8

1095 Words
Suara bising dari ketukan pintu membuat tidur Naja kembali terusik. Namun, gadis itu masih enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Hingga pada akhirnya ketukan pintu itu semakin menggila. Naja berdecak kesal sebelum akhirnya beranjak dari kasurnya lalu menuju pintu kamarnya.  “Siapa sih yang ketuk-ketuk pintu, padahal ini kan masih pagi. Nggak ada akhlak banget!” gerutu Naja. Naja menguap lebar-lebar ketika membukakan pintu, tanpa peduli jika sang penganggu akan pingsan di tempat.  “Jigong lu bau banget gila,” ucap seseorang itu sembari menutup hidungnya. “Hah, nggak bau kok,” protes Naja dengan polosnya, sembari mencium bau napasnya sendiri. “Ya wajar kalo lu nggak kebauan. Bau jigong lu sendiri!” “Mas mau ngapain sih? Ini masih pagi loh.” Lagi-lagi Naja memprotes.  “Ayo kita kabur!” ucapan Fahri sontak membuat Naja membola. Gadis itu berpikir bahwa dirinya dan Fahri akan melaksanakan kawin lari. “Mas gila ya! Masa mau ngajakin Naja kawin lari.” Naja memukuli d**a bidang Fahri. hingga membuat lelaki itu limbung kebelakang. “Nggak usah pinter deh, siapa yang mau ngajakin lu kawin lari? ogah gua kawin sama lu!” Fahri menoyor kepala Naja, “Ayo kita balik ke apartemen.” “Ya Allah, ternyata Mas tadi malem nggak pulang?” akhirnya Naja tersadar.  “Yang lu lihat sekarang gimana Bon? Pinter banget sih jadi manusia.” Fahri berdecak kesal. Naja masih tampak berpikir dalam kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Menggerak-gerakkan ke dua bola matanya ke kanan dan ke kiri mencoba berpikir. “Jangan sok mikir deh! Kaya otak lu dipake aja!” celetuk Fahri seringan kapas, membuat Naja semain kesal. Naja memukul lengan Fahri dengan keras, “Mulutnya yah mas, mohon dikondisikan! Emang mas pernah gunain otak buat mikir? Enggak ‘kan?” Fahri mencolek hidung mini milik Naja, “Udah sana mandi. Kita harus cepat-cepat kabur dari sini. Pemotretan jam 9.00 WIB.” “Jangan colek-colek hidung Naja, bisa-bisa tambah mini. Nggak nyadar apa itu tangan udah kaya batu bata.” Gadis itu mengusap hidungnya yang mini. “Omongan lu makin hari makin aneh ya Bon. Masa tangan seputih dan semulus ini di samain sama batu bata!” Fahri berhenti sejenak “Udah berhenti dulu nyocotnya, sekarang mandi sana jangan pake lama!” Fahri mendorong tubuh Naja yang lumayan kasar hingga membuat tubuh mini milik Naja benar-benar masuk kembali ke dalam.  *** 20 menit pun berlalu, Naja sudah siap dengan baju dan rok sederhananya dan tak lupa rambut yang selalu dikepang ketika hendak berpergian. Fahri memutuskan untuk menunggu di kamar Naja sembari menunggu gadis itu menyelesaikan mandinya. “Lu lama amat dah Bon! Lumutan gua nungguin lu,” protes Fahri yang masih saja memainkan ponselnya. Naja hanya melirik sekilas, “Tadi Naja setoran dulu mas,” ucap Naja sekenannya. Gadis itu semakin geram saat melihat Fahri tidak kunjung bangun dari posisi rebahannya. “Setoran mulu, hasilanya mana?” tanya Fahri, kini sudah mengalihkan pandangannya menjadi menatap Naja. “Kalo mas mau, bedah aja isi klosetnya,” celetuk Naja hingga membuat lelaki itu mendengus kesal. “Dih ogah! Udah cepetan. Keburu mama sama papa bangun.” Fahri berucap tanpa menatap gadis itu. “Naja udah siap dari tadi, masnya aja yang terlalu fokus sama ponsel.” Gadis itu berucap sewot. Fahri beranjak dari kasur Naja, tanpa merasa berdosa lelaki itu berjalan mendahului. Fahri dan Naja keluar kamar dengan cara mengendap-endap agar suara langkah kakinya tidak terdengar.  Tiba-tiba dari arah belakang ada yang menepuk pelan pundak Fahri. Fahri dan Naja memejamkan matanya erat-erat tidak hanya itu, tautan tangan keduanya pun di per-erat “Loh! Non, den. Kalian kenapa? Kok ngendap-endap kaya orang mau maling?”  tanya si mbok dengan suara yang agak kencang. “Sttt. Jangan keras-keras mbok,” peringat Fahri dengan suara berbisik. “Non sama aden ngapain? Kok ngendap-endap?” tanya ulang si mbok, dengan volume suara yang mengecil. “Kita mau kabur mbok,” jawab Fahri asal. Jika sudah seperti ini pasti akan lama meladeni si mbok yang terlalu ribet. “HAH!” si mbok kembali berteriak. “Stt. Aduh mbok jangan teriak.” Fahri kembali memperingatkan si mbok agar tidak berteriak. “Maaf.” Si mbok membekap mulutnya sendiri, “Lagian aden mau kabur kemana?” “Kita bukan mau kambur mbok, tapi mau pulang ke apartemen,” Jelas Naja. Akhirnya si mbok menganggukkan kepalanya paham. “Oalah, mau pulang ke apartemen toh, mbok kira mau kabur beneran.” “Mulut dia nggak pernah ikut olimpiade bahasa Indonesia mbok. Jadi jangan didengerin.” sindir Naja sinis. “Ya udah ya mbok, kita pamit dulu. Nanti kalo di tanyain sama mama atau papa bilang aja kita udah pulang dari subuh,” ucap Fahri. “Loh emang aden nggak bilang sama nyonya?” tanya si mbok lagi, membuat Fahri mendengus kesal. “Engga mbok. Udah ya mbok waktu kita mepet banget. Kita pamit mbok Assalamualaikum.” Waalaikumsalam, hati-hati non, den.” “Siap mbok,” jawab Naja dan Fahri kompak. Mobil yang dikendarai Fahri sudah melesat jauh dari pekarangan rumah, ada rasa lega menyelimuti hati Fahri di karenakan telah berhasil membawa kabur Naja. Sedangkan Naja, masih diam dalam lamunanya. Takut jika sang mama akan mencarinya. Naja memijit pelipisnya, kepalanya terasa berdenyut nyeri. Pusing memikirkan manusia di sampinya yang tengah mendengarkan musik favoritnya. Naja melirik sekilas, nampak Fahri tidak merasa bersalah sama sekali karena telah membawa gadis itu kabur dari rumah. Naja amat sangat kesal sekali dengan homo pasiens yang satu ini. “Mata lu napa sih Bon? Kelilipan? Dari tadi keknya liatin gua mulu, ohh atau karena gua ganteng ya?” celetuk Fahri. Naja semakin dibuat dongkol olehya, “Apaan sih? Naja itu kesel sama mas, nanti kalau mama nyariin gimana? Mas itu kalau mau apa-apa nggak dipikir dulu tau nggak!” “Ah ilah, satai aja kali Bon, urusan mama biar gua aja yang nanggung.” “Congor your mas, ujung-ujungnya juga Naja yang bakal membujuk mama.” “Nah itu lu tau, udah lah gampang itu mah.” Ini lah sifat Fahri yang tidak disukai oleh Naja, terlalu menyepelekan masalah yang nantinya akan berakibat fatal. “Sekali-kali dong mas tanggung jawab.” “Emang gua ngebuntingin lu! Pake acara tanggung jawab segala.” “Au ah, Naja kesel sama mas Fahri!” Ke duanya kembali saling diam. Naja pun memilih untuk melihat jalanan yang sudah padat dengan kendaraan roda empat maupun dua. Sementara Fahri, lelaki itu sedang fokus pada kemudianya. Lelaki itu melirik sekilas untuk memastikan gadis yang di sampingnya baik-baik saja. Lalu lelaki itu menarik sudut bibirnya tipis, dia senang jika melihat Naja duduk anteng di sampingnya. Terlihat lebih kalem dan anggun.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD