4 years later.
"Jangan menatapku seperti itu Mami, aku bukan pisang!" Berlyn melongo melihat wajah anaknya seperti badut sirkus.
"Secara tidak langsung kau mengatakan mamimu itu monyet, Bella!" sahut Bona yang sedari tadi sudah tertawa lepas saat melihat wajah keponakannya itu.
"Kau seperti ditampar maling!"
Ya, bayi bermata biru yang dulu selalu ditimang-timang, sekarang dia sudah pandai berdandan.
Bella Ashoka. Padahal nama itu kurang disetujui, tapi karena banyak yang mengatakan jika itu adalah nama baik dan cantik, Berlyn akhirnya mulai terbiasa dengan sebutan Bella untuk putrinya.
Sebenarnya Bona hanya menyesuaikan abjad huruf nama depan mereka saja. Ya, 3B. Berlyn, Bona dan Bella.
"Mau ke mana?"
"Dia pasti mau memanjat pohon yang ada di belakang TK!" sahut Bona.
"Bibi kau sudah berjanji untuk tidak mengatakannya pada Mami!" Bocah itu mengomel dengan pipi bulatnya yang bergoyang-goyang.
Entah ini suatu kelebihan atau memang keturunan. Berlyn menyadari anaknya itu sangat pandai berbicara, bahkan di antara teman-temannya yang belum bisa menyebut 'R' dia sudah sangat fasih. Selain pintar publik speaking di hadapan siapapun, Bella juga berpikir layaknya orang dewasa. Tutur katanya pun sangat formal.
Kurangnya, dia memiliki suara yang nyaring. Terkadang mendiami Bella nangis, butuh stok makanan banyak agar tidak menciptakan kebisingan di rumah.
"Kau tidak menyadari kondisi badanmu hah? Jika kau terjatuh kau bisa jadi adonan!"
"Tidak usah berkomentar, aku akan pergi membantu nenek di kebun. Kalian bermalas-malaslah, beban!"
Setelah mengucapkan itu, Bella pergi bersama wajahnya yang merah matang seperti tomat. Dia berjalan layaknya bebek menggiring anak, meninggalkan mereka yang terheran dengan tingkah lakunya.
"Anakmu terlalu cepat dewasa. Apa saat hamil dulu kau tak sengaja menelan jam?" kata Bona menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Didikanmu!"
***
Sementara di tempat lain.
Para pelayan di Mension, berbondong-bondong menyambut nyonya besar yang akan hadir beberapa saat lagi.
Nyonya Gudara ini katanya akan berkunjung untuk melihat sang putra tunggal yang membujang sampai lapuk.
Ya, dia telah tiba.
"Selamat datang Nyonya!" ucap mereka beramai-ramai.
"Nyonya besar, selamat datang!" Ucapan kali ini berbeda orang. Dia Chan.
"Ya, terima kasih. Di mana anakku?"
"Tuan sedang ada di kamarnya Nyonya, biar saya panggilkan!"
Chan menaiki lift untuk menuju lantai paling atas, yang di mana itu letak kamar Darte. Sementara, wanita paruh baya yang masih terlihat segar ini tampak memperhatikan pernak-pernik di ruangan.
"Rumah diperbanyak, tapi pacar satu pun tak ada!"
"Mama!"
"Mana cucuku, son?"
Darte mengecup kening sang mama. Baru saja ia selesai membersihkan diri, tapi wanita ini datang meminta anak dengan sangat ringan. "Kau meminta cucu seperti meminta permen, Mama!"
"Kapan kau menikah? Anak tetangga mama sudah memerkan cucu-cucunya. Aku hanya memiliki anak kau saja, tapi kau tidak bisa kuandalkan!"
"Nanti!"
"Kapan? Sampai aku menikah lagi?"
Ini yang selalu dirutuki oleh Darte. Tiap kali sang mama ingin berkunjung, ia sudah pasti menebalkan telinga dari jauh-jauh hari.
"Pinta saja yang lain, apapun akanku turuti. Tapi tidak yang satu itu!"
"Baiklah, datangi kota X. Belikan aku bunga di sana, jika perlu kebunnya sekali pun!"
***
"MAMI!!"
Bella sedang berusaha melepaskan ranting pohon yang menarik celananya dari belakang. Lihatlah, belahan b****g itu bahkan terekspos akibat kecerobohannya.
"Aku akan mati, aku tidak ingin mati, aakhhh bagaimana ini. Tertusuk!!" Anak itu kembali berteriak dengan menutup matanya.
"Ceroboh!"
Rutuk seseorang, tatkala Bella merasa dirinya melayang ke atas. Ternyata saat membuka mata, ia sudah berada di dalam rengkuhan manusia.
"Kau hanya tersangkut, tapi seperti ingin ditabrak!"
"Terima kasih. Apa kau malaikat?"
Tatapan Bella sangat polos. Namun wajah yang berhadapan lekat dengannya ini tak berekspresi sama sekali, sampai dia berucap, "Mukamu rata, seperti dad*ku!"
Tangan kekar itu mencuil pelan mulut kecil Bella, sampai anak itu diam, benar-benar diam setelahnya. "Mulutmu kecil, tapi suaramu seperti petasan korek!"
Bella lagi-lagi menatapnya dengan polos, bahkan berdurasi lama. Sampai Darte mulai risih dengan anak kecil yang baru saja ia tolong itu.
Namun sekilas menatap, ia menjadi keterusan. Apa dia salah tingkah? Tidak, dia hanya merasakan, kalau, "Mata kita sama!" Ya, itu ucapnya secara spontan.
"BELLA!!!"
"Eyang!!"
Pria itu menurunkan Bella yang sudah sangat gencar berlari menghampiri Warsih.
"Apa kau membuat ulah?"
"Tidak, aku hanya tersangkut!"
"Jika mamimu tahu, kau akan dipasung dua hari!"
Pandangan Warsih beralih menatap pria tinggi dan beberapa orang di belakangnya. "Kau yang membantu cicitku ya? Terima kasih, Tuan!"
"Ya, aku tak sengaja melintas."
"Orang asing? Apa tujuan Anda Tuan?" tanya Warsih.
"Mencari pemilik kebun bunga mawar hitam di daerah sini. Aku tidak mengetahui namanya, tapi ibuku memerintahkan untuk datang ke kota ini!"
"Apa kau petinggi dari keluarga Gudara? Kebetulan, aku sendiri yang kau cari!"
Darte mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, Warsih dengan senyum menerima uluran itu. Sementara Chan sudah ancang-ancang mengeluarkan sapu tangan untuk tuannya.
Tentu saja dia tepis. Merasa geram dengan reaksi asistennya itu. "Lihat kondisi, dia target kita!" bisiknya di telinga. Chan dengan menunduk memundurkan diri.
"Ah, ya Nyonya aku ingin menawarkan sesuatu padamu!" Seketika ia tersenyum full.
"Apa itu Tuan?"
"Dua apartemen dan tiga mobil, serta lima cabang toko bunga untuk mahar kebunmu!"
"Apa itu maksud dari Anda yang ingin membeli kebun saya?" Darte mengangguk berwibawa.
"Anda manusia yang kesekian kalinya dari orang-orang yang menawarkan aset besar semacam itu. Perlu saya tegaskan, sampai kapanpun saya tidak akan menjual kebun saya. Jika ingin mengekspor bunganya saja, dengan senang hati saya mau bekerjasama!"
"Apa itu kurang?"
Warsih tersenyum menggeleng. "Saya permisi!"
Setelah Warsih pergi menuntun Bella. Darte menatap mereka, terutama dengan bocah kecil yang asik menggaruk bokongnya itu. Ah, sepertinya anak kecil itu masih merasakan sakit akibat kejadian tadi.
"Besok kita akan ke sini lagi!" utus Darte, dengan helaan napas.
***
"Bisa kau diam sehari saja di rumah?"
Berlyn mengomel kepada anaknya, di kala sang nenek membawa pulang dia dalam kondisi besut di bagian belakang.
Kini dia tengah tengkurap di atas pangkuan Bona yang sibuk mengolesi salep. "Mami jika kau tidak bisa mengobati, setidaknya jangan berisik. Suaramu seperti petasan korek!"
"Astaga kosakata darimana lagi itu?"
"Paman datar!"
"Siapa dia?" tanya Bona.
"Paman yang tak memiliki ekspresi, datar seperti dad*mu Bibi!"
Bona menepuk pant*t bulat anak itu, sembari ia layangkan tatapan tajam ke arah Berlyn yang tengah menahan-nahan tawanya.
"Apa perbedaan kalian? Ya benar, kalian tidak ada bedanya!" cemoohnya kesal.
Uhuk!!
Uhuk!
"Nenek!!"
Berlyn beranjak menghampiri Warsih. Wanita tua itu tak henti-henti batuk, bahkan di saat malam pun terkadang.
"Kita periksa ya?"
"Tidak perlu, Nak. Aku baik-baik saja!"
"Tapi aku melihat darah di tanganmu. Nenek kau sakit!"