“Jo, Mun. Babonan lu kenapa sih? Lagi PMS ya?” Tanya lelaki itu pada ke dua binatang kesayangannya.
“Kamu kenapa sayang?” Winda menghampiri Naja yang sedang memotong bawang dengan wajah yang bingung. Pasalnya anak gadisnya itu seperti menaham kesal sampai pisau yang beradu dengan talenan itu berbunyi cukup keras.
Naja mencoba untuk tersenyum, “Tidak pa-pa mah, ini pisaunya kurang tajam. Jadi lumayan susah buat motong bawangnya,” kilah gadis itu.
“Memangnya kamu mau masak apa?”
“Nasi goreng mah, tadi mas Fahri yang minta.” Winda hanya mengangguk-angguk paham.
“Bon, nasi gorengnya udah jadi belum? Gua laper nih!” suara itu berasal dari meja makan yang sudah terdapat Fahri sedang duduk manis di sana dengan wajah songongnya membuat Naja semakin dibuat kesal.
Winda yang melihat raut wajah sang putri sekain kesal pun hanya bisa mengusap punggung gadis itu untuk meredamkan emosinya.
‘inginku berkata kasar’ umpat gadis itu dalam hati.
“Sabar mas, baru juga motong bawang merah!” omel Naja dengan bibir mencebik kesal.
“Dasar lelet!”
“Fahri.” Winda mencoba memberi peringatan untuk anak lelakinya agar tidak semakin bertingkah seenaknya. Namun, lelaki itu malah berdecak tidak terima.
‘ingin sekali Naja gorok lehernya,’ lagi-lagi gadis itu hanya bisa membatin.
“Lah bukannya tadi mas ke kamar ya? Kok sekarang di sini?” Naja menatap Fahri heran sembari memotong cabai.
“Lah serah gua dong, kaki-kaki gua, rumah orang tua gua, napa lu yang repot sih!” jawab Fahri dengan nada yang tidak bersahabat
“Fahri, lama-lama mulut kamu mama sambelin ya.” geram Winda meremas tangannya sendiri sudah bersiap-siap ingin memukul bibir Fahri yang kelewat pedas.
“Harus berapa kali sih Fahri bilang, kalau Fahri nggak mau punya adik hasil pungutan kaya dia!” sorot mata Fahri yang tajam menatap Naja dengan jari telunjuk yang terangkat dengan tajam pula.
Naja yang mendapat perlakuan demikaian hanya bisa diam. Tidak mau menyahuti sudah terlalu sakit hati. Mau diungkapkan seperti apapun tetap tidak bisa. Lihat lah bahkan air matannya saja tidak keluar setetes pun.
“Iya mas, Naja juga tau diri kok,” ucap Naja tanpa menatap Fahri datar. Gadis itu memilih menyibukkan diri untuk mengaduk-aduk nasi gorengnya yang sebentar lagi akan siap disajikan.
Fahri yang melihat respon Naja haya seperti itu ada sedikit rasa kesal di dalam dirinya dan ada rasa penyesalan juga. Sudah banyak Fahri menyakiti perasaan gadis itu, namun rasa itu tertutup oleh kebenciannya.
Kehadiran Najayang secara tiba-tiba mengambil simpati ke dua orang tuannya. Asal usulnya yang tidak jelas, di ambil dari jalanan, itu membuat kebencian Fahri semakin menjadi-jadi.
Seburuk apa pun perlakuan Fahri terhadap Naja, Naja tetap sabar menghadapinnya. Gadis bertahan hanya ingin menepati janji Adnan saat pertama kali bertemu dulu.
“Ini mas nasi goregnya udah jadi.” Naja meletakkan piring berisikan nasi oreng itu tepat di hadapan Fahri
“Airnya mana?!” tanya Fahri dengan nada naik.
“Iya sabar!” jawab Naja nadanya lembut, namun ada kekesalan di dalamnya.
“Bon, kok asin banget sih! Lu pengen kawin ya?” protesnya kembali memuntahkan nasi goreng yang sudah dikunyahnya.
‘Tabahkan hati hamba ya Allah’ Naja memejamkan mata untuk menguatkan hatinya yang seakin diuji kesabarannya.
Naja menghampiri Fahri dengan segelas air putih di tangan kanannya. Namun, gadis itu malah mendapat tatapan yang semakin tajam dari lelaki itu.
“Apa lagi sih, mas? Perasaan Naja salah terus di mata mas Fahri.” Keluh gadis itu, namun tidak bisa meluluhkan hati Fahri yang sudah sekeras batu karang.
“Soalnya lo nggak pernah bener kalo gua suruh!” Fahri menggeser piring itu, bertanda dia sudah tidak ingin memakannya lagi.
“Ya udah, sini nasi gorengnya biar Naja yang makan. Mubazir kalau dibuang.” Tangan gadis itu terulur untuk mengambil piring yang berisikan nasi goreng itu. namun, dengan cepat Fahri langung menepis tangan gadis itu sampai membuat Naja menggaduh kesakitan.
“Aduh mas, sakit tau! Main pukul-pukul aja!” dumel gadis itu lalu bibirnya meniup bekas pukulan yang terlihat sedikit memerah.
“Siapa suruh lu nggak sopan! ‘Kan gua nggak nyuruh lu buat makan nasi goreng ini.”
“Lah kan tadi …” ucapan Naja terhenti saat Fahri kembali menatapnya sengit.
“Bisa nggak kalau dibilangin jangan bantah terus?” potong Fahri.
Naja kicep tak berkutik. Ada yang sakit tapi tidak berdarah. Karena terlanjur kesal Naja ingin meninggalkan Fahri sendirian di ruanag makan. Namun, dengan sigap Fahri menahan pergelangan tangan Naja, hingga membuat sang empu terduduk kembali.
“Mau kenama lu! Kan gua minta ditemenin, kenapa main ninggalin aja sih!” Raut wajah Fahri semakin kesal.
‘Ya Allah cobaan apa lagi ini.” Naja membuang napasnya kasar.
“Naja capek mas, pengen istirahat.” Gadis itu berucap lemas. Memang benar adanya, tubuh Naja terasa remuk akibat perintah-perintah Fahri yang tidak memanusiakan dia.
“Siapa yang izinin lu buat istirahat? Abis ini lu cuciin semua koleksi sepatu-sepatu gua yang ada di lemari. Udah berdebu dan bau, gua kaga mau pake kalo masih kotor!” lagi-lagi Fahri memerintah tanpa perasaan. Lelaki itu seolah buta dengan keadaan Naja yang sekarang.
“Mas, bisa nggak Naja istirahat sebentar. Naja janji kok cuma sebentar” ucap Naja mengiba. Memohon belas kasih. Dirinya sudah lelah, lelah raga dan juga jiwa.
“Bon! Gua rasa telinga lu masih berfungsi dengan baik ‘kan? Jadi, gua rasa lu udah denger semua perintah dari gua. Lo juga tahu kalo gua ini nggak suka di bantah.” Kemudian lelaki kembali menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.
Naja mengangguk pasrah. Selalu begitu Naja tidak akan memenangkan perdebatan dengan Fahri. Karena setiap kali ribut yang di singgung cuman harta dan tahta. Apalah daya, Naja hanya remahan-remahan nastar yang sudah kadaluarsa.
“Bon! Lain kali kalo masak jangan di banyakin minyak! Kasian muka gua, nanti banyak minyak-minyak yang bertumpuk di sini dan itu akan mengakibatkan komedo, yang lebih parahnya jerawat. Perawatan gua itu mahal. Jajan lu selama sebuan aja nggak cukup buat biayain perawatan gua.”
‘iya lah Ferguso, sak karepmu (terserah kamu) saja.’ Naja menatap lelaki itu begitu kesal.
“Njeh (iya) ndoro kanjeng.”
“Bon, mulai sekarang lu harus banget bawa tisu basah buat lap muka gua. Biar nggak ada partikel-partikel debu nakal yang hinggap di wajah mulus nan glowing gua ini dan satu lagi jangan lupa selalu sediain sunblock biar tangan gua kaga gosong karena terpapar sinar matahari. Lu paham kan?”
“Iya Naja paham. Sangat paham ndoro kanjeng.”
‘Ribet amat sih jadi manusia. Kalau nggak mau kena debu dan terpapar sinar matahari ya udah sana tinggal aja di goa atau nggk dihutan rimb,” omel Naja dalam hati.
“Bon, lu jangan iya-iya aja, ngarti kaga sih apa yang gua bilang? Jangan salah lagi nanti gua suruh beli tisu basah malah lu belinya tisu kering, terus lu basahin pake air. Terus pas gua suruh bawa sunblock, lu malah bawanya hembodi lotion. Gua suruh bawa minyak rambut pomade, lu malah bawanya minyak urang aring. Lu mah kadang suka kaga nyambung.” Fahri menatap jika mengingat hari itu.
Waktu itu Naja memang disuruh membeli tusu basah, berhubung tisu basahnya habis, akhirnya Naja membeli tisu kering, dari pada tidak ada pasti nanti Fahri akan mengomel lagi. Toh sama, sama-sama tisu basah ‘kan namanya? Kalau masalah sunblock, Naja memang tidak bisa membedakan mana sunblock dan mana henbodi lotion, soalnya sama-sama warna putih sih. Masalah minyak rambut pomade, punya Fahri memang sudah habis, waktu itu Naja sudah bilang tapi Fahri tidak percaya.
“Iya ndoro.” Naja manggut-manggut. Hampir saja kepala gadis itu terbentur meja.
“Awas lu iya-iya aja. Ampe salah lagi gua masukin ke ketek gua!” ancam Fahri.
Fahri sudah menyelesaikan makan siangmya dan sekarang lelaki itu sedang terbujur di atas sofa kamarnya. Jemarinya semakin asyik menari-nari di layar gawainya membalas komenan para netizen. Sesekali Naja mendengar kikikan kecil dari arah sofa, gadis itu bergidik ngeri takut kalau kegilaan Fahri akan semakin bertambah parah.
“Bon, itu koleksi boxer doraemon gua nanti di kemasin ya. Bawa ke apartemen!” perintah lelaki itu tanpa menatap Naja.
‘what! Itu boxer udah dari jaman baheula! Masih aja mau dipake emang kaga kasian apa sama burung kutialangnya nanti kegencet nggak bisa tumbuh kan berabe.” Gadis itu membatin sembari menatap Fahri tidak percaya.
“Mas, itu boxer udah pada sempit kali. Jugaan pasti udah pada bolong di bagian tengahnya. Beli yang baru lagi aja lah. Yang di lemari biar jadi lap di dapur,” usul gadis itu. Namun, mendapat tatapan tajam dari Fahri.
Fahri bangun dari posisi tidurannya. “Enak aja. Boxer kesayangan gua mau dibuat lap dan asal lu tau ya itu boxernya masih muat di gua. Masalah bolong atau nggaknya ‘kan ada lu, nanti lu jahitin yang bolong. Gitu aja kok repot sih.”
‘goto ojo kok roprot soh. Gundulmu itu mas!’ umpat Naja dalam hati.
“Jahit itu juga butuh tenaga loh mas. Naja pengen istirahat.”
“Udah nggak usah kebanyakan omong,. Turutin aja apa susahnya sih Bon!”
“Iya dah iya.”
“Nah gitu dong, kan enak didengar.” Fahri kembali merebahkan tubuhnya. kesepuluh jarinya semakin asyik menari-nari di layar gawainya dengan bibir yang tersenyum.
Naja memutar bola matanya jengah saat Fahri kembali pada kegilaanya. Karena gadis itu tidak ingin tertular kegilaan Fahri, Naja pun memilih keluar dari kamar lelaki itu.