Sepulang sekolah, Lala akhirnya memutuskan untuk mengikuti Aldo. Dia sungguh penasaran kehidupan seperti apa yang dijalani pemuda itu sehingga mampu membentuk karakter bengal semacam itu.
Diam-diam Lala mengendap di belakang Aldo yang menyusuri jalan menuju Jalan Tambaksari. Gadis itu menjaga jarak sedemikian rupa sehingga Aldo tidak sadar dirinya dibuntuti. Di depan sebuah gang Aldo berhenti sejenak lalu menoleh ke belakang. Lala terkesiap dan buru-buru bersembunyi ke belakang tiang listrik. Dia mengelus dadanya yang deg-degan luar biasa. Jadi seperti ininya rasanya jadi mata-mata itu.
Lala memberanikan diri mengintip, Aldo sudah berbelok masuk ke dalam satu gang. Lala mengikutinya pelan-pelan. Ketika melangkah ke dalam gang itu Lala terpegun karena sosok Aldo sudah tidak terlihat sementara jalan di depannya bercabang dua.
"Ke mana anak itu?" keluh Lala.
"Siapa yang ke mana?"
"Si Aldo."
Lala terkejut mendengar suara dari arah belakang itu dan terperanjat melihat Aldo yang sudah berdiri di belakangnya. Cowok itu menyeringai dengan tengil lalu merangkul bahu Lala dengan mesra.
"Bu Lala mau ikut pulang ke rumah saya? Kenapa nggak bilang aja sih? Ayo saya ajakin. Nggak usah sembunyi-sembunyi gitu," ucap Aldo santai.
Lala memberontak berusaha melepaskan diri, tetapi dekapan cowok itu begitu kuatnya sehingga membuatnya kesulitan.
"Aldo! Lepasin! Aldo!" Lala mencoba berteriak.
Si tengil malah terkekeh dan menggeretnya menjauhi mulut gang. "Udah, Bu, santai aja."
Ketika Lala sibuk berkelit. Sebuah mobil melintas di samping mereka. Pengemudi mobil BMW hitam itu keluar dan menghampiri mereka. Lala terpegun sejenak menatap pria dengan Jas hitam dan separuh kulit mewah tersebut, itu si Alan, tunangan Maudy Anstasia. Lala melirik Aldo yang tampaknya sama terkejutnya. Pemuda itu diam dan tak bereaksi selain menatap Alan lurus-lurus.
Lalu tiba-tiba saja Alan menerjang dan melayangkan satu pukulan tepat ke wajah Aldo. Aldo tidak melawan. Tampaknya dia sengaja menerima pukulan tersebut. Pemuda itu lalu jatuh tersungkur. Lala membeliak, dia menutup mulutnya. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Aldo yang sudah terjerembab malah tertawa. "Pukulanmu tambah lembek aja," oloknya.
Lala melotot. Aldo ini emang biang kerok. Malah mancing-mancing begitu.
Alan merogoh sakunya dan melemparkan sebuah tiket pesawat beserta paspor. "Pergi kamu, pergi dari Negara ini sekarang juga!" geramnya.
Aldo tersenyum lalu terkekeh. "Apa hakmu mengatur-atur aku?"
"Aku sudah bilang pada Ayah," ucap Alan dengan sinis. Dia pun merasa menang ketika melihat senyuman di wajah Aldo akhirnya memudar. Alan merasa di atas angin dia melanjutkan kalimatnya. "Dia setuju untuk membuangmu. Pergi dari Negara ini sekarang atau semua kartu kreditmu diblokir."
Aldo tertawa kecil. "Masih suka mengadu? Berapa sih umurmu?"
Emosi Alan kembali naik, dia mencengkeram kerah baju Aldo. Lala tak bisa tinggal diam lagi. Dia segera menghampiri kedua orang itu untuk mencegah pertikaian yang lebih besar.
"Hentikan! Tolong hentikan!" Lala berteriak sehingga kedua cowok itu menoleh.
Aldo tercengung. Dia sudah hampir lupa pada keberadaan guru biologi itu. Rupanya Lala masih di sini? Alan mengerutkan kening, berusaha mengenali gadis yang tiba-tiba menginterupsinya.
"Jangan main kasar, kalau ada masalah tolong bicarakan baik-baik," pinta Lala. Gadis itu berusaha menjaga suaranya tetap normal meski tubuhnya gemetaran.
"Siapa kamu?" tegur Alan sambil memicing.
"Saya gurunya," aku Lala.
Alan tampak terkejut. Dia akhirnya melepaskan kerah baju Aldo. "Kalau begitu tolong ajari murid Anda ini sopan santun!" geram Alan.
Setelah menendang kaki Aldo. Cowok itu kembali masuk ke mobil dan pergi begitu saja. Lala sudah takut setengah mati, dia tak menyangka pertikaian semudah itu dihentikan.
Wanita itu menghampiri Aldo lalu berjongkok di sampingnya.
"Kamu nggak apa?" tanya Lala.
"Sakit sekali," aku Aldo.
"Di mana?"
Aldo menunjuk bibirnya. "Di sini sakit banget. Kalau dicium mungkin bakal sembuh," ucapnya sambil tersenyum m***m.
Lala menggeram kesal. Padahal dia sungguh-sungguh khawatir pada pemuda itu. "Mau aku tambahin biar jontor sekalian?" ancam Lala dengan mendelik kejam.
Aldo mengangangkat kedua tangannya "Give up, Mam," ucapnya.
***
Lala membantu Aldo memasuki satu kamar kos kumuh yang terletak di sudut gang Jalan Kenjeran. Pemuda itu mengaku kakinya sulit digerakkan, Lala percaya saja karena melihat memar-memar samar yang tampak di betisnya ketika Aldo menggulung celana.
Lala terpegun sejenak melihat isi kamar sempit berukuran tiga kali tiga meter yang dihuni Aldo itu. Bukannya tadi dia mendengar Aldo itu anak orang kaya. Kenapa dia tidak tinggal di tempat yang lebih layak?
Aldo mengembuskan napas setelah pantatnya terduduk di atas ranjang. Dia meraih salep yang ada di atas nakas lalu mulas mengoleskan pada memar-memar di kakinya. Lala hanya duduk di samping pemuda itu penuh rasa ingin tahu.
"Maaf ya Bu Lala, jadi nonton adegan yang nggak enak," ucap Aldo setelah sekian lama terdiam.
Lala menggaruk-garuk tengguk yang tak gatal bingung harus berkata apa. "Itu tadi kakakmu?" tanya Lala akhirnya.
"Bukan," jawab Aldo cepat. Tampaknya semudah itu bagi dia berbohong, tapi Lala mendengar dengan jelas pembicaraan Aldo dengan Alan tadi. Sebenarnya tanpa bertanya pun Lala sudah tahu apa jawabannya.
"Kamu main-main dengan pacarnya, pantes aja dia marah," ucap Lala.
Aldo menaikkan alisnya lalu tersenyum. "Itu bukan alasan dia yang sebenernya," ujar Aldo sambil tertawa kecut. "Sejak awal dia emang berharap aku nggak dilahirkan."
Aldo mengeluarkan ponsel dari saku lalu menghubungi seseorang. "Halo, maaf, hari ini aku nggak bisa manggung. Ya, cidera kecil jadi nggak bisa jalan. Oke makasih," jelas Aldo pada orang yang berhubungan dengan dia di telepon.
Lala duduk dengan canggung. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa dia tawarkan aja beli makanan gitu ke Aldo? Atau langsung pulang aja? Kalau dia pulang apa bakal ada yang merawat Aldo nanti? Kakinya kayaknya nggak parah sih, tapi rasanya bakal sakit untuk beberapa hari.
Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon Aldo menyalakan TV. Berita di sana sedang menyiarkan sebuah isu mengenai Hartono Sudibyo anggota DPR RI yang dikabarkan melakukan kunjungan ke Kota Surabaya. Jurnalis yang mewawancarainya menyinggung tentang rencana pernikahan Alan yang ditanggapi pria berusia lima puluh tahun itu dengan senyuman.
"Ya, acaranya mungkin akan kami adakan di Surabaya. Dia anak semata wayang, tentu saya akan menggelar resepsi yang terbaik."
Lala tertegun mendengar ucapan anggota dewan tersebut. Dia melirik Aldo takut-takut. Cowok itu tak memperlihatkan reaksi apa pun. Dia lalu mematikan TV begitu saja lalu berbaring di ranjang. Dia meletakkan lengan kanannya di atas kepala untuk menutupi wajahnya.
"Pulanglah, Bu guru," lirih Aldo.
Lala terdiam. Kalau Aldo bilang begitu entah mengapa rasanya Lala jadi makin cemas.
"Aku belikan makanan dulu ya?" tawar Lala.
Aldo tidak menjawab. Dia hanya menghembuskan napas berat.
"Aku segera kembali, kamu istirahat saja," ucap Lala akhirnya. Gadis itu bangkit lalu keluar begitu saja. Aldo tak bergerak dari ranjang dan tak mengucapkan sepatah katapun. Hari ini rasanya begitu buruk dan dadanya seperti tercekik.
Tiga ketukan terdengar dari luar. Aldo mengerutkan kening lalu menggumamkan kata, "Masuk."
Pintu terbuka dan seorang pria dengan setelan jas hitam yang elegan berdiri di sana. Sebagian rambutnya bagian depan sudah memutih dan kerut-kerut samar menghiasi wajahnya yang sudah tidak muda lagi. Itulah Hartono Sudibyo, anggota dewan yang baru diberitakan tadi.
Pria itu masuk ke dalam kamar lalu memandangi sekitar. Sepertinya mencari tempat di mana dia bisa duduk tapi tak menemukannya, karena kamar kecil itu begitu sempit dan kumuh.
"Aku tidak bisa lama, jadi langsung ke intinya saja," ucap pria itu. "Pindahlah ke luar Negeri, Aldo, Negara manapun terserah."
Aldo tertawa getir. "Lima tahun tidak bertemu putramu, lalu Ayah menemuinya hanya untuk mengusirnya lagi?"
"Sebentar lagi pemilu," potong pria itu. "Aku tidak mau ambil risiko wartawan mengendus berita tentangmu."
"Apa Ayah malu mengakuiku?" tanya Aldo.
"Ini bukan soal malu tidak malu, tapi soal pendapat publik. Ayah tidak mau karir Ayah hancur karena ulahmu," jawab Sudibyo.
"Aku tidak akan ke mana-mana," tegas Aldo.
Sudibyo menggeram. "Kamu sudah bukan anak kecil, Aldo, seharusnya kamu sudah mengerti."
"Kalau begitu seharusnya aku bisa hidup sesukaku karena aku sudah bukan anak kecil!" tandas Aldo sembari menatap lurus pria ya berdiri di depannya itu. "Bunuh saja aku, Ayah, aku tidak pernah minta dilahirkan."
***