulu Amel. Kakak tahu, kamu juga cinta Kakak kan?" Amelia menggelengkan kepala. Berdusta untuk kesekian kalinya atas rasa yang hatinya rasakan pada sosok yang kini tengah memaksanya. "Kak.. Please!" mohon Amel. Semuanya terasa tidak benar. Apa yang mereka lakukan terasa menyakitkan. Bukan hanya pada inti tubuhnya, tapi juga pada hatinya yang entah mengapa juga terasa perih. "Kakak akan menikahi kamu setelah ini." ucapan Damian itu sukses membuat kesadarannya menghilang ditengah usaha laki-laki itu menyalurkan hasrat terlarangnya. “Kakak janji Sayang. Kakak akan menikahi kamu secepatnya. Persetan kalau kita memiliki darah yang sama..” Tidak ada yang boleh memilikimu.. Tidak ada yang boleh merenggutmu dariku, karena kamu hanya milikku. Takdir akan aku lawan, meski Tuhan akan mengutukku dikehidupan yang akan datang. Damian telah berserah. Pada neraka yang kelak akan membakarnya di kehidupan abadi mereka, ia memasrahkan rasa cintanya. Menghidupkan perjuangan yang dirinya padamkan untuk sang adik tercinta. Habiskan! Setelah meeting kakak akan naik ke atas. Amelia meremas kertas kecil yang Damian letakkan di atas nampan. Nampan berisi makanan itu diantarkan oleh pelayan pribadi Damian sepuluh menit yang lalu padanya. Catat! Pelayan Damian, bukan Damian sang kakak. Amelia tak bisa menahan air mata mengingat apa yang Damian lakukan semalam. Setelah merenggut kehidupannya, laki-laki yang berstatuskan kakak itu meninggalkan dirinya sendiri di dalam kamar. Tanpa sedikitpun rasa bersalah, karena telah menghancurkan kehidupannya. Kata-kata Damian entah mengapa terngiang ditelinga Amelia. Hal itu membuat Amelia semakin terisak karena pada nyatanya omongan sang kakak benar adanya. Sampai detik ini, Amelia tak bisa menghapus ingatan pada pagi dimana daerah intimnya terasa kelu. Ia bahkan harus merengek pada Damian agar membantunya masuk ke dalam kamar mandi. Tangisnya pecah kala tak menemukan bercak darah di atas ranjang. Merasa terluka, Amelia menarik keras nampan berisi makanan yang pelayan Damian letakkan di atas nakas. Suara pecahan keramik terdengar selaras dengan isakkan kepedihannya. Bagaimana ia bisa menghadapi kematiannya nanti, jika mati pun ia akan disiksa dipanasnya api neraka karena mencintai Damian?! Karena ia dan kakaknya melakukan hubungan terkutuk yang seharusnya tak dilakukan?! "Kenapa kakak lakuin ini sama Amel?! Kenapa Kak? Kita satu darah Kak, nggak seharusnya kayak gini. Ini dosa besar!" isak Amelia sembari memeluk lututnya sendiri. Amelia menenggelamkan kepala disana. Jujur hal ini terlalu berat untuk dirinya lalui. "Aku nyesel cinta sama Kakak!” isaknya lagi, tidak sadar jika laki-laki yang tengah ia jadikan penyesalan berdiri dengan rahang terkatup hebat. Tangan lelaki itu mengepal mendengar penyesalan keluar dari bibir wanita yang ia cintai. “Aku mau pulang!” racau Amel. "Ini rumah kamu!" Suara berat penuh penekanan itu membuat laju darah Amelia terhenti. Amelia mengadahkan wajah, melihat sorot tajam sang kakak yang biasanya teduh. Takut adalah satu-satunya rasa yang mendominasi diri Amelia kala melihat mata yang menggelap. "Tidak ada rumah, kecuali kakak ada di dalamnya Amelia Wijaya." Amelia menggelengkan kepalanya kuat. Ia tidak setuju dengan pemikiran itu, karena tempat dimana sang kakak berada adalah satu-satunya tempat yang harus ia hindari mulai detik ini. "Jangan mendekat!" teriak Amelia saat Damian melangkah mendekatinya, "jangan mendekat, Amel bilang! Pergii! Pergiiii!" Jeritnya ketakutan. Bukan Damian Wijaya jika menghentikan langkah kakinya. Ia sudah bertekad, jika apapun yang terjadi Amelia harus menjadi miliknya sepenuhnya. Amelia meronta saat Damian menyentuh wajahnya. Ia terus saja menghempaskan jemari sang kakak. Merasa kotor dengan jemari yang biasanya terasa nyaman untuk ia genggam dulu. "Jangan sentuh.. Jangan sentuh Amel dengan tangan kotor kakak!" semakin Amelia menolak, jemari-jemari Damian justru semakin lancang membelai pipi putih wanita cantik itu. Bibirnya menyeringai mendengar penolakan sang wanita. Kotor, eh? "Bukankah kamu sama kotornya dengan kakak, Amel?" "Bukankah bibir cantik ini mengakui perasaannya pada laki-laki kotor ini?" dengan seringaian yang masih melekat, jemari Damian turun membelai bibir yang menjadi candunya. Damian mendekatkan wajahnya ke telinga kiri Amelia, membisikkan kalimat yang membuat mata indah Amelia tertutup, "bibir yang menggairahkan ini mengakui kejujuran hatinya. Menyatakan rasa yang sama dengan rasa yang laki-laki kotor ini miliki." senyuman kepuasan jelas terpatri dibibir Damian setelah membisikkan kalimat menohoknya pada sang adik. "Darah yang sama ini tidak akan bisa merubah perasaan kita Amel. Perasaan kakak padamu, bukanlah sebuah dosa. Jika memang dosa, kakak akan menarikmu untuk masuk dalam neraka yang sama." ucapnya sebelum mendaratkan ciuman-ciuman kecilnya dileher sang adik. Amelia membuka mata cepat. Ia tersentak dengan apa yang Damian lakukan. Tidak lagi, batin wanita itu. "Kak!" hardik Amelia keras mendorong tubuh sang Kakak. "Kakak tidak akan membiarkan dia menikahi kamu, Amel. Tidak ada laki-laki yang bisa menikahi kamu kecuali kakak." tegas Damian sebelum membalikkan tubuhnya, meninggalkan Amelia yang menangis dengan raungan keras. Amelia akan dijodohkan? Damian mengerang marah kala memilih memutuskan sepihak komunikasi terakhir yang ia lakukan dengan sang Mami. Keluarga mereka mengira Amelia kabur karena akan dijodohkan dan itu menjadi keuntungan besar bagi Damian untuk melancarkan rencana yang semalam telah ia susun. Dijodohkan ya?! Jangan harap wanitanya itu bisa dimiliki oleh orang lain selain dirinya. Amelia hanya untuknya, Amelia hanyalah miliknya. Damian tidak rela melihat Amelianya hidup dengan laki-laki lain. Terlebih laki-laki yang Damian tak tahu benar perangainya. "Buat Amelia seolah-olah menghilang tanpa jejak. Jangan sampai orang-orang Papi Saya menemukan istri Saya." Meski heran, kepala pelayan sekaligus orang kepercayaan Damian itu menganggukkan kepala. Mengerti dengan tugas yang kali ini Tuannya berikan padanya. Laki-laki itu memang tidak bekerja pada orang tua Damian, melainkan dengan Damian langsung, menjadikan titah Damian adalah sebuah keharusan yang harus laki-laki itu laksanakan. "Siapkan semuanya. Saya tidak ingin orang-orang melihat Saya membawa Amelia pergi nanti malam. Buat senatural mungkin jadikan seolah istri Saya itu kabur dari saya dengan kekasihnya." "Baik, Tuan." Damian mengetukkan jemarinya di atas meja kerja. Membuat Amelia hilang bagai ditelan bumi adalah keputusan paling tepat yang bisa ia lakukan. Setelah ini ia akan menyembunyikan keberadaan wanita itu dari semua orang yang ia kenal. Termasuk kedua orang tua mereka yang jelas-jelas akan menjadi penghalang terbesar cinta keduanya. Penolakkan Amelia? Haruskan Damian merasa terhina dengan penolakan sang adik? Ah, untuk apa dianggap. Toh menolak sekeras apapun Amelia akan tetap menjadi miliknya. Satu-satunya miliknya yang tak seorang pun bisa merenggut wanita yang menempati tahta hatinya itu. Mau tidak mau, Amelia harus ikut dengannya. Menerima kenyataan bahwa wanita itu adalah kepunyaan dirinya. Calon ibu dari anak-anak yang telah ia rencanakan keberadaannya di dalam rahim wanita itu. "Kata cinta dari kamu sudah cukup membuktikan bahwa kamu juga memiliki rasa yang sama dengan kakak Amel." kekeh Damian. Laki-laki itu menyandarkan tubuh di kursi kebesarannya. Menyeringai dengan aura kepuasan karena kebahagiaannya nampak begitu nyata di depan mata. "Kakak jadi tidak sabar membawa kamu ke istana kita, Sayang. Kamu benar-benar akan menjadi ratu dan Kakak rajanya. Kita akan bangun mimpi bersama anak-anak kelak." Membayangkannya saja darah-darah Damian terasa mengalir ketempat yang semestinya. Jiwanya yang mati telah bangkit karena Amelianya..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD