Sample 3

1366 Words
Semalam Ibu memilih pergi--padahal semenjak sampai di Kediri--ia selalu tidur bersamaku. Karena apa lagi kalau bukan akibat tawarannya yang terlalu mengejutkan? Ibu memberiku waktu sendiri, untuk berpikir, untuk menenangkan diri. Ibu pergi beberapa saat setelah aku memutuskan untuk diam, dan tak mau menatapnya sama sekali. Mungkin Ibu tidur di kamar tamu, karena Ayah dan Tahta tidur di depan televisi. Bicara tentang Tahta, sakit hatiku kembali terasa. Tahta ... ia hanya lebih muda dariku beberapa bulan. Kami seumuran, tapi ia memanggilku Teteh karena ia adalah adik iparku. Adik ipar yang sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Mana mungkin aku menikah dengannya? Lagipula bagaimana Ibu dan Ayah sudah membuat keputusan untuk menikahkan Tahta denganku? Bagaimana dengan Tahta? Apa ia bahkan sudi menikah janda kakaknya sendiri? Tahta adalah lelaki yang terbilang sukses. Fisiknya mirip dengan Mas Hasbi, meski ia lebih mungil. Tapi tetap saja ia jauh lebih tinggi dariku. Tahta bisa saja mendapatkan istri yang amat sangat lebih baik dariku. Kasarannya, ia tak akan sudi menikah denganku. Tak pantas. Mendengar rencana pernikahan itu saja, hatiku sudah sakit tak keruan. Tak terbayang rasanya, saat kelak Tahta mengungkapkan isi hatinya tentang perjodohan itu. Saat ia ... menolakku. Tidak ... tidak .... Aku akan melupakan tentang perjodohan itu. Sudah kubilang, bukan? Aku tidak akan menikah lagi. Pukul setengah empat pagi sekarang. Belum terlambat untuk sholat tahajud. Kontraksi semalam sudah berhenti sama sekali rupanya. Aku tidak panik. Karena semenjak usia kandunganku menginjak 9 bulan dulu, aku sering mengalami kontraksi palsu. Apalagi sejak Mas Hasbi dipanggil. Tiap kali aku memikirkannya, Haidar selalu bereaksi. Perlahan aku bangkit dari pembaringan, berpegangan pada sisi ranjang saat akan berdiri. Pinggangku sakit sekali. Sesampai di kamar mandi, kulihat ada flek berwarna kecokelatan di celana dalamku. Kalau flek ini, aku baru pertama mengalaminya. Ada rasa was-was. Namun aku tetap tenang. Kata Dokter Radika, semakin mendekati persalinan, hal seperti ini akan sering terjadi. Tanpa sadar aku tersenyum. Berarti semakin dekat pula pertemuan pertamaku dengan Haidar. "Sayang," kataku sembari mengelus perut. Belum apa-apa aku sudah kembali menangis. "Bunda nggak perlu jelasin lagi, kan? Kamu pasti juga sudah tahu. Karena selama ini kamu lah yang selalu ada, selalu menemani Bunda menghadapi berbagai hal. Kita merawat Ayah bersama-sama tanpa kenal lelah dan kata menyerah. Dan kita sama-sama hancur saat Ayah akhirnya berpulang. "Tapi kita harus ikhlas, ya, Nak. Kita harus ikhlas agar Ayah tenang di sana. Setelah ini, kita akan hidup berdua saja. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa Bunda andalkan. Bunda minta ... Kamu harus jadi anak yang sehat dan kuat. Kamu harus panjang umur. Bunda ... Bunda benar-benar tidak siap kehilangan lagi. Bunda tidak mau. Kamu sebisa mungkin ... nggak boleh ninggalin Bunda duluan." ~~~~~IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~ Pukul lima pagi, akhirnya aku keluar kamar. Rasa kesalku masih ada, namun telah banyak berkurang. Kulihat Ibu sudah siap di dapur. Ia sedang mencuci piring dan juga perkakas yang semalam tertinggal, lupa tidak dicuci oleh orang-orang yang membantu kami melaksanakan acara 40 harian Mas Hasbi. "Dara!" sapa Ibu. Ia terlihat lega karena kedatanganku. Aku memaksakan sebuah senyuman. Lalu mulai membantunya. Ibu yang mencuci dan membilas. Aku yang meletakkan piring dan perkakas pada tempat masing-masing. "Kamu pengin makan apa hari ini?" tanya Ibu. Aku bahkan tidak kepikiran ataupun bernafsu makan apa pun hari ini. "Terserah Ibu aja." "Hmh ... apa, ya?" Ibu terlihat berpikir. "Ah, Ibu tahu. Kamu pasti bakalan suka. Ntar kamu nggak usah bantuin Ibu masak. Percayakan semua sama Ibu. Kamu tinggal duduk manis, nunggu sambil nonton televisi." Sikap Ibu mengingatkanku pada masa lalu kami. Dulu saat Mas Hasbi pertama kali membawaku pulang untuk bertemu dengan orangtuanya, Ibu sempat sinis padaku. Apalagi setelah tahu bahwa aku tidak punya keluarga. Tapi semua berbeda setelah aku dan Mas Hasbi menikah beberapa bulan. Aku berhasil mencuri hati Ibu dengan semur jengkol, makanan favorit Ibu. Aku tahu informasi itu dari Mas Hasbi. Kata Ibu, semur jengkol buatanku terlalu enak. Bahkan seumur hidup ia belum pernah membuat semur jengkol seenak buatanku. Yah, itu singkat cerita hubungan cintaku dengan Ibu. Bisa kutebak, Ibu nanti pasti akan memasak makanan favoritku, pepes ikan pindang. Ibu sedang mencoba trik-ku memenangkan hatinya dulu. Agar rasa dongkol yang masih tersisa di hatiku hilang sama sekali. "Ibu belanja dulu ke sebelah, ya, Dar!" Ibu mengelap tangan menggunakan serbet yang kugantung di atas warafel. "Iya, Bu," jawabku singkat sembari lanjut menata piring-piring yang sudah dicuci Ibu. Kudengar suara langkah kaki. Aku menoleh. Ternyata Tahta. Sepertinya ia baru saja mandi. Ia hanya mengangguk sedikit dan tersenyum untuk menyapaku. Kemudian lanjut menuju ruang tamu. Empat buah piring terakhir aku tumpuk menjadi satu, hendak aku tata di rak bersama yang lain. Tapi perutku kembali terasa sangat sakit seperti semalam. Kontraksi palsu lagi. Aku hendak meletakkan kembali piring yang kubawa di wastafel. Aku ingin mengatur napas sebentar sampai kontraksi berhenti. Sayang, rupanya aku terlalu kesakitan, sampai konsentrasiku pecah. Piring-piring itu sudah terlepas dari tanganku sebelum sampai di wastafel. Akibatnya, semua terjatuh ke lantai. Menciptakan suara gaduh yang sangat keras. Terlebih ini masih pagi. Untungnya pecahan piring tidak terlempar dan mengenai kakiku. Perutku mengencang hebat. Sangat sakit. Aku tak peduli sama sekali dengan pecahan beling yang tercecer di lantai. Kedua tanganku memegangi pinggiran wastafel. Berusaha tetap bisa berdiri tegak. Kalau aku jatuh, pasti beling-beling itu akan melukaiku. Bahkan bisa juga melukai Haidar jika aku ceroboh. "Teh, Teteh kenapa?" Suara Tahta dengan siratan nada khawatir. Ia segera memegangi lenganku, bermaksud membantuku berdiri agar tidak jatuh. Aku masih sibuk mengatur napas. Kulihat raut Tahta yang panik. "Nggak apa-apa, Dek. Tenang aja. Udah biasa kayak gini." "Tapi, Teh- ...." Aku menyela ucapannya. "Nggak apa-apa, Dek. Beneran." "Dara, duduk dulu sebentar!" Entah sejak kapan Ayah datang. Beliau turut memegangi lenganku. Tahta sebelah kiri, dan Ayah sebelah kanan. Ya Allah, kenapa sakit sekali? Kenapa berbeda dengan biasanya? Aku mengatur napas pun seakan tak ada gunanya. Sakit itu masih terasa, menyerang seputar perut, pinggang, dan panggulku. Aku hanya pasrah saat Ayah dan Tahta memapahku menuju ke ruang keluarga. Kedua mataku membulat merasakan sensasi aneh di antara kedua kakiku. Ada yang mengalir di sana. Itu bukan ...? "Dara, kita ke rumah sakit sekarang!" seru Ayah setelah melihat aliran deras yang mengucur di antara kedua kaki, membasahi gamisku. "Ketuban kamu udah pecah." "Yah, Ayah pegangin Teteh, ya! Aku mau nyiapin mobil." Kadar kepanikan Tahta meningkat drastis. "Iya, iya. Ibu tadi ke mana, sih, Ta?" Saking paniknya Tahta sampai tak mendengar pertanyaan Ayah. Ia langsung melenggang begitu saja. "Ibu tadi belanja, Yah." Aku yang menjawab. "Yaudah, yaudah." Ayah berusaha meredam kepanikannya sendiri. Ia lalu mengantarkanku duduk di sofa ruang keluarga. "Sabar dulu, ya, Dara. Tunggu di sini! Kamu taruh di mana tasnya?" "Di kamar, Yah. Di dalam lemari kayu, di sebelah bupet," jawabku di sela napas yang terengah. "Maaf repotin Ayah, ya!" "Nggak apa-apa. Kamu jangan mikir aneh-aneh dulu!" Ayah bergegas menuju ke kamarku untuk mengambil tas. Tas itu berisi keperluan yang telah kusiapkan jika aku hendak melahirkan sewaktu-waktu. Ibu berjalan tergopoh-gopoh dari arah luar, membawa satu tas belanjaan yang pastinya tak akan jadi dimasak hari ini. Ibu pasti sudah tahu dari Tahta--mengingat Tahta sekarang ada di depan sana--bahwa aku akan melahirkan. Ibu meletakkan belanjaannya begitu saja, lalu duduk di sebelahku. Ia segera merangkulku. Menyalurkan kekuatan untuk memberi dukungan moril. Aku menengok tas belanja Ibu. Benar, kan, dugaanku? Ada ikan pindang di sana. Ibu benar-benar mengadaptasi caraku meluluhkan hatinya dulu. Aku tidak marah. Justru hatiku menghangat. Di sela rasa sakit, bibirku justru mengulum senyum. Semalam rasanya aku ditendang dari keluarga ini dengan diminta menikah lagi. Lalu aku merasa akan dinikahkan dengan adikku sendiri. Kemudian aku merasa hanya memiliki Haidar di dunia ini. Sekarang? Aku tahu benar bahwa keluargaku masih di sini. Aku bukan seseorang yang sebatangkara. Aku adalah wanita yang memiliki keluarga. "Ibu, mobilnya udah siap." Tahta muncul dari balik pintu depan. Ayah berlari dari dalam kamarku menuju ke depan untuk memasukkan tasku dalam mobil. "Kamu bopong Teteh ke dalem mobil, ya, Ta!" pinta Ibu. "Bu, nggak usah. Aku bisa jalan sendiri!" tolakku. Sementara Tahta tak kelihatan keberatan sama sekali. Ia sedang berjalan menuju ke mari. "Tapi ...." Aku belum selesai bicara, namun Tahta sudah mengangkat tubuhku. Kontraksiku baru menyerang lagi. Tanpa sadar tubuhku menggeliat mengikuti rasa sakit. Aku yakin, beban yang dirasakan Tahta--sebab membopongku--seketika bertambah. Tapi ia tak bereaksi. Rautnya tetap tenang--seakan berat badanku yang naik 10 kilo, ditambah pergerakkan tak sadarku bukanlah apa-apa baginya--meski siratan panik karena berhadapan dengan seseorang yang akan bersalin masih tersisa. Kala aku menatap raut Tahta .... Ya Allah, hamba benar-benar cengeng, bukan? Maaf tangis ini kembali pecah dengan terlampau mudah. Tahta sangat mirip dengan Mas Hasbi. Hamba benar-benar merindukannya. Amat sangat merindukannya. Seandainya Mas Hasbi masih ada, pasti ia lah yang saat ini mendampingi hamba. Seandainya saja. ~~~~~IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~ --tbc--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD