Gween Calista, menarik ujung dress merah yang menurut wanita itu terlalu mengekspos paha atasnya. Apalagi dengan balutan ketat serta belahan rendah pada bagian dadanya membuat perempuan itu merasa benar-benar telah sempurna menjadi b***h yang tak mempunyai harga diri lagi.
Sempat terpikirkan oleh wanita itu untuk mengurungkan niat dan berlari menjauh dari pintu kecoklatan yang siap membawanya pada kubangan neraka. Tapi, raut hancur sang mama serta wajah pucat sang adik yang terbaring di rumah sakit membuat Gween kembali membulatkan tekadnya.
Ia pasti bisa. Toh Mami Flo bilang, pria ini adalah seorang impoten yang tak akan mampu untuk merenggut keperawanan Gween. Yah, semoga saja pria itu belum sembuh dari sakitnya. Setidaknya itulah doa yang dirafalkan gadis berumur dua puluh enam tahun itu sejak tadi.
Tangan Gween terangkat dan memberi ketukan pelan yang langsung disambut oleh orang yang berada di dalam sana.
"You're late." Suara yang menyapa indera pendengaran Gween itu terdengar begitu berat dan sexy, selaras dengan penampilannya yang begitu panas dengan bulir air yang mengalir liar di d**a telanjangnya. Gween tebak pria itu baru saja selesai mandi.
Perempuan itu berusaha untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. "Maaf, Pak. Jalanan macet," jawabnya beralasan, karena sebenarnya ia sudah berdiri selama setengah jam di depan pintu kamar hotel yang dipesan oleh pria itu.
Tak ada sahutan dari laki-laki bernama Jero Axford yang kini membuka lebar pintu, seolah memerintahkan Gween untuk masuk tanpa perlu repot-repot mengeluarkan suara.
"Take off your dress," ucapnya mengejutkan Gween.
"Excuse me?" Gween berusaha untuk memastikan lagi.
"Aku tidak suka berbasa-basi."
Wanita itu meneguk saliva dengan kasar, badannya lemas dan kepalanya terasa berputar-putar. Sialan, padahal sudah berhari-hari ia menguatkan diri setelah mengambil keputusan ini, berusaha untuk tetap tenang dan bahkan beberapa kali memperaktekkan cara bersikap sebagai w*************a.
"Aku tidak butuh patung. Jika kamu tidak bisa, silahkan keluar!" ujarnya lugas.
Kaki Gween ingin berlari, tapi logikanya tetap mengharuskan dia berdiri di sini dan melakukan tugasnya hingga selesai.
Wanita itu menarik resleting kecil yang bersembunyi di balik punggungnya, lalu menurunkan tali gaun merah itu dengan tangan yang bergetar halus. Menyisakan bra dan g-string berwarna hitam yang membuat Gween terlihat sangat memikat.
Jero melengkungkan sudut bibir sebelum menjatuhkan diri ke atas kasur dan menjadikan kedua lengannya sebagai bantalan kepala.
"Show me your skills."
"Ap ... apa?"
Jero mendengkus dan menatap Gween tajam. "Jangan membuang waktuku dengan kebodohanmu. Kamu tak mungkin datang tanpa tahu apa tigasmu!"
Gween menarik napas dalam-dalam. "Beri saya sedikit waktu," pintanya pelan.
Jero memperhatikan wanita itu sejenak sebelum memberi isyarat setuju lewat gerak wajahnya.
Hal itu tak disia-siakan Gween yang langsung melangkah ke kamar mandi dan langsung menghembuskan napasnya panjang saat ia berdiri di depan westafel dan melihat wajahnya yang berkeringat meski ruangan ber-AC.
"Tarik napas, Gween. Tarik napas," ucapnya memberi afirmasi pada diri sendiri. "Kamu bisa! Kamu pasti bisa! Semua ini demi Mama dan Geisya," ucapnya bergumam, berusaha menggali lagi semangat yang sudah hampir mati.
Meski belum sepenuhnya tenang, Gween memutuskan untuk keluar dari sana sebelum Jero murka dan menyeretka ke atas ranjang.
Perlahan wanita itu mendekati ranjang dan berhenti tepat di samping Jero yang memejamkan mata dengan dahi berkerut dalam.
Tangan Gween terulur begitu saja hendak menghapus kerutan di dahi pria itu yang tampak mengganggu. Tapi sebelum itu terjadi, Jero lebih dulu menangkan tangannya dan membuka mata.
"Jangan menyentuh sembarangan tanpa izinku," ujarnya memperingatkan.
Gween berdehem pelan dan menarik tangannya hingga terlepas dari cekalan pria itu.
"Let's do it!"
Anggukan kepala Gween tampak tak meyakinkan di mata Jero. Apalagi melihat tubuh kaku wanita itu yang seolah tak tahu harus melakukan apa untuk menggoda pria di hadapannya.
Lagi-lagi Jero yang kesabarannya memang setipis tisu mendengkus geram. Ditariknya pergelangan tangan Gween sehingga wanita itu terjatuh tepat di atas tumbuh Jero yang hanya tertutup sehelai handuk di pinggang.
Jelas saja hal itu membuat jantung Gween detaknya meningkat berkali-kali lipat dari biasa.
"Strawberry," bisik pria itu serak saat indra penciumannya menangkap aroma tersebut dari helaian rambut Gween.
Wanita itu hendak menyingkir dari atas tubuh Jero, tapi sayang pria itu menahannya dengan cepat.
"I feel this is weird," gumam Jero yang masih didengar oleh Gween.
"Why?" tanya wanita itu halus.
Jero menggelengkan kepala, lalu menarik tengkuk Gween hingga bibir mereka menyatu sempurna. Detak jantung yang berdebar hebat seirama dengan decapan bibir yang bergerak lambat.
"Nghh ...." Gween melenguh karena merasa hampir kehabisan napas.
Jero melepaskan tautan bibir mereka dan menatap takjub wajah perempuan itu. Gween tak mengerti, tapi logikanya seolah memberi alarm bahwa ini bukan sesuatu yang baik bagi wanita itu.
Dengan mudah pria itu membalik posisi, mengungkung tubuh Gween di bawah tubuh tegapnya yang nampak mengkilap di bawah cahaya lampu.
"Bisakah kita mematikan lampu saja?" tanya Gween mencicit.
"Tidak bisa," sahut Jero cepat. "Aku ingin melihat dengan terang benderang moment langka ini."
"Apa?"
Jero tak bicara lagi, bibirnya kembali mencecap. Kali ini lebih keras dan berirama, selaras dengan jemarinya yang mulai menyusuri permukaan kulit Gween yang tampak memukau di matanya.
Gween dapat merasakan suhu tubuh mereka meningkat, bahkan di bawah sana dia bisa merasakan sesuatu yang perlahan hidup setelah lama mati.
"Bu ... bukannya kamu impoten ya?" tanya perempuan itu polos, membuat aksi Jero seketika berhenti begitu saja.
"Flo mengatakan itu padamu?" desis pria itu. Meski ia tahu dirinya pasti menjadi bahan gosipan para anak-anak Flo yang pernah ia sewa, tapi rasanya menjengkelkan sekali ketika mereka memberitahu pada perempuan yang harus melayaninya dan melum pernah ia sewa sama sekali.
Gween mengangguk dan langsung menggeleng kencang, baru sadar akan kesalahan yang ia lakukan.
"Itu sebabnya kamu datang padaku? Merasa akan aman karena keadaanku?" tanyanya datar.
Gween diam, tak membantah tapi tak juga berani untuk mengakui.
"Berapa yang kamu butuh?" tanya pria itu lagi.
"Ha?" Gween menatap Jero dengan kerutan di dahi.
"Berapa yang kamu butuh?" ulang pria itu dengan nada mulai meninggi.
Hal itu membuat Gween menggigit bibir sebentar, lalu merasa perlu menjawab saat tatapan mata pria itu kian menajam. "Seratus juta," cicitnya memberanikan diri.
Jero menyingkir dari atas tubuh Gween. "Pergilah, aku akan mengirim uang itu pada Flo," ujarnya sebelum berjalan ke kamar mandi dan membanting pintu.
Gween sempat melihat bukti gairah Jero dan merasa jantungnya berdebar hebat. Ia menyentuh bibirnya yang sudah dua kali dicecap pria itu.
Dering ponsel Gween menyadarkannya dan melihat nama Flo berada di sana.
"Hallo, Gween," ucap Flo dengan girang di seberang sana.
"Iya, Mi. Ada apa?" tanya perempuan itu.
"Kamu sudah boleh pulang, Jero sudah mentransfer mami plus bonus kamu gede banget." Gween dapat membayangkan ekspresi bahagia Flo saat ini.
"Baik, Mi," katanya pelan, lalu panggilan itu berakhir begitu saja.
Gween menatap gaunnya yang teronggok di lantai, lalu berpindah ke pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Benarkah ini sudah selesai dan ia bisa berlari dari sini? Tapi kenapa hatinya malah membawa langkah kaki Gween ke depan pintu kamar mandi itu?
To Be Continued