13. Milik Tuan

1007 Words
Gween memijat kepala, telepon dari sang mama membuat wanita itu merasa ingin melemparkan diri ke dasar jurang dan tak akan ditemukan oleh siapapun. Bagaimana bisa sang mama meminta uang ratusan juta dengan sangat entengnya? Padahal dia tahu Gween hanyalah pekerja biasa yang bahkan hanya lulus sekolah menengah atas. Membayar biaya pengobatan Geisya saja dia harus jual diri. Lalu sekarang apa dirinya harus jual organ? "Sandwich generation rasanya lebih baik daripada keluargamu." Suara berat seseorang di belakang Gween membuat ia tersadar bahwa dirinya ternyata tak sendiri di kamar ini. Yang masih Gween herankan kenapa pria itu bisa menyelinap tadi malam padahal Gween sangat tahu bahwa kosnya ini sangat ketat dan dilarang keras menerima tamu lawan jenis. Gween menoleh sedikit ke belakang. "Ya, keluargaku lebih tepat disebut dengan Geprek Generation," sahutnya datar. Pria itu mengotak-atik ponselnya sebelum beranjak dari kasur wanita itu yang terasa sempit baginya. "Aku sudah mentransfer ke rekeningmu," ujarnya santai sembari masuk ke kamar mandi yang lagi-lagi membuatnya mengerutkan dahi. "Hai apa-apaan maksudmu? Aku tidak mau menambah hutang kepadamu!" ucap Gween tak terima. "Anggap saja bonus dariku," sahut Jero dari dalam. Gween mendengkus dan menarik nafas panjang karena panas di d**a. Benar-benar p*****r murahan, pikirnya. Hanya lima belas menit, Jero keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian yang lebih rapi. Gween tak tahu darimana pria itu mendapatkan pakaian ganti karena kemeja dan celana yang dipakainya semalam masih teronggok di lantai. "Aku akan mentransfer kembali padamu," kata Gween keras kepala. Jero menoleh dan berdecak pelan. "Wanita keras kepala sepertimu memang lebih cenderung menggunakan emosi daripada otak," gumamnya yang jelas saja masih bisa didengar oleh Gween. "Apa katamu?" tukas wanita itu tak suka. "Aku tahu kau mendengarnya dengan jelas." Jero selesai menggunakan dasinya dan menyambar ponsel di atas nakas. "Aku tidak butuh uang darimu, Sialan!" desis Gween dengan mata memicing tajam. Jero tersenyum simpul dan merunduk untuk berbisik di telinga wanita yang masih duduk di atas kasur itu. "Jangan sok jual mahal dan gengsi. Harga dirimu sudah benar-benar kutelanjangi," ucapnya datar, khas orang tak berperasaan. Gween mengepalkan tangan di dalam selimut. Ingin sekali rasanya ia menonjok wajah pria itu hingga bengkak dan membiru. Tapi ia sadar nyawanya akan terancam jika benar-benar melakukan hal itu. "Jangan membantah apa yang kukatakan, apa yang kuberi, dan apa yang kularang," imbuh pria itu lagi. "Oh, apa artinya kini aku sudah merangkap menjadi budakmu?" tanya Gween menantang. Jero mengedikkan bahu. "Ya, memang sedari awal begitu. I Order You!" jawabnya santai. Kobaran api di d**a Gween semakin menyala-nyala. Terlihat dari kilatan matanya yang seolah siap membunuh Jero kapan saja. "Kamu memang benar-benar pria iblis!" desis Gween emosi. "Yes, I'm." Jero tersenyum simpul sebelum merapikan kembali pakaiannya dan berjalan menuju pintu keluar. Tak berselang lama, ponsel Gween kembali berdering dan ternyata Talia melakukan panggilan telepon. "Mama akan pinjam dua ratus juta ke bank dan kamu yang cicil selama Mama menemani Geisya berobat, ya?" Suara wanita paruh baya itu terdengar seperti petir yang menyambar-nyambar di telinga Gween. Bolehkah ia berkata kasar kepada sang ibu saat ini? "Ma, bisa nggak aku minta Mama stop untuk nekan aku?" tanya wanita itu lemah. "Aku capek, Ma," keluhnya lemah. "Capek? Kamu pikir Mama nggak capek ngurusin kalian berdua tanpa Papa?" hardik wanita itu. "Dan kamu pikir semua itu karena siapa?" "Ma, kalau aja dulu mama mau jual aset Papa untuk pengobatannya, mungkin Papa masih bisa--" "Oh, Jadi sekarang kamu malah nyalahin mama? Lupa kamu siapa yang merengek minta dibeliin kue ulang tahun padahal Papa masih capek baru aja pulang kerja? Sampai-sampai dia lalai dan mengalami kecelakaan? Lupa kamu?!" "Ma ...." "Kamu kalau nggak mau bantu Mama bilang aja! Mulai sekarang kamu urus diri kamu sendiri!" "Ma, nggak gitu." Gween menyugar rambut dan mengusap wajahnya yang sudah basah karena air mata dengan kasar. "Aku akan transfer uangnya ke Mama. Ini uang tabungan aku selama bertahun-tahun dan ini pegangan aku yang terakhir, Ma. Jangan pinjam ke bank yang bunganya akan membuat kita semakin tercekik." "Uang dari mana kamu? Tabungan dari om-om lagi? Nggak usah nutup-nutupin dari Mama dan sok-sokan bilang itu uang tabungan kamu selama bertahun-tahun. Mama tahu kok uang sebanyak itu kamu dapetin dari mana." "Ma ...." Gween menggeleng tak percaya. "Cepat transfer uangnya dan Mama serta Geisya akan berangkat hari ini juga." Telepon ditutup dan Gween sontak menggigit bibirnya kuat guna menahan jeritan yang rasanya ingin menerjang keluar dari tenggorokannya. Sejahat itukah yang dinamakan keluarga? Betapa bahagianya orang-orang yang memiliki keluarga harmonis. Saling mencintai dan menyayangi meski hidup dalam kesederhanaan. Gween selalu memimpikan hal itu dan berencana akan mewujudkannya pada keluarga kecilnya nanti. Gween membuka mobile banking dan mengecek saldonya, dan benar saja kini saldonya bertambah ratusan kali lipat. Bahkan Jero mengirim lebih dari apa yang diminta oleh Talia. Hembusan nafas Gween terdengar berat. Jarinya mengetik dengan lambat, mengirimkan uang yang diminta sang mama untuk pengobatan anak kesayangannya. Sementara itu, Jero sudah tiba di kantornya dimana Red sudah menunggu untuk memberikan laporan dari perintah yang beberapa hari ini selalu diucapkan pria itu. "Pria itu ingin bertemu dengan anda," ujar Red setelah membungkuk hormat. Jero mengangkat alis dan mendengkus pelan. "Aku tidak sudi," sahutnya datar. Red mengangguk paham. "Dia juga membuka usaha baru di pinggiran kota bersama kekasih barunya." "Aku tidak peduli, Red!" sahut Jero penuh penekanan. "Baik, saya akan melewatkan berita tentang Dandi Sudjatmiko." Red meletakkan sebuah map biru. "Nona Gween sejak remaja tidak tinggal bersama adiknya karena Nona Geisya memilih untuk tinggal di apartemen yang sering dikunjungi oleh Nyonya Talia." Jero membuka map tersebut dan mendapati banyak foto-foto Gween semenjak ia anak-anak hingga dewasa. Ia mengerutkan dahi dan melirik Red sinis. "Saya pikir mungkin anda memerlukan itu," ujar Red berdehem pelan. Jero memutar bola matanya malas. "Nona Gween tidak melanjutkan pendidikan setelah lulus sekolah menengah atas karena bekerja untuk menghidupi keluarganya." Red kembali melanjutkan laporannya. "Sementara Nona Geisya masuk ke universitas ternama dengan bantuan teman papanya yang bekerja di yayasan. Dan di sana lah dia bertemu anda," tutup Red dengan deheman pelan. Jero melirik pria itu sinis dan melemparkan bolpoin miliknya. "Tertawa lah jika kau ingin tertawa," desisnya yang amat sangat jengkel melihat Red tersenyum mengejek. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD