Migrasi

1087 Words
Meraung dan berteriak-teriak histeris, Berlyn menerobos para penjaga hanya untuk melampiaskan emosi kepada sang raja mereka. "Puas kau iblis? Kau Membunuh ayahku tanpa kau tahu apa permasalahan dari semua ini!" teriaknya. "Dia membunuh ayahku, maka nyawanya sebagai bayaran!" jawab Darte terlihat menahan senyum. Ia merasa teriakan gadis itu sangat lucu di matanya. "Darte kau memang binatang!" Amarah Berlyn meluap-luap bagai air yang mendidih, menjalar ke seluruh tubuhnya karena merasa sangat terpukul atas kematian ayahnya yang begitu tragis. Dia meludahi sang pelaku bagai membuang air liur di atas bumi. "Nona, Anda kurang ajar!" Chan, dia asisten Darte. Pria itu murka karena sang tuan telah dilecehkan, sampai-sampai tangannya bergerak ingin memberi pelajaran pada Berlyn. "Jangan sentuh dia!" titah Darte menahan tangan Chan yang hendak, menyakiti Berlyn. "Bawa saja dia, ke kamarku!" "Tidak, aku tidak mau, kau harus mati Darte. Aku ingin melihatmu mati seperti ayahku!" "Itu hanya harapanmu, Berlyn. Sekarang kau adalah mainanku, karena aku menganggap nyawa ayahmu saja belum cukup untuk membayar apa yang telah ayahmu lakukan di masa lalu!" "Terkutuk kau b*****h!" Saat itu, Berlyn tak dapat melawan lagi, di kala para anak buah Darte membawanya paksa menuju kamar yang berada di lantai dua. *** Sementara itu di tempat lain, Bona dan beberapa warga baru saja menyelesaikan pemakaman Darco. Namun, di sampai malam tiba Berlyn masih belum kembali pulang. "Astaga, di saat pemakaman ayahnya saja dia tak ada. Anak ini ke mana?" "Bona!" "Panjang umur anak itu!" ucap Bona saat melihat Berlyn datang dengan lelehan air mata yang mengucur di mana-mana. Lagi dan lagi, Bona melihat sahabatnya itu pulang tak memakai alas kaki. "Berlyn apa yang terjadi? Kau kenapa? Siapa yang melakukan ini?" Bona melihat banyak tanda merah di sebagian tubuh Berlyn. Kondisi bajunya pun robek. Sungguh Berlyn terlihat sangat urak-urakan. "Aku jijik Bona, aku jijik dengan diriku sendiri!" Berlyn menangis terisak. Melihat sahabatnya itu menangis, Bona langsung memeluk. Sehingga isak tangis Berlyn semakin kuat. "Sudah kukatakan, jangan menemuinya sekalipun kau merasa begitu membencinya. Tindakanmu itu seperti kancil yang menyerahkan diri pada buaya. Jika sudah seperti ini kita bisa apa? Lagipula percuma, Darte adalah pria yang berkuasa, sementara kau? Bahkan sekalipun kau laki-laki pun, kau akan tetap kalah!" "Aku akan membenci pria itu selama-lamanya!" Kesal Berlyn merutuki apa yang dilakukan Darte pada hidupnya. "Sudah, sudah, sebaiknya kita memang harus pergi dari sini, Berlyn. Ayo ke rumah nenekmu, aku rasa tempat itu jauh lebih aman untuk kita!" *** Berlyn dengan Bona pun akhirnya meninggalkan kota. Mereka lebih memilih menjauh demi menghindari cecaran Darte yang mungkin masih memiliki dendam. "Ayah, aku akan selalu mengunjungimu. Raga dan jiwamu tetap bersama. Tenanglah di sana. Maafkan aku, kau selalu menjadi yang terbaik!" Ya, karena kemarin tak sempat ikut pemakaman, Berlyn menyempatkan diri untuk datang ke pemakaman sang ayah. Berat hati, sebab kota itu akan menjadi kenangan manis antara hidupnya yang sedari kecil sudah dekat dengan Darco. "Sudahlah, ayo kita pergi! Aku takut keberadaanmu masih dicari-cari oleh mereka." Penuh air mata, mereka melangkah dengan gontai meninggalkan area pemakaman. Berharap keputusan yang mereka ambil akan menjauhkan hidup mereka dari Darte. *** "Berlyn, astaga rumah nenekmu sangat sejuk. Ah, dia pandai bercocok tanam!" Berlyn berjalan menghiraukan Bona yang terpukau dengan halaman indah milik seorang nenek tua di sini. Lelah. Ya tentu saja, bahkan bermigrasi ke kota ini memerlukan dua hari perjalanan. Walau begitu, rasa capeknya terbayar saat melihat wajah sang nenek. "Nenek!" Wanita tua itu tampak kebingungan, terkejut karena didatangi seseorang. "Siapa ya?" "Nenek aku Berlyna cucu Nenek. Anak mama Lila!" Wajar, sang nenek Berlyn terakhir melihatnya di kala usia dia 11 tahun, sementara kini dia datang dengan versi dewasa. "Oh astaga cucuku, Berlyn!" Berlyn langsung berhambur jatuh ke pelukan hangat sang nenek yang sedari dulu sangat ia rindukan. Kini dirinya seperti merasakan kembali hangatnya dekapan sang mama. "Kau tumbuh sangat baik dan cantik!" "Ya, Nenek aku merindukanmu!" "Siapa dia?" tanya wanita bernama Warsih. Dia menatap sosok anak yang lebih tinggi dari cucunya, tampak kikuk sendirian. "Ah, itu aku menemukannya di antara para tunawisma di jalan tadi, Nek!" Bona menempeleng sahabatnya itu. Kemudian dia menyalimi tangan Warsih. "Kenalkan aku Bona, Nek. Sahabat Berlyn!" "Apa boleh dia ikut tinggal bersama kita?" pinta Berlyn. Itu sangat disetujui oleh sang nenek yang sudah tersenyum lebar membalasnya. "Tentu saja boleh, kau bisa tinggal di sini. Aku akan memasak banyak-banyak sekarang!" *** "Chan bawa dia padaku!" Asisten bermata sipit itu menunduk, merasa enggan memberi kabar yang pasti akan membuat sang tuan murka. "Satu hari setelah kematian ayahnya, kami mendapat kabar dari warga sekitar jika nona Berlyn ternyata meninggalkan kota. Sampai saat ini, saya belum bisa mendeteksi lokasi yang mereka tuju." "Sialan dia kabur!" "Maafkan kami, Tuan!" "Cari dia sampai ketemu!" "Baik!" "Ke mana pun dia pergi, dia akan tetap menjadi milikku!" Batinnya, yang tidak rela melepas melepas Berlyn dari hidupnya. *** Warsih baru saja mendengar cerita dari Berlyn dia merasa tidak tega melihat air mata yang tak kunjung hilang dari wajah cucunya. "Relakan ayahmu Nak, agar dia tenang. Kau masih punya Nenek, kau akan tetap menjadi cucuku. Tinggallah sampai akhir hayatku di sini selamanua, aku akan merasa senang karena ada yang menemani!" "Terima kasih, Nek!" Warsih menatap Bona, lalu ia berkata, "Kau pun akan aku anggap sebagai cucuku. Aku tidak akan membedakan kalian!" Mereka sama-sama merengkuh tubuh wanita tua itu. Warsih pun tak merasa kesepian lagi. Semenjak putri tunggalnya menikah dengan ayah Berlyn, dia memang sudah hidup sendiri, sementara sang suami sudah tiada di kala dirinya tengah mengandung. "Bahkan aku akan mencarikan kalian jodoh masing-masing di sini! Ah, banyak sekali anak buahku yang masih bujang!" "Nek, apa mereka tampan-tampan?" "Tentu saja, mereka tampan." Namun, tidak ada sahutan dari Berlyn. Bicara mengenai laki-laki, entah kenapa wanita itu merasa sangat trauma. Bagaimana tidak, ia tidak bisa melupakan begitu saja apa yang dilakukan Darte padanya. Pria itu telah menodai dan merenggut kehormatan yang selama ini ia jaga. *** Dua hari mereka menempati kediaman Warsih. Ternyata tempat itu jauh lebih damai dari rumah yang mereka tempati dulu. "Nek, apa usahamu ini sudah berdiri sejak lama?" "Nenekku hanya berkebun, kau bertanya seperti pengunjung resto!" "Astaga aku hanya bertanya. Ah, apa kau takut kasih sayang nenek akan teralihkan sepenuhnya padaku? Haha, aku akan jadi penguasa, Berlyn. Kau akan kuhempaskan!" "Jangan berbicara dekat-dekat, mulutmu bau naga!" Bona merengek pada Warsih. "Nenek lihat cucumu, sepertinya dia tak menginginkan kehadiranku!" Melihat hal itu, Warsih pun tertawa kecil sebelum menjawab, "Usaha bungaku ini sudah lama, sejak kematian suamiku. Bertahun-tahun aku tinggal sendiri, dan dari usaha ini pencaharianku untuk makan sehari-hari!" "Keren Nek, ini akan menjadi usaha besar!" "Ya, aku akan wariskan nanti untukmu dan juga Berlyn, jika aku sudah tiada!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD