Rillya Adistya Agitsni

1480 Words
"Gimana, Umi? Dia udah siuman?" Pertanyaan itu diucapkan Ali dengan nada khawatir yang berlebih. Umi Zainab tersenyum geli melihat tingkah anak bujang keduanya itu. "Khawatir banget kayaknya nih, 'A." Ali terkekeh pelan digoda demikian oleh Uminya. "Umi tahu nggak, tadi Zahra sumpahin Aa semoga cepet dapet cewek. Eh hitungan menit Zahra udah temuin Aa lagi tepuk-tepukin pipi cewek dalam mobil. Aduh, Umi. Tampol tuh si Aa. Bukan muhrim." "Berisik kamu!" "Hahahaha emangnya enak wleeee!!!" "Udah sana. Jam sebelas malem nih. Tidur kamu! Bukannya besok kuliah pagi?" Zahra mencibiri Kakaknya yang mencoba mengalihkan pembahasan. "Uhh bisaan banget ngalihinnya. Oke, sekarang Aa menang dari Zahra. Besok-besok, Zahra yang akan memegang bendera kemenangan. Muah! Selamat malam, Umi!" Zahra beringsut pergi menaiki tangga setelah mengecup pipi Uminya. "Abi nggak akan dicium juga?" protes Abinya. "Hehe lupa. Besok lagi ya, Abi. Nanggung udah di atas. Zahra ngantuk!" Ali menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah ajaib adiknya yang satu itu. "Gimana ceritanya nih kamu bisa sama Rilly begini?" "Lhoo? Abi kenal dia?" tanya Ali keheranan. Darimana Abinya tau nama gadis yang ditolongnya itu? "Rilly ini anaknya Haji Abrar, pengusaha jaket dan sweeter yang rumahnya gede di depan perumahan sana." "Lah? Adiknya Fahri dong?" Ali benar-benar baru tahu kenyataan ini. "Iya. Dia ini anak pindahan. Sebelumnya dia tinggal di Jakarta sama Om Tantenya dari SD sampai SMA, tapi sekarang kuliahnya di Bandung karena Om Tantenya udah nggak di Jakarta lagi. Orangtuanya nggak ngizinin dia hidup sendiri di Jakarta, akhirnya disuruh tinggal di Bandung lagi. Ya jelas kamu nggak akan kenal," jelas Uminya. "Ow, Fahri nggak pernah cerita ya?" "Naksir ya kamu sama dia? Hayooo!" goda Uminya lagi-lagi. "Apaan sih Umi ini? Ngaco aja!" "Eh Neng Rilly udah siuman?" Ali menolehkan kepalanya pada gadis yang terbaring lemah di sofa. Matanya yang indah kini terbuka walaupun masih tampak menyipit. "Lho, aku di mana?" Rilly terheran-heran kenapa dia ada di sini sekarang? Bersama orang-orang yang tak ia kenali. "Kok aku bisa di sini?" "Rilly pingsan, untungnya anak Tante, Ali, ada deket kamu tadi. Kalau orang lain Tante nggak tahu nasib kamu gimana sekarang. Rilly bingung ya kenapa Tante kenal kamu?" Mendengar pertanyaan yang tepat sasaran, membuat Rilly mau tak mau mengangguk. "Rilly bener putrinya Haji Abrar?" tanya Abi Subhan meyakinkan. "Kok Om tahu?" Lagi-lagi Rilly dibuat heran. Orang-orang di depannya ini kenal dia, sedangkan dia sendiri tak mengenali mereka. "Ya tahu lah. Om ini temen sekolahnya Papa kamu. Kebetulan kemarin Om order baju seragam anak-anak santri kan di Distro Papa kamu," kata Abi Subhan menjelaskan. "O, maaf ya Om, Tante, Om yang satunya lagi." Ali terbelalak ketika Rilly memanggilnya Om yang satunya lagi(?). "Rilly baru tahu. Kalau boleh tahu, ini di daerah mana ya?" Mendapatkan pertanyaan polos Rilly, Abi Subhan dan Umi Zainab tertawa renyah. "Kamu tahu Masjid As-Salam? Kamu ada di rumah pengurus Masjid As-Salam. Ke rumah kamu itu tinggal lurus ke depan belok kiri dikit, nyampe deh." Rilly terbelalak setelahnya. "Astaghfirullahaladzim, Pak Ustadz? Ya Allah ... Rilly baru ngeh kalau di depan Rilly ini Abi Subhan sama Umi Zainab. Hehe maklum aja ya Pak Ustadz, Buk Ustadzah, Rilly ini paling-paling ke Masjid ini kalau Salat Tarawih, Salat Nisfu Sa'ban, Idul Fitri, sama Idul Adha doang. Jadi Rilly baru ngeh." "Nggak papa. Yang penting sekarang kenal kan? Rajin-rajin dong dateng ke sini," ajak Umi Zainab membuat Rilly tertunduk malu. "Malu, Buk Ustadzah. Banyak Santri. Sedangkan Rilly bukan Santri sini," jawab Rilly dengan wajah merahnya. "Nggak papa dong. Biar banyak temennya. Mau ikut ngaji juga boleh." Rilly semakin ditampar oleh ucapan Umi Zainab. Dia ini memang berhijab, tumbuh dalam keluarga yang selalu mengingatkannya untuk seimbangkan ilmu dunia dan akhirat, dia juga pintar mengajinya. Tapi dia bukanlah gadis yang mau rutinan pengajian. Dia juga termasuk gadis dengan pergaulan remaja pada umumnya di zaman yang serba canggih ini. Dia bandel, dia juga sering bolong-bolong Salat jika sedang malas, dia pacaran dengan cowok ini cowok itu. Masih jauh dari kriteria seorang gadis muslimah yang baik. "In Sya Allah, Buk Ustadzah." "Panggil aja Umi, Rill." "Oiya, Umi. Yaudah Rilly pulang aja atuh ya, takutnya Papa Mama khawatir." "Lho udah kuat emangnya? Rilly pingsan karena belum makan ya? Makan dulu di sini, mau?" tanya Umi Zainab meyakinkan. Rilly menggelengkan kepalanya mantap. Dia berkata, "Nggak usah, Umi. Lagian tadi siang Rilly makan kok. Cuma barusan nggak tahu aja tiba-tiba kepala oleng. Padahal biasanya tubuh Rilly nggak selemah itu. Rilly pulang sekarang aja, Umi. Takut makin malem." "Yaudah dianter Aa aja sana! Tapi jangan macem-macem hayooo!" kata Abi Subhan menengahi obrolan mereka. "Ah nggak usah. Deket ini, Pak Ustadz." "Panggil Abi saja!" "Oiya, Abi," ralat Rilly sedikit canggung. "Udah, aku anterin aja ya?" Rilly mendongak mendengar penawaran dari suara merdu yang didengarnya. Matanya terpaku beberapa detik melihat makhluk Allah yang ganteng bangetz pakai z. "Halo?" Rilly terkesiap setelahnya. b**o b**o b**o! Jual mahal dikit sama cowok kellesss... Aduh kok gue baru tahu ya kalau anak yang punya yayasan ada yang ganteng begini. Eh tapi dia lajang kagak? Ntar kayak Bang Bilal lagi, udah gue gebet eh malah udah punya bini. "Nggak usah. Deket ini, tinggal jalan," sahut Rilly tak enakan. "Tetap aku temenin," dalih Ali tak mau kalah. "Yaudah sana, 'A. Anterin gih anak gadis orang. Walaupun deket kan tetep aja khawatir cantik-cantik jalan sendirian malem-malem." "Ahh Umi bisa aja," kata Rilly seraya membenarkan posisi pasminanya dan bangkit dari tidurnya. Matanya terpejam untuk menyesuaikan diri dulu agar bisa berdiri tegak. Maklum saja, sehabis pingsan kan kalau berdiri pasti pusing. "Yaudah, Abi, Umi, makasih ya udah nampung Rilly di sini. Oiya kamu juga 'A." "Ali," sergah Ali, tahu ke mana ucapan Rilly akan mengarah. "Oiya 'A Ali. Makasih udah selamatin aku tadi. Untungnya sama orang baik, kalau nggak? Aduh nggak tahu lagi deh." "Iya sama-sama. Yaudah yuk!" ajak Ali dengan gerakan isyarat. "Padahal nggak usah dianterin. Jadi ngerepotin gini," kata Rilly tak enak lagi. "Nggak papa, ini udah tengah malem. Nggak takut emang?" Rilly tampak berpikir dan cengengesan ketika rasa takut menyerang dadanya membayangkan kesendiriannya di gelapnya jalan, kalau jalan kaki kan jaraknya lumayan jauh. "Takut kan?" Ali tertawa kecil melihat wajah sok berani Rilly. Dengan senyumnya yang menawan, dia kembali mengisyaratkan Rilly untuk mengikutinya. Tentunya setelah Rilly berpamitan pada kedua orangtua Ali. "Mobil aku masih di__." "Jangan pake mobil. Deket ini. Aneh aja kalau pake mobil jarak sedeket itu," sergah Rilly. "Motor?" Rilly tersenyum malu dan berkata, "Bukan muhrim nempel-nempel." Hatinya menjerit geli dan asyik menertawakan diri sendiri sambil memprotes, "Woy, Rill. Kesambet jin islam lo? Sejak kapan Rilly bahas muhrim-muhriman? Liat deh, dadanya sandar-able banget, bibirnya cipok-able banget, tubuhnya serba-able deh pokoknya. Yakin nggak mau nempel-nempel?" Ali tersenyum semakin lebar, sampai gigi rapinya terpampang jelas di mata Rilly. "Anak sholehah. Yaudah jalan kaki aja, yuk!" Ya Allah, Mama. Rilly dibilang sholehah sama Aa ganteng ini! Demi Allah Rilly pengin culik Aa ganteng ini! "Kamu kuliah di mana? Jurusan apa?" "Di Universitas Padjajaran, 'A. Jurusan Psikolog," jawabnya. "Lho? Sekampus sama Zahra, adikku, dong?" Rilly menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mencoba mengingat nama Zahra yang dimaksud, namun nihil, yang namanya Zahra itu kan banyak. "Nggak tahu tuh, 'A. Emang adiknya Aa semester berapa sekarang?" "Semester 3," jawab Ali. "Pantesan nggak kenal, Adik angkat toh. Aku ini udah disibukkan nyusun skripsi, 'A. Anak semester akhir. Eiya, Aa sendiri gimana? Kuliah atau udah kerja?" "Aku udah kerja." "Kuliahnya lulusan apa?" tanya Rilly lagi. "Ah aku bukan apa-apa kok. Cuma lulusan UIN Ilmu Tafsir Qur'an dan lulusan Tata Boga." "Waw? Bukan sekadar kata cuma dong itu. Udah S2?" Ali hanya mengangguk. "Dua-duanya di UIN? Atau beda kampus?" "Cukup ah. Nggak mau jawab lagi!" Rilly menatap aneh pada Ali. Oke, Rilly takkan memaksanya. Ali memang sedikit risih apabila ditanya perihal pencapaian yang ia genggam. Biarlah orang tahu dengan sendirinya, tidak dari mulutnya. Takutnya dibilang sombong. Mereka berjalan dalam keheningan. Menyusuri jalanan yang hanya diterangi cahaya redup lampu-lampu jalan dan lampu halaman rumah-rumah yang mereka lewati. DAAARRRR!!! Ali dan Rilly terlonjak kaget seraya beristighfar ketika petir yang sedari tadi hanya sekadar bergemuruh pelan, sekarang berubah menjadi suara petir yang menyambar keras. Bahkan getarannya pun dapat mereka rasakan. Refleks Rilly mendekatkan tubuhnya pada tubuh Ali, tangannya menggapai lengan kekar Ali untuk menempas rasa takut. "Ehh bukan muhrim, maaf." Ali memundurkan tubuhnya lagi, memberikan jarak antara dirinya dan gadis di depannya ini. Harga diri Rilly tersentil mendengarnya. Rasa sesak memenuhi dadanya karena merasa ditolak oleh seorang pria. Walaupun alasannya mulia, tapi setidaknya pria ini harusnya mengesampingkan dulu prinsipnya. Jika bukan karena petir yang tiba-tiba menggemakan malam, Rilly takkan bertindak demikian. "Sampai sini saja. Makasih udah anter. Assalamu'alaikum!" Rilly berlari meninggalkan Ali yang masih terpaku tak mengerti. "Wa'alaikum salam hey! Rilly!" panggilnya pada gadis yang sudah beberapa meter di depannya. Bahkan jarak ke rumah Haji Abrar masih sedikit jauh. Yakin gadis itu berani? "Gue barusan ngomong apa? Salah ngomong atau gimana sih? Kok tiba-tiba dia gitu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD