bc

Ramadan Untuk Carlista

book_age12+
576
FOLLOW
1.3K
READ
goodgirl
tragedy
heavy
scary
icy
illness
spiritual
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Carlista Rona memutuskan menjadi mualaf setelah melewati jalan hidupnya yang cukup berat. Namun, Allah mengujinya terlalu cepat. Dia diuji dengan sebuah penyakit kanker mematikan dan divonis umurnya tak lagi lama.

Beberapa bulan kemudian dia dipertemukan dengan mantan kekasihnya yang mengalami kecelakaan dan buta. Dia bernama Rizal Pahlevi. Karena ada kesalahan di masa lalu, Lista mendonorkan matanya untuk Rizal, sebagai bentuk ganti rugi darinya.

Ibunda Rizal mengetahui perbuatan baik Lista. Dia pun menikahkan putranya dengan Lista, tak peduli dengan Rizal yang terus menolak. Dia tak tega melihat Lista buta dan hidup sebatang kara karena telah membantu anaknya.

Kehidupan pernikahan mereka tentu tak baik. Yang satu masih mempunyai dendam di masa lalu. Sedangkan yang satunya lagi ikhlas menerima segala sikap buruk suaminya.

Bagaimanakah kehidupan mereka selanjutnya?

Akankah mereka menjadi pasangan bahagia sampai maut memisahkan?

Atau, maut memisahkan mereka terlebih dahulu sebelum mereka menjadi pasangan bahagia?

chap-preview
Free preview
Awal Yang Tak Terduga
Apakah dosaku terlalu banyak hingga Engkau menginginkanku kembali secepat ini? ~Carlista Rona~ Pagi ini udara terasa lebih sejuk dari biasanya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Mungkin karena langit sedang mendung, seperti hati dari seorang gadis yang tengah duduk di kursi depan rumahnya. Gadis itu tersenyum sendu saat menatap foto yang terpasang di saku transparan dompetnya. Foto dirinya dengan seorang laki-laki. Di foto tersebut dia tengah tersenyum bahagia saat dirangkul bahunya oleh laki-laki itu. Begitupun dengan si laki-laki, dia juga tersenyum bahagia. Namun, semua itu hanyalah sebuah kenangan yang tersimpan rapi di dalam memori ingatannya. Bahagianya sudah hilang sejak hilangnya Rizal Pahlevi, sumber tawa dan senyum bahagianya kala itu. Sudah lima tahun lamanya dia tidak pernah bertemu dengan Rizal. Akibat kesalahannya di masa lalu, Rizal tidak mau bertemu dengannya lagi. Rizal memilih meninggalkan kota kelahirannya untuk menimba ilmu di kota orang. Andai gadis itu memiliki mesin waktu, mungkin dia akan kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Gadis itu menutup dompetnya. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang semakin mendung. “Rizal, gimana kabar kamu sekarang? Aku kangen kamu, Zal,” ucapnya lirih. Tess! Selalu begitu. Setiap mengingat Rizal, air matanya tidak pernah absen untuk menetes. Gadis itu menunduk untuk mengusap air mata yang baru saja turun ke pipi. “Maafin aku, Zal,” ucapnya lirih. “Non Lista! Ayo berangkat sekarang!” Panggilan tadi membuat gadis itu mengangkat kepalanya. Dia tersenyum ke arah bi Yuli yang baru saja berucap, pembantu yang dia anggap sudah seperti ibunya sendiri. Gadis yang dipanggil Lista itu pun bangun dari duduknya. Dia merangkul lengan bi Yuli. “Ayo, Bi!” Lista hendak melangkah pergi, tapi tidak jadi. Dia menoleh ke arah bi Yuli yang tengah terdiam sambil meneliti wajah Lista. “Non kok keringatan gitu? Non sakit?” tanya bi Yuli. Lista menggeleng. “Enggak Bi, Lista cuma gerah,” bohongnya. Sedari tadi dia memang tengah menahan rasa sakit yang ada di dadanya. “Tapi itu bukan keringat biasa Non, keringatnya besar-besar itu!” Lista menggeleng. “Lista nggak papa Bi Yuli, beneran,” balas Lista, “ayo berangkat sekarang, Lista udah nggak sabar,” lanjutnya. Mau tidak mau bi Yuli menuruti perintah majikannya, gadis yang memiliki nama lengkap Carlista Rona. Lista sudah lama ditinggal oleh kedua orang tuanya. Ayahnya meninggal saat Lista masih duduk di bangku SMP kelas dua. Sedangkan ibunya meninggal ketika Lista lulus SMA. Jadi sekarang Lista lah yang menjadi majikannya. Walaupun usianya masih 23 tahun, Lista sudah memimpin perusahaan yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Gadis itu menyelesaikan kuliah S1 Manajemen hanya dalam waktu tiga tahun. Hal itu karena tuntutan dari pihak perusahaan agar dia segera memimpin perusahaannya. Lista menjalankan mobilnya seorang diri karena hari ini sopirnya izin cuti. Laju mobil Lista yang awalnya stabil tiba-tiba tidak terkontrol. Keringat di tubuh Lista semakin banyak, dahinya mengernyit, tangan satunya memegangi dadanya yang terasa nyeri. Karena sudah tidak kuat, dia pun menepikan mobilnya. “Non Lista kenapa?!” panik Bi Yuli. Lista hanya menggeleng. Rasa sakit itu datang lagi. Lista memejamkan mata, berusaha menahan rasa sakit di dalam dadanya. “Ayo kita ke rumah sakit aja, Non!” Lista lagi-lagi menggeleng. “Bentar Bi,” ucapnya lirih. Lista mulai mengatur napasnya agar stabil. Setelah beberapa menit, akhirnya rasa sakit itu hilang juga. Lista menatap Bi Yuli dengan senyum lebarnya. “Udah sembuh, Bi,” ucapnya, “ayo berangkat!” lanjutnya semangat. Lista mengemudikan mobilnya kembali. Hari ini bukan hari libur, jadi kondisi jalan di waktu ini lumayan longgar. Dia jadi lebih cepat sampai ke tempat tujuannya. Lista memarkirkan mobilnya di parkiran yang sudah disediakan oleh tempat tersebut. Setelah itu dia dan bi Yuli keluar. “Assalamu'alaikum,” sapa Bi Yuli. “Wa'alaikumsalam.” Lista hanya menunduk hormat saat orang-orang di masjid memperhatikannya. Mungkin terlihat aneh karena ada seorang wanita masuk ke dalam masjid tanpa memakai jilbab. Lista memang memakai pakaian tertutup, tapi tidak dengan kepalanya. Rambutnya masih tergerai bebas. “Ini yang namanya Mbak Lista?” Lista tersenyum kemudian mengangguk pada laki-laki paruh baya tersebut. “Perkenalkan saya Syamsudin, saya yang akan memimpin Mbak Lista mengucapkan sahadat.” “Ustaz Syamsudin ini salah satu imam di masjid ini Non,” tambah bi Yuli. Lista pun mengangguk paham. “Sudah siap, Mbak Lista?” Lista mengangguk. “Baik, ikuti saya, ya?” Lagi-lagi Lista mengangguk. “Asy-hadu.” “Asy-hadu.” “Allaa.” “Al-” Lista hendak mengikutinya, namun nyeri di dadanya datang lagi. Dia meremat dadanya kencang karena tidak kuasa menahan rasa sakitnya. Keringat yang butirannya besar itu muncul kembali. Napasnya terengah-engah, bahkan kini tubuhnya terasa lebih dingin. “Mbak Lista?” “Mbak?” “Non Lista?!” Lista yang sibuk dengan rasa sakitnya pun tersadar akibat panggilan bi Yuli yang lumayan kencang. “Ma-maaf, Pak, boleh diulang? Lebih dipercepat saja, Pak. Saya juga sudah berlatih dengan Bi Yuli,” ucapnya berat, dia tengah menahan rasa sakit yang menjalar di dadanya. “Mbak sudah yakin mau masuk Islam?” Lista mengangguk dengan semangat. “Sangat yakin, Pak!” “Baiklah, kalau begitu kita ulang lagi ya?” Lista mengangguk. “Asy-hadu allaa ilaaha illallaahu,” tuntun pak Syamsudin. Lista menutup kedua matanya, dia kemudian menarik napasnya panjang. Dia sangat yakin masuk islam. “Asy-hadu allaa ilaaha illallaahu,” ucapnya. “Wa asy-hadu anna muhammadar rosuullullah.” “Wa asy-hadu anna muhammadar rosuullullah,” ucap Lista lagi. “Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah,” lanjutnya tanpa menunggu tuntunan dari pak Syamsudin. “Alhamdulillahi rabbil 'alamiin,” ucap para jemaah yang hadir di sana, saksi Lista menjadi seorang mualaf. Pak Syamsudin mulai membacakan doa. Lista mengamini setiap doanya dengan mata yang berkaca-kaca. Selain terharu karena sudah menjadi bagian dari Islam, dia juga sedang kesakitan karena nyeri di dadanya. “Aamiin ya rabbal'alamiin.” Bi Yuli memasangkan jilbab untuk Lista. Dan Lista dengan senang hati menerimanya, bahkan gadis itu tengah tersenyum lebar. Namun, senyumnya semakin luntur seiring dengan pandangannya yang memburam. Lista tidak kuasa lagi menahan rasa sakitnya. Hingga akhirnya semuanya menggelap, Lista jatuh di pangkuan Bi Yuli. “Non!!” Semua jemaah yang ada di sana langsung panik. Lista pun segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah dua jam terbaring di ranjang rumah sakit, Lista akhirnya membuka kedua matanya. Gadis itu menatap ke sekeliling, ada bi Yuli dan seorang dokter yang terlihat sudah berumur. “Ya Allah, Non!” ucap Bi Yuli parau. Wanita paruh baya itu memeluk Lista dengan erat. Lista pun bangun dari tidurnya agar Bi Yuli lebih mudah dalam memeluknya. “Lista kenapa dibawa ke sini, Bi? Lista sakit apa?” Bi Yuli tidak menjawab. Dia justru menangis kencang di pelukan majikannya. Jangankan menjawab pertanyaannya, sekedar bertanya keadaan majikannya saja dia tidak sanggup. “Bibi kenapa nangis?” Lista mencoba menenangkan pembantunya dengan mengusap-usap punggungnya. Lista kemudian menatap dokter yang tengah menatap keduanya sendu. “Sa-saya kenapa, Dok? Apa saya sakit parah?” tanyanya lirih. Dokter itu menghela napasnya berat. “Iya, Mbak Lista terkena kanker paru-paru stadium empat,” jawabnya. “Sta-stadium empat?” Dokter itu mengangguk. “Dan kemungkinan Anda bertahan, hanya sekitar enam bulan.” Ucapan dokter itu bagai sambaran petir di siang bolong. Lista menatap ke depan dengan pandangan kosong, pelukannya terlepas, bahkan kini matanya memanas dan mulai berkaca-kaca. Apalagi yang harus dihadapinya sekarang. Dia baru saja mengucapkan sahadat, dia baru saja menjadi bagian dari Islam, dan dia baru saja hendak memperbaiki diri agar tidak salah jalan lagi. Air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata pun akhirnya tumpah. “Ya Allah, kenapa harus sekarang?” ucapnya lirih. “Apakah dosaku terlalu banyak hingga Engkau menginginkanku kembali secepat itu?” “Astagfirullahal'adzim.” Sambutan dari-Nya benar-benar di luar dugaan. Lista tidak menyangka, Allah akan mengujinya dengan ujian seberat itu. Semoga dia bisa melaluinya dengan baik. Lista pun memeluk bi Yuli dengan erat, menumpahkan tangisannya di sana. Dia mencoba mencari kekuatan dari orang yang sudah dia anggap sebagai keluarganya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Suami Sugar Daddy

read
6.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.6K
bc

Alea (Bidadari tak bersayap)

read
147.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
214.3K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.5K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
172.0K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
295.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook