Prolog
Bulan bersinar terang membuat bayang-bayang pohon terlihat menyeramkan. Di sebuah rumah kayu besar terlihat dua orang duduk dekat perapian sedang menghangatkan badan. Cerobong asap pun mengepul.
Aidan mengusap perut istrinya yang tengah hamil besar. Keluarga Branstom akan mendapatkan keturunan dalam waktu dekat.
Tubuh kekar Aidan merengkuh tubuh kecil sang istri Estefania.
Pria yang dikenal kejam dan ditakuti banyak werewolf ternyata bisa bersikap manis di depan Estefania. Siapa sangka wanita cantik berambut panjang itu bisa meluluhkan hati sekeras baja Aidan.
"Kau tahu, kelak dia akan mengalahkanku," ujar Aidan. Tangan besarnya berpindah dari perut buncit lalu ke bahu sang istri. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan werewolf bahwa hanya mereka yang kuat yang bisa menjadi pemimpin.
"Aku tidak yakin kau bisa dikalahkan semudah itu."
Aidan meraih tangan Estefania. Jadi kau ingin aku mengalah? Estefania mengangguk. Tidak ada yang bisa mengalahkan suaminya. Aidan Branstom seorang Alpha pemimpin desa Moonstone yang dulu dihuni oleh beberapa pack kecil. Semenjak Aidan datang ke wilayah Garviti ia kemudian menggabungkan pack kecil itu hingga membentuk sebuah desa yang dihuni oleh beberapa Alpha, Beta dan Omega.
Aidan terkenal kejam pada lawan-lawannya, tidak heran jika ia menjadi pemimpin desa. Sampai saat ini belum ada yang bisa menandingi kekuatan Aidan Branstom.
"Saat anak kita beranjak dewasa dan menjadi pemimpin, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu."
Estefania mengusap lembut pipi penuh luka gores Aidan. Luka akibat pertarungan saat melawan Rouge--serigala liar-- yang ingin menghancurkan desa. Itu bukan luka kepedihan melainkan tanda kemenangan.
Aidan tersenyum tipis, tangannya kembali mengusap perut Estefania. Wajahnya menegang. Tiba-tiba Aidan terdiam kaku membuat Estefania khawatir. Diusapnya tangan Aidan yang berada di atas perutnya. Tanpa di duga Aidan menarik tangannya kasar lalu menjauh dari sang istri.
Aidan gusar, lalu berdiri mondar-mandir di depan istrinya.
Ada apa, Aidan? tanya Estefania khawatir.
"Apa kau tidak merasakannya?" tanya Aidan. Tatapannya berubah dingin dan kurang bersahabat seolah ia sedang berhadapan dengan musuh. Estefania tidak suka cara Aidan menatapnya. Mungkin karena pengaruh kehamilan membuat Estefania sulit mengendalikan emosi.
"Apa maksudmu?"
"Jantungnya ada dua. Aku khawatir mereka kembar," jelas Aidan membuat Estefania ikut tersentak.
Tangan yang semula mengusap perut itu perlahan terhenti. Memang perutnya lebih besar dari semestinya. Estefania pikir karena tubuh bayinya yang besar mengingat Aidan memiliki tubuh yang kekar, dan lebih tinggi dari werewolf lainnya.
"Apa yang kau katakan? Anakku tidak mungkin kembar."
Aidan berjongkok. "Aku bisa merasakannya tadi. Sekilas. Jika benar anak dalam kandunganmu kembar, itu artinya kita harus siap kehilangan salah satunya."
Estefania menggeleng. Ia tidak mau berpisah dari buah hatinya. Sesuai dengan aturan desa Moonstone barang siapa yang memiliki anak kembar maka salah satunya harus dibunuh untuk menghindari permusuhan di kemudian hari.
"Aku tidak ingin kehilangan mereka," gumam Estefania membuat Aidan marah. Aidan berdiri menatap sengit sang istri.
"Apa pun yang terjadi salah satu dari mereka akan dibunuh. Aturan harus ditegakkan demi kedamaian di masa depan. Persiapkan hatimu," kata Aidan sebelum pergi. Estefania menangis. Membayangkan berpisah dengan salah satu anaknya membuat pikirannya kacau.
"Aku harus menyelamatkannya," gumam Estefania.
***
Dokter mengatakan bahwa dalam beberapa hari anaknya akan lahir. Estefania gelisah. Ia memikirkan bagaimana cara untuk menyelamatkan anak-anaknya. Ide konyol tercetus di kepalanya. Mungkin ini adalah ide terbaik yang ia miliki saat ini.
Malam menjelang. Aidan tidak berada di kediamannya. Estefania dengan mudah menyelinap keluar dengan jubah coklat dan penutup kepala. Salju mulai turun menemani langkahnya. Mulutnya seperti mengeluarkan uap ketika bernapas.
Sampailah ia di sebuah rumah sederhana yang dikelilingi pagar bambu runcing. Rumah milik pasangan suami istri dari kalangan Omega. Dialah Efan dan Megi. Orang yang dulu pernah ditolongnya dari ancaman para rouge.
Tangannya mulai membeku saat pintu tak kunjung dibuka. Asap dari cerobong mengepul, itu artinya ada seseorang di dalam. Estefania mulai khawatir. Ia tidak tahu harus menemui siapa lagi.
Pintu akhirnya dibuka. Muncul seorang wanita berambut sebahu memakai celemek dan penutup kepala lengkap dengan sarung tangan yang menghangatkan. Wanita itu tersentak lalu menundukkan kepalanya.
"Nyonya Estefania, Anda da-"
"Bisakah aku masuk dulu. Di luar sangat dingin," selanya.
Megi merutuki dirinya yang tidak sopan. Rasa hangat mulai merayap di sekujur tubuh Estefania ketika berjalan mendekati perapian. Efan yang melihat kedatangan Estefania mempersilakan wanita itu duduk. Salju di luar membuat mereka enggan meninggalkan perapian.
"Nyonya ada yang bisa kami bantu?" tanya Efan.
"Bisakah kalian menjaga rahasia ini seumur hidup?"
Efan dan Megi saling bertatapan. Mereka mulai takut terjadi sesuatu di kemudian hari. Entah itu apa yang jelas mereka merasakan sebuah bencana atau lebih buruk dari itu.
Rahasia apa itu? Megi mulai tak nyaman saat Efan kembali bertanya.
"Aku akan segera melahirkan. Aku ingin kalian membawa salah satu anakku pergi. Tinggallah dekat Patana. Ada sebuah rumah yang bisa kalian tinggali."
Efan dan Megi tidak mengerti apa yang dikatakan Estefania. Mereka takut menyalahi aturan dan terdepak dari pack. Siapa yang akan melindungi mereka dari bahaya di luar sana. Serigala liar dengan mudah membunuh mereka tanpa perlindungan Alpha, keluarga Branstom.
"Kami tidak mengerti apa yang Anda katakan." Kali ini Megi bersuara. Ia tahu Efan tidak akan menolak perintah Estefania.
"Anakku kembar, kalian pasti paham apa yang aku maksud."
Megi dan Efan terdiam. Wajah mereka pucat. Membawa kabur anak sang Alpha sama saja mendekatkan diri pada kematian. Itu mimpi buruk yang tidak akan mereka pilih. Melihat keraguan di wajah pasangan suami istri di depannya, Estefania segera berlutut.
Megi dan Efan kaget melihat nyonya Branstom mempertaruhkan harga dirinya demi sang anak.
"Nyonya," ujar Efan dan Megi serentak.
"Aku mohon rawat anak ini seperti anak kalian sendiri. Jangan pernah katakan apa pun mengenai jati dirinya. Tuan Culler, aku sangat mengharapkan bantuanmu."
Estefania menatap Efan lekat.
Megi segera membantu Estefania duduk kembali. Dilihatnya sang suami yang sedang berpikir. Apa pun keputusan Efan, ia akan menurut. Efan memainkan jemarinya di atas nakas. Pikirannya sedang mempertimbangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
"Baiklah, kami bersedia."
Estefania tersenyum lega. Ia bisa menyelamatkan sang putra dari kematian. Hanya perlu rencana matang untuk mengelabui sang suami. Salju mulai menebal ketika Estefania sampai di rumah. Aidan ternyata menunggu kepulangannya. Pria itu terlihat marah karena sang istri tidak meminta izin saat pergi.
"Apa kau berniat bunuh diri karena tidak tega melihat anakmu akan dibunuh?" tanya Aidan. Suaranya lebih dingin dari salju di luar.
Estefania melepas jubah lalu menggantungnya dekat pintu. Kakinya terasa tebal dan dingin. Nyatanya sepatu kulit yang ia pakai tidak bisa menghangatkan kaki. Ia berjalan mendekati Aidan yang duduk di kursi goyang sembari memainkan gelas di tangannya.
"Aku tidak akan pulang jika melakukan itu."
Estefania duduk di pangkuan sang suami. Membuat Sang Alpha marah adalah sesuatu yang merugikan. Ia harus membuat Aidan percaya padanya. Estefania memeluk suaminya mencari kehangatan dari badan besar dan kekar itu. Diusapnya lengan Aidan yang penuh luka cakaran.
"Jangan melakukan sesuatu yang aku benci." Estefania mengangguk lemah. Tidak ada gunanya ia menentang Aidan.
***
Malam yang mencengkam. Salju turun dengan sangat lebat. Aidan semakin gelisah ketika istrinya berteriak kesakitan. Ia ingin masuk, tapi mendengar jeritan pilu Estefania membuatnya urung. Pagi tadi istrinya sangat gelisah menantikan waktu bersalin. Ia tahu Estefania khawatir jika berpisah dengan anaknya. Bahkan ia terus menghindar dari Aidan.
Suara tangisan bayi yang lemah membuat Aidan terpaku. Anaknya telah lahir. Dugaannya benar, bahwa Estefania memiliki dua anak dalam perutnya. Tangisan kedua lebih kencang. Ia khawatir anak pertama yang lahir memiliki kekuatan terkutuk itu. Tangan Aidan meremas kuat. Ia harus membunuhnya walau tidak ingin. Pintu ruang bersalin terbuka. Aidan dipersilakan masuk melihat keadaan istri dan anaknya.
"Dua jagoan. Mereka akan menjaga desa di kemudian hari," ucap wanita yang membantu persalinan.
"Bukan mereka, tapi dia." Aidan menunjuk bayinya yang ada di atas tempat tidur dekat sang istri yang terbaring lemah.
Mata Estefania berkaca-kaca. Ditatapnya sang putra yang sedang terlelap. Bagaimana ia tega membunuh darah daging sendiri. Aidan mendekat membuat jantung Estefania berdetak kencang.
Tangan Aidan terulur ingin menimang anak pertamanya, tapi Estefania melarangnya. Aidan menatap sengit sang istri.
"Kau tidak akan mebunuhnya sekarang, bukan?"
Pertanyaan istrinya membuat Aidan terdiam.
"Lebih cepat lebih baik."
"Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" tanya Estefania. Aidan menaikkan satu alisnya menatap lekat wajah sang istri. Ia mengangguk pelan membuat air mata Estefania jatuh. Hidungnya memerah, peluh masih membanjiri wajah cantiknya.
"Biarkan aku yang membunuhnya."
Aidan tersentak. Istrinya adalah wanita yang lemah lembut. Bagaimana bisa Estefania membunuh anaknya sendiri. Aidan tidak yakin ia bisa melakukannya.
"Kau yakin?"
Estefania menatap lekat anaknya. Ia dengan mudah mengenali anaknya ketika dewasa nanti. Ia meyakinkan diri untuk kuat dan menjalankan rencananya dengan baik.
"Iya, hanya saja aku ingin membunuhnya dengan caraku."
"Apa maksudmu?"
Estefania bangkit. Ia duduk di tepi tempat tidur."Siapa nama mereka?" tanya Estefania tanpa menjawab pertanyaan Aidan.
"Aku tidak akan memberikan anak lemah itu nama." Aidan Menatap anak pertamanya sejenak sebelum merengkuh tubuh mungil anak keduanya yang terlihat kuat dan sehat. Bahkan anak itu sangat aktif memainkan tangannya di wajah.
"Namanya Areez Branstom," ujar Aidan.
Estefania ingin menangisi nasib anak pertamanya. Tubuhnya lebih kecil dari sang adik. Estefania memeluknya erat lalu mencium kedua pipi merah itu. Dia sangat tenang, tidak terusik sama sekali. Bahkan saat air mata ibunya menetes mengenai wajah bulatnya ia tetap tertidur.
"Aku akan membawanya keluar. Bayi tidak akan kuat dengan udara dingin. Dia akan meninggal dalam waktu singkat jika dibiarkan sendiri di luar. Salju akan terus turun hingga bulan depan, cuaca dingin tidak akan berakhir cepat," ucap Estefania memberitahu rencananya. Aidan sangat mengerti istrinya. Ia tidak akan melukai anaknya dengan senjata tajam. Mungkin ini adalah cara terbaik sehingga Estefania merasa tenang.
"Aku serahkan padamu. Bawalah beberapa pengawal untuk menjagamu."
Aidan keluar membawa Areez. Estefania menatap lekat putra pertamanya. Ia bergegas memakai mantel tebal. Jubah berbulu akan melindunginya dari dinginnya salju. Ia menyelimuti sang anak dengan kain tebal dan hangat.
Estefania bergegas keluar. Di depan kamarnya dua serigala bermata merah sudah menunggunya. Mereka berasal dari klan Beta. Tanpa banyak bicara Estefania keluar dari rumah diikuti dua serigala yang akan mengawalnya. Salju turun cukup lebat membuat ia sulit untuk melangkah. Sampailah ia di perbatasan hutan dan desa. Di balik pohon besar ia melihat dua ekor serigala yang sudah menunggu.
"Kalian tetaplah di sini. Aku akan membawa anak ini ke dalam hutan dan segera kembali," ucap Estefania.
Kedua serigala itu saling bertatapan. Mereka tetap berdiri di tempat semula ketika Estefania masuk lebih dalam ke hutan. Dua serigala mendekatinya dan seketika berubah menjadi manusia. Mereka adalah Megi dan Efan.
"Bawalah dia bersama kalian," kata Estefania.
Megi menerima bayi yang terlelap. Wajah anak itu memerah karena dingin. Namun, tidak menangis sama sekali.
"Apa ada pesan terakhir yang ingin Nyonya sampaikan?" tanya Efan.
Megi terlihat bahagia memeluk bayi mungil itu. Estefania mengusap kepala anaknya penuh kasih.
"Namamu adalah Luke. Hiduplah dengan baik, jadilah pria yang kuat seperti ayahmu. Apa pun yang terjadi jangan menempatkan dirimu dalam bahaya. Kalau kau sudah dewasa carilah wanita yang benar-benar mencintaimu. Dengarkan apa kata orang tua angkatmu, Luke. Makanlah dengan baik, jangan sampai kau sakit."
Estefania mengusap air matanya. "Jagalah mereka sebagai orang tuamu."
Estefania segera pergi setelah mengucapkan kata-kata perpisahan. Ia tidak akan sanggup kehilangan anaknya jika terlalu lama berada di sana. Megi dan Efan segera pergi membawa Luke. Perjalanan mereka masih jauh ke Patana.
Selamat tinggal, Nak. Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, batin Estefania.
TBC