Memoriam XV: Keputusan Tanpa Ridho

1283 Words
Kala kami mendengar dari Dara tentang sakitnya Aa, kami segera menuju ke Kediri secepat yang kami bisa. Biasanya saat hendak mengunjungi mereka, kami naik kereta api. Tapi demi efisiensi waktu, untuk pertama kalinya kami pergi melalui jalur udara. Asal kami bisa cepat sampai.        Kami segera menuju ke rumah sakit tempat Aa dirawat. Isak tangis tak dapat dihindari. Ibu tanpa ragu memeluk Dara erat. Ayah menangis. Aku juga.       Justru Aa yang terlihat paling kuat. Meski di saat yang bersamaan, kami tahu saat ini Aa - lah yang paling hancur.        Rasanya baru kemarin kami begitu bahagia dengan berita kehamilan Dara setelah kurang lebih dua tahun pernikahannya dengan Aa. Sosok jabang bayi yang sudah lama dinanti akhirnya hadir.        Namun sekarang, rasanya kami seperti dihempaskan dalam palung terdalam. Kami tak tahu bagaimana caranya kembali.        Kami ingin percaya bahwa sejatinya Aa baik - baik saja. Kami ingin menganggap bahwa Aa hanya sakit biasa. Dengan perawatan yang baik, ia akan segera sembuh. Tapi melihat Aa saat ini ... Kami tak mampu untuk sekadar berpikir optimis.         Aa yang dua bulan lalu kutemui -- beberapa saat setelah operasi tumor yang pertama -- masih lah Aa - ku yang gagah.         Aa yang dua bulan lalu kutemui masih lah Aa - ku yang kuat.         Aa yang dua bulan lalu kutemui masih lah Aa - ku yang dipenuhi energi dan semangat.        Aa - ku yang sekarang, ia telah kehilangan banyak berat badan.       Aa - ku yang sekarang, tampak lemah meski ia berusaha keras terlihat kuat.        Aa - ku yang sekarang, masih terlihat bersemangat namun energinya telah redup.         ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~          Sekitar enam bulan kemudian.          Kami lagi - lagi kembali ke Kediri karena kabar dari Dara tentang kondisi Aa yang terus menurun.        Karena kondisi finansial, Aa jarang dirawat di rumah sakit akhir - akhir ini. Jika sampai opname, berarti Aa memang berada dalam keadaan yang tidak baik.        Malam itu, Ayah, Ibu, dan Dara telah tertidur. Hanya aku dan Aa yang masih terjaga. Kami berkesempatan untuk bicara berdua saja.        "Ternyata meskipun kita udah sepakat, tapi Allah nggak meridhoi keputusan kita, Ta."        Jujur aku tidak paham dengan apa yang Aa katakan. Aku bahkan sempat mengira ia hanya meracau dalam tidur. Kutangkap kedua netranya telah menatapku. Baru aku yakin Aa benar - benar masih bangun.         "Maksud Aa apa?"        "Jangan pura - pura nggak ngerti, Ta."        "Pura - pura gimana? Aku emang nggak ngerti." Aku berusaha bersikap setenang mungkin. "Lebih baik sekarang Aa tidur. Aa butuh banyak istirahat, kan?" Aku pun berusaha mengalihkan pembicaraan.        Uhm ... Jujur aku belum mengerti dengan maksud Aa. Tapi perasaaku benar - benar tak enak. Aku merasa Aa akan membahas sesuatu yang tak ingin aku bahas. Sesuatu yang akan menyakiti kami.        "Biarin Aa ngomong, Ta. Kalau kamu nggak mau denger nggak apa - apa. Aa cuman pengin ngomong biar lega aja. Mumpung Dara tidur. Kalau dia bangun, Aa nggak mungkin bisa bilang ini."        "Terserah Aa aja. Aku capek, aku mau tidur." Kutelungkupkan kepalaku pada sisi ranjang Aa yang kosong dengan menggunakan kedua lenganku sebagai bantal. Aku sengaja menelungkupkan kepala ke arah yang berlawanan dengan Aa, supaya aku tak dapat menatapnya. Semoga ia tak lanjut mengatakan apa pun.       "Sejak awal hubungan Aa sama Dara udah banyak banget halangannya. Pertama, Ibu nggak setuju dengan pernikahan kami. Kedua, kami cukup lama nunggu datengnya momongan. Ketiga, ternyata ... hidup Aa nggak lama, Ta."       Aa tak segera melanjutkan kata - katanya. Aa pasti merasa sangat hancur. Tapi aku adiknya ini, sama sekali tak ada itikad untuk berbalik menatapnya. Sekali lagi, tujuanku adalah agar Aa berhenti bicara ngelantur.         Namun perkiraanku salah. Aa tak gentar. Aa melanjutkan apa pun yang ingin ia katakan.        "Dulu -- bahkan sampai beberapa hari yang lalu -- Aa berpikir itu semua adalah cobaan dalam rumah tangga kami. Cobaan yang harus kami hadapi dan lalui dengan besar hati. Tapi ... sekarang Aa sadar. Itu semua bukan cobaan. Namun ... peringatan."         Aku tak kuasa lagi membuang mukaku darinya. Aku bangkit, kembali dalam posisi duduk tegak. Aku menatap Aa dengan menahan emosi. "Maksud Aa apa? Istighfar, A. Ya, aku ngerti apa yang sedang Aa hadapi ini nggak mudah. Tapi nggak bisa jadi alasan Aa bisa berubah nggak jelas kayak gini!"        Aa menatap dalam mataku. Kedua netra itu terlihat nanar dan memerah. Aa sedang berusaha menahan tangisnya. "Itu semua adalah serangkaian peringatan ... dan hukuman."       "Aa bisa nggak, sih, nggak usah mikir yang aneh - aneh, A? Aa nggak boleh suudzon sama Allah. Dosa, A."n.       Kulihat air mata Aa telah lolos menuruni pelipisnya. Aa pun tak repot-repot menghapusnya, seakan ia tak peduli akan apa pun lagi. "Aa nggak suudzon sama Allah, Ta. Memang begitu kenyataannya. Allah memberi peringatan dan hukuman karena ... karena Aa udah nyakitin hati kamu. Aa udah bahagia di atas penderitaan kamu. Makanya Allah nggak ridho, Ta."          "Dari pada Aa bicara ngelantur kayak gitu, lebih baik Aa diem. Nggak baik, A. Oke, sekarang aku bisa ngerti karena kondisi fisik dan psikologis Aa sedang nggak bagus. Tapi jika sekali lagi Aa kayak gitu, aku bakal marah banget sama Aa."         Kini gantian Aa yang membuang muka dariku. Ia menoleh ke arah lain, enggan menatapku.        Ya Allah, tolong jangan biarkan Aa - ku seperti ini.        "Ini semua memang cobaan yang harus Aa dan Dara hadapi bersama. Bukan peringatan ataupun hukuman seperti yang Aa pikir. Aa dan Dara menikah karena takdir. Karena kalian memang sudah dinaskan untuk berjodoh. Nggak peduli ada yang tersakiti atau nggak. Seseorang itu -- aku -- pasti punya jodoh sendiri, A. Seperti yang aku bilang, perasaanku ke Dara akan hilang dengan sendirinya saat aku udah menemukan cinta yang baru."          Aa perlahan menatapku. "Sampai sekarang kamu belum menemukan cinta yang baru itu, Ta. Kenapa? Karena kamu masih sangat mencintai Dara." Ia memberi jeda. "Apa pernyataan Aa itu salah?"         "T - tapi ...." Aku tak tahu harus menjawab bagaimana lagi.        ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~          Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD