Aku meringis merasakan dinginnya gel yang dioleskan ke perut oleh Dokter Radika. Sebenarnya tadi aku sudah diperiksa, dan dipastikan aku memang sedang hamil. Tapi aku dan Mas Hasbi sama - sama masih ragu. Pasti karena lamanya penantian kami.
Makanya Dokter Radika menyarankan untuk dilakukan USG. Supaya kami bisa melihat calon bayi kami.
Geli rasanya saat alat ultrasound itu digerakkan di perut bagian bawah, mencari di mana gerangan ia berada. Hingga Dokter Radika berhenti.
"Itu dia!" celetuknya.
Kami sama - sama menatap titik hitam kecil yang menempel pada sudut kandunganku dalam layar. Teramat sangat kecil. Namun mampu membuat hatiku begitu terenyuh. Entah lah, air mataku lolos begitu saja.
Mas Hasbi yang duduk di atas kursi rodanya, di sebelah brankar tempatku berbaring, segera menggenggam jemariku. Rasanya nyaman dan hangat. Hanya berupa sentuhan kecil, namun mampu membuat hatiku merasa jauh lebih tenang. Aku tersenyum padanya.
"Kamu segera jadi Ayah, Mas!" ucapku kemudian.
"Kamu segera jadi Ibu, Sayang!" jawabnya.
Dokter Radika hanya tersenyum menatap kami. Pasti ada banyak sekali pasangan sebelum kami yang mengungkapkan bahagia jauh lebih ekspresif dari kami. Makanya dokter muda itu hanya tersenyum maklum seperti sekarang.
~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Mas Hasbi ngeyel ingin menjalankan kursi rodanya sendiri. Melarangku untuk mendorong untuknya. Tapi jelas aku melarangnya, lah. Untuk bicara saja ia kesulitan, sudah ngos - ngosan tak keruan. Bagaimana mau memutar roda kursinya.
"Nanti kamu capek, Sayang!" Ia masih bersikeras.
"Nggak, Mas. Jangan lebay, deh!" omelku.
"Ya Allah, suaminya perhatian kok dibilang lebay."
"Emang lebay, sih."
"Ntar kalo aku cuek kamunya sedih."
"Nggak!"
"Kok nggak?"
Aku terkikik menatap wajah terluka suamiku. Melas sekali. "Haha, jangan cembeyut gitu dong, Mas!" Aku mencubit kedua pipi tirusnya. "Aku tadi jawab nggak, karena aku yakin bahwa Mas Hasbi nggak akan pernah alias nggak mungkin nyuekin aku. Udah, jangan sedih lagi!"
Kulihat ia tersenyum. Tapi berusaha menutupinya. Berpura - pura masih sangat terluka. "Gombal!"
"Nggak apa - apa. Gombalin suami sendiri, mah, pahala berlipat!"
Ia tersenyum lagi, kali ini lebih sulit untuk ditahan sepertinya. "Udah, stop gombal! Nanti Haidar jadi tukang gombal kamu nyesel!"
"Haidar?" bingungku.
"Anak kita lah!"
"Wah!" pekikku antusias. "Tapi Haidar nama cowok, lho! Yakin banget anak kita bakal cowok?"
Ia mengangguk. "Huum."
"Atas dasar apa?"
"Yakin aja!"
Aku mengernyit heran. Bisa - bisanya asal menebak! "Tapi kenapa kok namanya Haidar?"
"Pertama, karena Haidar artinya singa. Singa adalah simbol keberanian dan kekuasaan. Seorang raja. Karena dia adalah laki - laki, dia harus jadi sosok yang berani, dan mampu menjadi seorang pemimpin. Kedua ... Haidar adalah gabungan nama kita. Don't you realise it, Baby?"
Rentetan penjelasan tentang arti nama Haydar saja sudah cukup untuk membuatku tersenyum senang dan sangat terkesan. Dan baru saja ia bilang, bahwa nama itu adalah gabungan dari nama kami.
Haidar. HAsbI dan DARa. Benar. Itu adalah gabungan dari nama kami.
Tak kusangka. Ternyata suamiku begitu piawai merangkai sebuah nama yang indah sekaligus sangat berkesan pun memiliki arti yang sungguh luar biasa.
"Nyadar juga akhirnya," godanya.
"Hihi ... tapi, Mas. Kalo dedeknya cewek gimana, dong?"
"Ya tinggal ganti nama! Gitu aja kok repot!"
Aku mencubit lengannya tanpa keraguan sedikit pun. Ia memekik kesakitan. Salah sendiri jadi orang menyebalkan sekali.
~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Saat kami sampai di kamar, suasana menjadi tegang. Ada Dokter Hanan dan beberapa orang suster menunggu di dalam.
Apa jangan - jangan suster yang tadi membantuku menurunkan Mas Hasbi dari brankar ketahuan, lalu dimarahi. Aduh, rasanya sungguh tak enak pada si Suster. Dan sekarang Dokter Hanan sedang menunggu untuk menasihati kami.
Aku mendorong kursi roda perlahan memasuki kamar. Rasanya canggung, takut, dan tegang menjadi satu.
"Dari mana?" tanya Dokter Hanan setelah kami sampai di dalam.
"Ke Obgyn, Dok." Mas Hasbi yang menjawab.
Dokter Hanan menaikkan sebelah alis, tanda heran sekaligus bertanya secara tersirat untuk apa kami ke sana.
"Istri saya hamil, Dok," lanjut Mas Hasbi.
Aku yakin saat ini pipiku menyemu merah karena malu sekaligus senang.
Raut Dokter Hanan yang tadi terkesan datar, kini terlihat semringah. "Wah, selamat ya, Pak Hasbi dan Nyonya!"
"Makasih, Dok!" ucapku dan Mas Hasbi hampir bersamaan.
Aku menatap perawat satu per satu. Tak ada perawat yang tadi membantuku menurunkan Mas Hasbi dari brankar. Perasaan tak enakku tadi memudar. Sepertinya Dokter Hanan dan para suster berada di sini bukan untuk menyidang kami karena melanggar aturan pasien untuk bed rest. Melainkan ada hal lain. Tapi apa?
Perasaan tak enakku tadi memang telah hilang. Namun segera digantikan dengan perasaan tak enak lain. Pun demikian Mas Hasbi. Terlihat dari rautnya, ia merasakan hal yang sama denganku.
Apalagi sekarang Dokter Hanan kembali terlihat setegang saat kami pertama datang tadi.
"Ada yang harus kami sampaikan, Pak!" kata Dokter Hanan. Baik nada dan rautnya, terlihat sinkron, sama sama menyiratkan penyesalan mendalam.
"Apa itu, Dok?"
Pertanyaan Mas Hasbi terkesan restoris. Namun jika aku jadi dia, aku akan tetap menanyakan hal itu, meski kami sama - sama sudah mengetahui arah pembicaraannya.
Dokter Hanan menjawab. "Tentang ... hasil pemeriksaan waktu itu."
~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Pertama kalinya kami sholat berjamaah lagi setelah Mas Hasbi sakit. Kemarin - kemarin saat keadaannya masih parah, ia hanya bisa sholat dengan berbaring. Itu juga sewaktu - waktu karena kadang ia tertidur sangat lama, efek obat penghilang rasa sakit.
Per hari ini, alhamdulillah keadaannya sudah jauh lebih baik. Bahkan ia sudah bisa duduk dan turun dari ranjang sendiri tanpa harus dibantu. Meskipun belum bisa berdiri terlalu lama.
Aku senang karena ia kembali bisa menjadi imam sholatku. Ia duduk, dan aku berdiri di belakangnya sebagai makmum. Madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Al - Syafi'i, mengatakan bahwa sholat dengan Imam yang berdiri dan makmum tetap duduk, diperbolehkan. Karena Rasulullah pernah melakukannya juga saat beliau sakit.
Meski hatiku senang, namun air mataku beberapa kali menetes dalam sholat. Aku lagi - lagi cengeng. Ya Allah, maafkan hamba. Bukannya hamba tidak menerima ketentuan - Mu. Hamba hanya terlalu sedih hingga tak dapat menahan diri untuk menangis.
Saat kami berdoa seusai sholat, tangisku masih belum berhenti. Sampai aku tak lagi bisa menahan isakan. Suasana begitu hening. Aku yakin Mas Hasbi mendengar isakan itu. Namun ia tetap lanjut menyelesaikan doanya.
Baru saat ia selesai berdoa, ia menengok ke belakang. Aku mendekat untuk mencium tangannya. Ia menyentuh kepalaku kemudian.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng.
"Nggak apa - apa, deh. Sedih itu wajar. Asal jangan lama - lama, Sayang. Segala ujian, nggak akan selesai jika kita sedih terus. Katanya kita akan menghadapi ini semua sama - sama, kan?"
Bukannya diam, aku justru menangis semakin hebat. Mas Hasbi segera merengkuhku dalam pelukan. Ia memelukku erat, sangat lama. Sampai aku merasa jauh lebih baik. Bahkan sampai aku berhenti menangis.
Selalu seperti ini. Ia yang seharusnya bersedih dan rapuh atas apa yang menimpanya. Tapi justru ia yang sibuk menenangkanku karena menangisinya.
"Jadi langsung kasih tahu Ayah dan Ibu sekarang?"
"Boleh." Aku segera bangkit, mengambil handphone Mas Hasbi di atas nakas, lalu memberikan padanya.
Mas Hasbi tanpa ragu mendial nomor Ayah, mengaktifkan loud speaker. Nada tunggu tak pernah terdengar semenegangkan dan selama ini bagiku.
Ayah menjawab telepon dengan salam. Seperti biasa, Ayah selalu tenang pembawaannya.
"Waalaikumsalam," jawab Mas Hasbi. "Ayah, ada sesuatu yang aku sama Dara mau sampaikan. Ngomong-ngomong, Ibu ada di rumah, Yah?"
"Ngomong apa, Bi? Ada kok, ada. Ini handphone - nya Ayah kasih ke Ibu?"
"Nggak, Yah. Ayah aktifin aja loud speaker - nya. Kami mau ngomong sama Ayah, sama Ibu."
Ayah tak segera menjawab. Mungkin Ayah sudah menebak ada sesuatu yang tak beres. "Ya ... ya .... Ibu lagi nonton tivi. Ayah ke sana dulu." Beberapa saat kemudian, Ayah kembali bicara. "Ayah udah sama Ibu sekarang."
"Assalamualaikum, Hasbi, Dara." Suara Ibu.
"Waalaikumsalam," jawab kami.
"Sok atuh, katanya kalian mau ngomong sama Ibu, sama Ayah." Ibu lagi yang bicara.
Mas Hasbi menarik napas dalam. Aku menggenggam tangannya. Yah, seperti biasa. Suamiku selalu bersembunyi di balik topeng ketegaran, meski tak ada yang tahu, ada realita macam apa yang tersimpan dalam hatinya.
"Ayah sama Ibu mau denger cerita yang baik atau yang buruk dulu?" tanya Mas Hasbi kemudian.
"Berita apaan, sih, Bi?" Ibu yang bertanya seraya terkikik. Hanya berusaha mengingkari perasaan tak enak yang baru saja menyerangnya.
"Yang baik dulu aja, Bi!" Ayah kali ini.
Mas Hasbi lagi - lagi menarik napas. "Oke, yang baik dulu, ya!" Nada bicara Mas Hasbi dibuat setenang mungkin.
Meski aku tahu. Amat sangat tahu bahwa saat ini apa yang dirasakan Mas Hasbi jauh melampaui apa yang aku rasakan.
~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Masya Allah Tabarakallah.
Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.
Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.
Mereka adalah:
1. LUA Lounge [ Komplit ]
2. Behind That Face [ Komplit ]
3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]
4. The Gone Twin [ Komplit ]
5. My Sick Partner [ Komplit ]
6. Tokyo Banana [ Komplit ]
7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]
8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]
9. Asmara Samara [ Komplit ]
10. Murmuring [ On - Going ]
11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]
12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]
13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]
14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]
Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.
Cukup 1 kali aja ya pencetnya.
Terima kasih. Selamat membaca.
-- T B C --