Pulang
Cucu yang Dibedakan
Part 1
*
Aku membuka kaca mobil saat memasuki perkampungan yang dulu pernah kutinggali. Menghirup udara segar yang begitu kurindukan, sangat berbeda dengan udara di kota Jakarta yang sesak dan penuh polusi bercampur dengan napas-napas para pembohong. Sesak sekali.
Mobil memasuki akses jalan rumah yang akan kutuju. Sekarang jalan perkampungan itu sudah diaspal, berbeda dengan dulu saat aku melewatinya setiap hari, jalannya masih berbatu. Sejak menikah beberapa tahun lalu, aku telah meninggalkan kampung halaman dan pindah ke Jakarta ikut suami. Banyak hal yang aku tinggalkan di kampung ini. Kenangan manis bersama ibu dan ayah. Kenangan pahit bersama saudara, juga nyinyiran untuk seorang gadis berusia lanjut yang saat itu belum menikah. Aku. Sekar.
Aku melirik ke kiri dan kanan, suasana kampung kelahiran masih terlihat sama. Hanya beberapa perbedaan yang tidak terlalu kentara. Persawahan yang sedang menghijau begitu indah, mungkin memberi perasaan was-was bagi semua petani. Tentang rintangan-rintangan sebelum panen, hama atau bahkan banjir seperti yang pernah terjadi. Mereka berlomba dengan hama dan tikus yang akan memenangkan hasil panen. Ah, mungkin saja saat ini berbeda. Kulihat di pinggir persawahan sudah ada parit perairan yang semakin mudah untuk petani mengaliri air. Pun, ini bukan sedang musim hujan.
Aku membelokkan mobil ke kanan, memasuki jalan kecil yang terlihat sudah dibeton. Setidaknya itu lebih baik daripada dulu. Jika semalam hujan, aku dan semua anak-anak harus melewati lumpur becek di jalan ini untuk sampai di sekolah.
Sedikit banyak ada perubahan di kampungku.
Mobil memasuki pekarangan rumah. Rumah nenek yang kutuju saat ini, salah satu hal dan kenangan berharga yang kutinggali beberapa waktu lalu. Aku memarkirkan mobil Honda Jazz warna putih milikku, mengunci pintu setelah keluar dari sana.
Beberapa orang tetangga melihatku dengan tatapan entah. Mungkin pangling karena sudah lama tidak bertemu. Aku tersenyum ramah pada beberapa ibu yang terlihat sedang mengangkat pakaian. Mereka bahkan memicingkan mata dari jarak agak jauh untuk memastikan yang barusan keluar dari mobil adalah aku. Sekar yang dulu hanya dikenal sebagai anak buruh tani tak tak memiliki banyak hal.
“Iya, ini Sekar, Bu.” Aku langsung meyakinkan mereka, agar tak terus menerus terlihat bingung.
Kulihat raut wajah mereka tampak terkejut. Aku hanya tersenyum ramah pada mereka. Mungkin di mata mereka, aku telah jauh berbeda dengan Sekar yang dulu.
“Wah, Sekar udah beda sekarang. Cantik. Cucuk Nek Jumi memang sukses semua.” Ibu yang tinggal di sebelah kiri rumah nenek berkata. Disambut anggukan dan senyuman dari beberapa ibu lain yang melihatku.
“Alhamdulillah. Mari, Bu. Sekar masuk dulu.” Aku pamit dari hadapan mereka. Bukan tak ingin berbasa-basi, tapi hatiku saat ini benar-benar sedang tertuju pada nenek.
Mereka mengangguk, membalas senyum ramah seperti yang kulakukan. Aku terus berjalan melewati rumput liar yang tampak memanjang. Sampah dedaunan juga terlihat banyak seperti tak pernah disapu. Tentu tak ada lagi yang bisa melakukan pekerjaan itu di rumah ini, mengingat halaman rumah pun cukup luas untuk dibersihkan.
Sejenak aku berdiri menghadap rumah yang sudah terlihat rapuh itu. Mengumpulkan setiap kenangan yang kusimpan dalam benak. Tanpa sadar raut wajahku kadang tersenyum, lalu perlahan bibirku kembali tertutup rapat digantikan dengan nelangsa atas ukiran kenangan pahit yang pernah kulalui.
Aku menatap pohon jambu di depan rumah nenek. Ada kenangan tersendiri tentangnya. Kenangan yang membuatku tersenyum miris.
“Assalamu’ailaikum.” Aku memberi salam. Dari dalam tak terdengar jawaban, lalu sayup aku mendengar ada seseorang menyahut dalam suara yang begitu lirih.
Itu suara nenek. Aku memberi salam untuk memberi tanda bahwa aku datang menjenguknya. Aku datang setelah sekian lama meredam amarah dalam hatiku.
Hari telah beranjak senja, aku membuka pintu yang tak dikunci itu. Suara berderit terdengar dari setiap engsel yang telah berkarat itu. Wajar, karena rumah kayu itu usianya sudah separuh hidup nenek.
Kembali aku mematung di depan pintu. Kulihat tubuh ringkih itu begitu menyedihkan. Tertidur meringkuk menghadapku. Meringkuk seperti bayi yang meminta kehangatan. Perlahan air mataku menetes membasahi pipi. Jika dulu aku bertanya satu pertanyaan yang bagiku amat menyakitkan, kini aku bertanya tentang keadilan untuk seseorang yang terbaring lemah di sana.
'Di mana anak-anaknya?’
Aku membuang perasaan sedih itu jauh-jauh. Khawatir jika nenek melihat aku menangis, ia akan ikut menangis dan menambah rasa sakit di tubuhnya. Ah, atau mungkin ia masih sama angkuh seperti dulu. Kuharap tidak.
Nenek mencoba mengangkat tangannya, melambai padaku seolah isyarat untuk segera masuk. Aku menurutinya, membaca aba-aba yang diberikan olehnya.
Aku benar-benar masuk ke dalam rumah. Kulihat suasana yang sangat berbeda di dalamnya. Dulu, saat aku bermain selalu akan disalahkan akan mengotori rumah, dan membuatnya berantakan. Katanya nenek lelah membereskan mainan kami padahal saat itu, aku hanya melihat sepupuku bermain. Hanya menonton mereka, karena aku tak pernah mendapat jatah bermain.
Entah itu main boneka, bongkar pasang, main masak-masak, aku tak pernah mendapat giliran bermain. Hanya saja aku selalu mendapat kemarahan dan suara tinggi dari nenek yang mengomeli. Ya, karena setelah sepupu puas bermain, mereka akan meninggalkan mainan itu, dan menjadi giliranku. Namun, belum pun aku menyentuhnya, aku harus mendengar makian nenek yang mengeluh lelah.
“Sekar ...,”
Kudengar nenek memanggilku, lalu suaranya tenggelam oleh suara batuk yang sedikit lama baru reda. Aku mendekat, karena melihat nenek memegang dadanya. Suasana yang benar-benar berbeda. Dari setiap sudut terlihat banyak debu yang menempel, belum lagi sarang laba-laba yang menggantung di sudut rumah juga genteng. Piring plastik berserakan di samping ranjang sang nenek. Yang paling membuatku mual saat ini adalah bau apek khas keringat orangtua. Tak hanya itu, kulihat di lantai semen itu dahak bercampur darah yang telah mengering. Tak hanya di satu tempat, tapi hampir di sekeliling ranjang tua itu.
Aku menahan semua gejolak dalam perutku. Bagaimana pun, aku datang ke sini untuk merawat nenek. Bukan ikut meninggalkannya seperti yang pamanku lakukan.
“Sekar ...,” panggilnya lagi setelah batuknya mereda.
Aku meletakkan semua kresek yang kubawa di atas meja yang penuh debu. Aku tak tahu sejak kapan rumah ini tidak dibersihkan. Sejak kapan nenek terbaring lemah seperti ini. Ah, cucu macam apa aku ini. Perasaan menyesal tiba-tiba menyusup dalam hatiku, tak terkira.
Aku terlalu mengikuti ego dan amarahku. Jika ibu dan ayah masih ada dan melihatku, mereka pasti kecewa padaku. Bahkan aku sendiri sedang kecewa pada diri sendiri.
‘Ibu harap tak akan ada rasa benci sedikit pun untuk nenekmu. Ibu enggak ridho kamu hidup dalam membenci.’
Ke mana telingaku saat ibu berpesan hari itu. Ke mana otakku hingga aku tak bisa berpikir akan kalimat itu.
“Iya, Nek. Sekar di sini.” Dalam linangan air mata, aku menggosok bagian dadanya. Sejenak berpaling demi melihat minyak apa yang mungkin biasa ia gunakan untuk menggosok.
Tak ada minyak kayu putih atau apa pun yang kutemukan. Semakin yakin bahwa selama ini nenek hanya berjuang sendirian dengan penyakitnya.
“Nek, maaf. Sekar terlambat. Maafkan Sekar, Nek.” Aku menggenggam tangan keriput itu. Tangan yang pernah mencubitku karena Kalila jatuh dari sepeda dan ia menangis. Padahal jatuh dengan sendirinya, tak ada sebabnya denganku.
Aku mengucap istighfar dalam hati, berharap agar setan dan pikiran buruk itu benar-benar terhalau pergi. Aku ingin pikiranku damai. Berdamai dengan masa laluku.
“Maaf.” Nenek seperti kualahan mengatur napas untuk bicara. Aku mendengar ia berusaha untuk mengutarakan kalimat itu. Mungkin sebuah penyesalan yang ia balut dalam kata maaf.
Mendengar itu, hatiku benar-benar terenyuh. Segala rasa negatif yang sempat bersarang di dalam hati, hilang rasanya. Berganti dengan rasa sayang dan simpati untuk seorang perempuan lemah dan renta.
Nenek kembali terbatuk. Aku mengurut dadanya. Reda sesaat. Kulihat ia memejamkan mata, kupikir nenek tertidur, nyatanya tidak.
“Kamu masih sama, Sekar.” Nenek mencoba meraih kepalaku. Aku menunduk, tiba-tiba mataku berkaca-kaca, lalu membasahi pipi. Untuk pertama kali ia membelai kepalaku begitu lembut.
*