BAB 7

1206 Words
Teofilo berjalan melewati pintu masuk sebuah gedung apartemen. Dia menekan tombol lift hingga membuat pintunya terbuka. Teofilo segera melewati pintu selebar 80 cm tersebut. Perlahan pintu itu menutup kembali lalu mengantarnya menuju lantai lima. Satu menit kemudian pintu lift terbuka. Teofilo melangkah keluar dan berjalan di sepanjang koridor lantai tersebut. Apartemen tujuannya berada di pintu paling ujung sisi kiri sehingga Teofilo harus melewati beberapa pintu. Teofilo berhenti tepat di depan pintu apartemen tujuannya. Dia menekan bel pintu. Perhatiannya tertuju ke arah lain seraya menunggu sang penghuni membuka pintu. Kini Teofilo menekan untuk kedua kalinya, berharap tidak dibuat menunggu lama oleh penghuni apartemen tersebut. "Ke mana dia? Kafenya masih tutup, dia pasti masih ada di dalam," gumam Teofilo dan kembali menekan bel sampai tiga kali. Sebelah tangan Teofilo yang tidak menggenggam amplop coklat itu merogoh kantong celana untuk mengambil sesuatu. Dirinya menekan ikon memanggil pada nomor telepon dengan nama kontak 'Lionello'. Teofilo kembali menunggu panggilan tersebut tersambung. "Sí." Kening Teofilo mengernyit mendengar suara Lionello seperti orang baru bangun tidur. "Kau baru bangun?" tanya Lionello seraya melirik ke arah jam tangan meskipun tahu sekarang jam berapa. "Ya," jawab Lionello singkat. Teofilo menghela napas pelan. Tidak biasanya Lionello bangun tidur sampai siang. "Ya sudah. Aku ada di depan pintu. Tolong bukakan pintu." "Madre tidak membukakan pintunya?" tanya Lionello seolah enggan untuk buru-buru bangkit dari atas tempat tidur. "Sepertinya ibumu tidak ada di dalam. Aku sudah menekan bel sampai tiga kali dan tidak ada jawaban," jawab Teofilo. "Baiklah. Tunggu sebentar." Teofilo menjauhkan benda pipih yang menempel di telinga saat mendengar nada peringatan kalau panggilannya sudah terputus. Dia pun memasukkan kembali ponsel ke dalam saku seraya menunggu Lionello membukakan pintu untuknya. *** Lionello langsung memutuskan sambungan telepon. Dia meletakkan ponselnya di atas nakas. Lionello terdiam sejenak seolah mengumpulkan kesadarannya. Beberapa detik kemudian dirinya bangkit duduk. Pria itu mendesah kasar saat bangkit dari atas kasur karena kepalanya semakin terasa berdenyut. Lionello berjalan pelan keluar kamar. Seiring langkahnya menuruni anak tangga, dirinya melepas kaos yang berbau alkohol bekas kemarin malam. Lionello melempar kaosnya ke arah sofa saat melewati ruang tengah. Dia berjalan ke ruang depan dan berhenti di depan pintu. Sebelah tangan Lionello menarik kenop pintu hingga terbuka. Sosok Teofilo pun terlihat dari balik pintu. "Tidak biasanya kau baru bangun. Apa kau sedang tidak enak badan?" tanya Teofilo saat Lionello memberikan jalan padanya untuk masuk ke dalam apartemen. "Aku tidak bisa tidur kemarin malam," jawab Lionello seraya menutup pintu. Dia berjalan di belakang Teofilo. Teofilo duduk di atas sofa yang ada di ruang tamu. Lionello pun menyusul duduk di sofa yang berbeda. Sebelah tangan Lionello terangkat untuk mengusap wajahnya saat Teofilo membuka amplop dalam genggaman dan mengeluarkan isinya. "Itu berkasnya. Kau tinggal menandatangani saja supaya nanti siang bisa dibawa ke kantor," ucap Teofilo dan memberikan isi dalam amplop pada Lionello. Lionello langsung menerima berkas tersebut dan memeriksanya satu persatu. Alih-alih Lionello membaca setiap lembar berkas tersebut, Teofilo justru memperhatikan tubuh Lionello dengan seksama. Ini adalah pertama kalinya melihat pria itu tidak mengenakan pakaian apapun yang menutupi tubuh bagian atas. Hanya celana khaki yang menutupi bagian pinggang hingga mata kaki Lionello. Teofilo masih melihat dengan jelas tubuh Lionello yang sebagian tertutupi oleh tato serta beberapa bekas luka tembak dan luka sayatan. Meskipun dirinya pernah terjun ke dalam dunia gelap terorganisir, tetapi Teofilo tidak pernah melihat bekas luka sebanyak milik Lionello. Entah apa saja yang pernah dilalui pria itu saat masih menjadi pemimpin Leone Nero. "Aku akan ambil bolpoin dulu," ucap Lionello lalu bangkit berdiri. Teofilo terus memperhatikan pria yang menyandang sebagai adik iparnya tersebut hingga bayangan Lionello tidak dapat dijangkau oleh kedua matanya. Teofilo beralih memandang ke arah lain. Sampai akhirnya dia mendengar derap langkah kaki Lionello yang muncul dari ruangan yang lebih dalam di apartemen tersebut. Lionello langsung menandatangani setiap berkas yang membutuhkan tanda tangannya. Dia merapikan kembali berkas-berkas tersebut dan memberikannya pada Teofilo. Kini Teofilo yang berganti dibuat sibuk oleh berkas tersebut saat menata agar rapi dan memasukkan kembali ke dalam amplop. "Aku akan ambilkan minum," ucap Lionello dan kembali berdiri. Dia pergi ke arah dapur untuk mengambil dua kaleng minuman alkohol. Lionello duduk di tempat semula setelah meletakkan minuman tersebut di atas meja. "Besok aku akan pergi," ucap Lionello tiba-tiba membuat Teofilo menaikkan kedua alisnya. "Ke Milan," sambung Lionello. "Apa ada urusan di sana?" tanya Teofilo. "Tidak," jawab Lionello. Dia membuka bungkus rokok milik Teofilo yang tergeletak di atas meja. Lionello menyalakan sebatang rokok. "Lalu?" Teofilo kembali bertanya sembari membuka kaleng minuman. Seketika asap rokok mengepul keluar dari mulut dan hidung Lionello. Pria itu diam sesaat menikmati aktivitas merokok yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang usai bangun tidur dengan kepala berdenyut. Sedangkan Teofilo ikut diam seolah membiarkan Lionello menjawab pertanyaannya lebih dulu. "Besok … hari ulang tahunnya," ucap Lionello pelan tanpa menatap Teofilo. Sontak Teofilo termangu. Dirinya tidak ingat besok adalah hari ulang tahun adiknya. Tiba-tiba saja Teofilo merasa malu pada Lionello dan dirinya sendiri. "Berapa lama kau akan berada di Milan?" "Tidak lama. Lusa aku akan kembali. Hanya sehari saja." "Kenapa … kau justru ke Milan? Dia ada di sini." Lionello menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Dirinya diam sejenak dan kembali menikmati hisapan rokok dalam apitan kedua jari. "Kemarin malam aku bermimpi tentang dia. Aku bermimpi di saat hari ulang tahunnya dua tahun yang lalu. Dia ingin mengunjungi taman itu lagi," jawab Lionello dengan suara pelan sehingga beberapa kata di setiap kalimat nyaris tidak dapat didengar dengan baik. "Baiklah …. " gumam Teofilo seraya menganggukkan kepala, mengiyakan ucapan Lionello tanpa penolakan apapun. "Bersama ibumu?" Lionello menggelengkan kepala. "Tidak. Aku pergi sendiri. Itu sebabnya aku mengatakan ini padamu. Aku ingin kau menjaga ibuku saat aku sedang pergi." "Bagaimana jika ibumu bertanya?" "Aku akan menjelaskan padanya kalau aku akan pergi keluar kota untuk mengurus berkas-berkas yang dibutuhkan dalam proses hak asuh Estefania. Aku butuh kerjasama darimu." "Okay, tidak masalah," jawab Teofilo dan kembali mengangguk membuat Lionello tersenyum. "Gracias," gumam Lionello. "De nada," balas Teofilo. Suasana hening sejenak saat Teofilo menenggak minuman sedang Lionello menikmati aktivitas merokoknya. "Berapa banyak bekas luka tembak di tubuhmu?" Lionello tertegun mendengar pertanyaan Teofilo. "Aku penasaran karena melihatnya lebih dari satu di tubuhmu," sambung Teofilo. "Entahlah. Aku tidak menghitungnya," jawab Lionello dan menyusul Teofilo menikmati minuman alkohol dalam kaleng. Teofilo berdecak mendengar jawaban Lionello. Nada suara pria itu terdengar seolah sedang menyombongkan diri. "Apa kau sudah mengatakan pada ibumu kalau kalian akan mendapat masa percobaan selama tiga bulan saat mengasuh Estefania nanti?" tanya Teofilo mengalihkan pembicaraan. "Aku belum mengatakan itu. Sepertinya ibuku tidak masalah dengan masa percobaannya. Satu hari saja sudah membuat mereka sangat dekat," jawab Lionello. "Ya. Dan itu menyiksamu bukan? Karena ibumu terus merengek dan mendesakmu untuk mengambil hak asuh Estefania." Teofilo berkata dengan nada mengolok-olok Lionello tetapi diabaikan oleh pria itu. "Apa ibumu sudah tahu tentang ibunya Estefania yang menjadi teman dekat Violetta saat kuliah dulu?" "Aku sudah memutuskan untuk tidak mengatakan fakta itu padanya." "Ya. Terserah kau saja. Keputusan ada di tangan mu," balas Teofilo. Lalu menghela napas pelan. "Apa kau tidak pergi ke kafe?" "Ya, jam sepuluh atau sebelas siang nanti." Seketika perhatian Teofilo dan Lionello teralihkan ketika mendengar seseorang menekan password pintu. Tidak lama kemudian terdengar nada peringatan kalau pintu sudah terbuka. Lionello menoleh ke arah pintu dan melihat ibunya berjalan masuk dengan menjinjing tas serta plastik penuh barang belanjaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD