Bab 12 - Apa Maksudnya?

1302 Words
Untuk jam istirahat, para staf memang bergantian agar operasional bank tetap berjalan. Sekarang giliran Zea yang istirahat karena staf yang istirahat kloter pertama sudah datang. Zea sudah keluar dari gerbang Forena untuk makan siang. Tentunya ia sudah tahu hendak makan siang di mana karena wanita itu sudah menandai sekaligus menghafalkan tempat-tempat di sekitar sini agar tidak kebingungan terutama saat jam istirahatnya sendirian begini. Namun, tiba-tiba ada yang memanggil namanya. “Zea!” Zea menoleh lalu mendapati Jati sedang menghampirinya. “Mau makan di mana?” “Di sana,” balas Zea sambil menunjuk tempat makan yang jaraknya cukup dekat. “Kamu sudah hafal, ya?” “Sedikit,” balas Zea. “Kalau begitu, apa kamu keberatan kalau saya bergabung untuk makan siang denganmu?” “Tentu nggak, Pak. Justru bagus karena aku jadi ada temannya.” Mereka lalu berjalan ke arah tempat makan yang Zea tunjuk tadi. Mereka masuk dan mendapati rumah makannya tidak terlalu ramai mengingat ini sudah lewat jam istirahat orang-orang pada umumnya. “Kamu pernah makan di sini?” tanya Jati saat dirinya dengan Zea sudah mengambil posisi duduk. Zea menggeleng. “Aku hanya melihat dari luar dan kelihatannya suasananya nyaman dan ternyata benar.” “Asal kamu tahu … kamu telah memilih tempat yang sangat tepat. Makanan di sini sangat lezat. Sejujurnya hampir setiap hari saya makan di sini,” jelas Jati. “Wah, kebetulan sekali.” Pesanan mereka tiba dan keduanya mulai menyantap makan siang masing-masing. “Gimana hari pertama kamu di Forena Senjaratu?” “Sangat luar biasa,” balas Zea. “Terutama para staf di sini kompak dan terlihat menyambut aku dengan baik. Satu pun nggak ada yang cuek atau kelihatan nggak senang dengan kehadiranku,” jelasnya kemudian. Sungguh, Zea berkata jujur. Ia sedikit pun tidak menemukan orang toxic, rese, bermuka dua … ah, pokoknya tidak ada yang berpotensi membuatnya tidak nyaman. Zea justru merasa kekeluargaan Forena Senjaratu ini sangat luar biasa. Lingkungan kerjanya pun sangat sehat. Setidaknya itu first impression Zea di sini. Memang terlalu cepat menilai mengingat Zea belum genap sehari berada di kantor, tapi satu hal yang pasti … Zea bisa membedakan mana ketulusan dan mana yang palsu. Zea yakin ketulusan para staf menyambutnya adalah asli. “Kedatanganmu jadi angin segar di sini, karena sudah lama kami meminta staf tambahan, tapi sulit dikabulkan oleh pusat karena hampir tidak ada yang mau berada di sini. Makanya secara pribadi, saya ingin berterima kasih padamu karena telah bersedia dimutasi ke sini.” Zea hanya tersenyum lalu kembali menyantap makan siangnya. “Adakah perbedaan yang mencolok antara di cabang ini dengan cabangmu sebelumnya?” tanya Jati kemudian. Pada dasarnya, pekerjaan yang Zea lakukan tidak jauh berbeda dengan di cabang sebelumnya. Zea melayani transaksi penerimaan atau p********n tunai kepada nasabah. Bedanya, di sini tidak se-sibuk di cabang sebelumnya. Di sini Zea merasa jauh lebih tenang dan bisa menikmati pekerjaannya. “Dari segi pekerjaan nggak berbeda jauh, sih … menghadapi karakter orang yang beda-beda serta keperluan mereka. Hanya saja, di sini nggak se-hectic di cabangku sebelumnya.” “Tentu, kamu bisa lebih santai di sini.” “Ya, itu perbedaan yang sangat mencolok bagi aku,” jawab Zea. “Para nasabah di Senjaratu juga sabar dan pengertian.” “Sebenarnya yang terkadang rese juga ada, tapi tidak banyak, kok. Sangat jarang.” Zea mengangguk-angguk paham. “Ngomong-ngomong, nanti sepulang kerja ada makan malam bersama. Anggap saja penyambutan untuk kamu.” “Ya ampun, kalian nggak harus repot-repot….” “Kami memang setidaknya sesekali mengadakan makan malam tim. Dan kebetulan nanti malam waktunya. Berhubung bertepatan dengan bergabungnya kamu bersama kami, jadi sekalian saja.” “Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak ya, Pak.” Tanpa sadar, piring mereka sudah sama-sama kosong. “Sebelum kembali ke kantor, ada satu lagi yang ingin saya katakan,” ucap Jati. Zea menatap Jati, menunggu atasannya itu melanjutkan pembicaraannya. “Bu Stevi nanyain kamu.” Zea tidak heran. Stevi pasti kesulitan menghubunginya, makanya tidak punya pilihan selain menghubungi Jati. “Maaf Pak, kalau boleh tahu … Bu Stevi bilang apa?” “Katanya, nomor kamu tidak bisa dihubungi. Saya lalu menjelaskan kalau itu karena tidak ada sinyal. Itu sebabnya kamu mengganti nomor. Iya, kan?” “Bapak ngasih tahu nomor baruku pada Bu Stevi?” “Sudah saya tawarkan, tapi Bu Stevi menolak. Beliau bilang, nanti cepat atau lambat kamu pasti menghubunginya lebih dulu.” Zea tersenyum. Stevi memang sangat pengertian. “Intinya Bu Stevi hanya ingin tahu kabarmu dan beliau merasa tenang saat mengetahui kamu baik-baik aja.” “Terima kasih ya, Pak. Memang benar aku nanti akan menghubunginya,” pungkas Zea. Meskipun Zea sendiri belum bisa memastikan kapan waktunya, tapi yang pasti cepat atau lambat ia akan menghubungi Stevi. *** Makan malam tim berlangsung dengan sangat menyenangkan. Momen seperti inilah yang membuat para staf menjadi semakin akrab, terutama bagi Zea yang benar-benar baru berada di lingkungan Senjaratu. Ia berharap ke depannya bukan sekadar hubungan kerja yang terjalin di antara mereka, melainkan juga hubungan persahabatan. Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam saat mereka selesai makan malam dan bersiap pulang ke tempat tinggal masing-masing. Ya, mereka langsung pulang dan tidak ada rencana karaoke atau semacamnya. “Zea, kamu pulang sama siapa?” tanya Citra, salah satu staf Forena. “Sendiri.” “Mau bareng?” tawar wanita itu kemudian. Ini adalah tawaran ke sekian karena hampir semua staf Forena menawarkan Zea agar pulang bersama. Namun, tidak ada satu pun yang Zea terima. Bukannya apa-apa, Zea masih ingin di sini dulu. “Sebelumnya makasih, tapi nggak usah. Aku mau sekalian menghafal wilayah sini.” “Memangnya kamu ingat jalan pulang?” “Kabar baiknya ingat. Kemarin aku sempat mampir ke restoran ini.” Ya, restoran ini adalah yang kemarin Zea datangi bersama Rubi sepulang dari pusat perbelanjaan. “Kalau begitu aku pulang duluan ya, Zea. Kalau tersesat atau ada apa-apa jangan sungkan telepon aku atau para staf yang lain. Kamu udah save nomor semuanya, kan?” Zea tersenyum. “Itu pasti. Lagian aku udah di-invite di obrolan grup juga, kan? Aku bisa bikin pengumuman di sana seandainya aku nyasar,” candanya kemudian. Citra terkekeh. “Sampai jumpa besok, ya.” Zea mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati nyetir motornya.” Setelah itu, Citra bergegas meninggalkan restoran bersama para staf lain yang naik motor masing-masing. Sementara Zea masih berada di depan restoran dan memutuskan untuk duduk dulu di kursi panjang tepat di beranda restoran. Mengingat Senjaratu itu katanya aman dengan tingkat kriminalitas yang rendah, tentu saja Zea tidak takut duduk sendirian sambil menikmati suasana malam di mana kendaraan yang didominasi motor berlalu-lalang di hadapannya. Motor yang melintas pun tidak terlalu banyak sehingga suasana tidak terlalu berisik. Jujur, saat ini Zea sedang tidak tenang. Ia merasa berita batal nikahnya sudah tersebar lebih luas. Sekalipun dirinya sudah berada di tempat jauh, tetap saja Zea merasa tertekan saat semua orang tahu. Itu sebabnya ia memutuskan duduk di sini dulu. Setelah beberapa hari menutup simcard-nya yang tidak ada sinyal, Zea memutuskan mengaktifkan kembali aplikasi pesan yang terhubung dengan simcard lamanya. Meskipun masih tidak ada sinyal, tapi Zea bisa mengakses aplikasi pesan itu menggunakan jaringan internet nomor barunya. Benar saja, tidak butuh waktu lama getaran ponselnya seakan tak mau berhenti. Notifikasi chat masuk serta panggilan tak terjawab langsung memenuhi ponselnya. Terutama pesan dari orangtuanya dan Stevi serta beberapa nomor baru yang belum sempat Zea buka isi pesannya lantaran ada panggilan masuk. Ya, ada panggilan masuk tapi bukan dari Stevi atau orangtuanya, melainkan dari nomor tak dikenal. Haruskah Zea mengangkatnya? Zea curiga itu Jefry. Mengingat Zea sudah memblokir nomor pria itu, bukankah tidak heran jika Jefry menghubunginya dengan nomor baru? Untuk memastikannya, Zea memutuskan mengangkatnya dulu. Jika itu benar-benar Jefry, ia akan langsung memutus sambungan teleponnya. Zea perlahan menggeser layar ke warna hijau. “Balikin duit aku!” ucap seseorang di ujung telepon sana. Sebentar, sebentar … ini maksudnya apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD