1. Davina Mauren
“Vina mohon Mah… cuma satu tahun sekali kok…”
“Aduh, maaf ya sayang… besok Mamah bener-bener ngga bisa. Besok Mamah sama Papah ada meeting besar di Surabaya.”
“Kok Mamah ngga bilang? Emangnya ngga bisa diundur lusa Mah?” kata Vina masih tetap berharap.
“Ya ngga bisa dong sayang… semua kan udah beres, booking hotel, pesawat, ruang meeting, semuanya… masa tiba-tiba dibatalin. Kamu bisa bayangin dong berapa kerugiannya? Papah kamu juga pasti ngga mau… meeting besok mendadak karna ada masalah serius. Gini deh, tahun depan Mamah janji pasti Mamah usahain.” Ucap Sagita, ibu Vina.
“Ya udah Mah kalo emang ngga bisa…” jawab Vina lesu.
“Ya udah… kamu yang semangat ya… belajar yang rajin. Kalo butuh apa-apa kamu tinggal bilang aja sama tante Alma, biar nanti tante Alma yang urus.”
“Ya Mah…”
“Ya udah, Mamah mau lanjut meeting dulu ya untuk pembukaan gerai baru kita di daerah Jakarta Pusat. Nanti sore Mamah sama Papah baru berangkat ke Surabaya.”
“Iy…………”
“O ya… Nanti sore tante Alma mau ke rumah mau ambil baju-baju Mamah sama Papah sekalian Mamah udah titipin hadiah buat kamu. Semoga kamu suka ya sayang? Ya udah ya. I love you…”
“I love you too Mah…”
***
Pagi itu udara begitu dingin, hujan lebat yang mengguyur sebagian kota Jakarta membuat para penghuninya enggan untuk beranjak dari tempat tidur mereka maupun beraktifitas seperti biasanya. Kota Jakarta yang seakan tak pernah mati, pagi itu menjadi hening, tanpa aktivitas yang berarti.
Kriiiingggggggg….!!!Kriiiiinggggggg!!! Terdengar bunyi jam weker yang begitu nyaring memekakkan telinga
Vina tersentak, reflek tangannya meraba-raba meja nakas di samping tempat tidurnya. Tangannya bergerak mencari sumber suara. Klik! Dia berhasil menemukan tombol off nya. Vina menarik selimutnya dan kembali memejamkan mata. Belum juga menemukan posisi yang nyaman untuk kembali tidur, pintu kamarnya sudah diketuk.
Tok! Tok!
Krek! Suara pintu kamar dibuka dari luar.
Fero memandang Vina dengan senyum tipisnya sambil menghela napas, seperti sudah hafal dengan kebiasaan adik semata wayangnya itu. Biasanya bi Anah lah yang selalu membangunkan Vina setiap pagi dan mengurus semua kebutuhannya, tapi kali ini sengaja Fero ingin Ia sendiri yang membangunkan adiknya sebagai bentuk support dan perhatiannya karena hari ini adalah hari pertama Vina masuk sekolah. Fero berjalan mendekati Vina yang masih meringkuk dibalik selimut. Ditariknya selimut yang menutupi tubuh Vina sambil memencet hidungnya.
“Iih… Kak Feroooo!” pekik Vina kesal.
“Makanya bangun… udah jam berapa nih?” kata Fero sambil duduk di tepi tempat tidur. “Bukannya semangat hari pertama masuk sekolah, gimana sih kamu.” Lanjutnya.
Vina melirik ke jam dinding di salah satu dinding kamarnya, sudah menunjukkan pukul enam pagi.
“Iyaa… ni mau mandi.” Kata Vina dengan sangat tidak bersemangat. Matanya masih terasa berat menahan kantuk karena Ia baru bisa memejamkan mata ketika matahari sudah hampir terbit.
“Ya udah… Kakak tunggu di meja makan ya…” kata Fero sambil berdiri dan keluar dari kamar.
Tanpa menjawab, Vina pun dengan malas mengambil handuknya di gantungan handuk dan langsung menuju ke kamar mandi di dalam kamarnya. Kalau Ia bisa memilih pasti Ia lebih memilih home scholing agar Ia tak bertemu banyak orang.
Davina Mauren, remaja enam belas tahun yang hidup bergelimang harta. Kedua orangtuanya adalah pengusaha sukses yang kerap menjalankan bisnis mereka hingga ke luar kota. Tak heran jika mereka selalu sibuk dan jarang berada di rumah. Walaupun begitu, semua fasilitas sudah kedua orangtuanya berikan untuk Vina, assisten rumah tangga yang siap kapan pun dibutuhkan, mobil pribadi berserta sopirnya, hingga kartu kredit yang bisa diakses kapan pun dan berapa pun Ia butuhkan. Namun semua itu tak serta merta membuat Vina, biasa Ia dipanggil bahagia. Yang Ia butuhkan hanya kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtuanya. Semua itu membuat Vina menjadi gadis yang kesepian. Jangankan memiliki sahabat, teman dekat pun Ia tak punya.
Hari ini adalah hari pertama Vina masuk SMA. Ia diterima di SMA Pelita Nusantara, SMA yang terlalu biasa untuk seorang Davina Mauren dimana sebagian besar siswanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Tapi itulah yang Vina inginkan. Kenangan buruk saat SMP membuatnya trauma berada dilingkungan sekolah kelas atas. Ia berharap keputusannya mendaftar di sekolah yang biasa-biasa saja membuatnya nyaman dan bisa memiliki banyak teman.
Yang membuat Vina sedih adalah di hari pertamanya sekolah di SMA, kedua orangtuanya pun tak bisa mengantarnya seperti orangtua lainnya yang mengantar anak-anak mereka di awal tahun ajaran baru. Apalagi hari ini adalah hari pertama Vina masuk sekolah sebagai siswi SMA. Sebenarnya Vina sudah meminta kedua orangtuanya dari jauh-jauh hari untuk sedikit saja meluangkan waktu sekedar mengantarnya ke sekolah. Tapi nyatanya, alasannya selalu sama dari tahun ke tahun. Mereka terlalu sibuk dengan urusan bisnis mereka hingga moment sarapan pagi bersama pun menjadi moment yang langka sejak usia Vina delapan tahun. Kedua orangtuanya selalu berangkat pagi-pagi sekali dan selalu menghabiskan sarapan mereka di dalam mobil.
***
Vina melirik ke meja nakas di samping tempat tidurnya. Dilihatnya sebuah kotak berwarna pink dengan hiasan pita berwarna merah yang sudah Ia buka semalam. Sebuah kotak berisi Laptop Asus ROG G703 seharga kurang lebih enam puluh juta rupiah. Laptop itu dikirim oleh Sagita kemarin sore melalui tante Alma, assisten pribadinya, sebagai hadiah kelulusan dan memasuki dunia baru di tingkat SMA.
Sore itu tante Alma ditugaskan oleh Sagita untuk mengambil koper berisi pakaian yang sudah disiapkan oleh bi Minah dan berkas-berkas yang dibutuhkan karena mendadak mereka harus pergi ke Surabaya untuk urusan bisnis. Sebenarnya bukan hadiah itu yang Vina harapkan. Hadiah itu sama sekali tidak ada artinya untuk Vina. Yang Ia harapkan adalah kehadiran orangtuanya. Vina menghela napasnya perlahan. Mau tidak mau Ia harus tetap berangkat ke sekolah tanpa orangtuanya. Bukankah itu sudah menjadi hal yang biasa? Beruntung ada Fero, abangnya yang selalu memberikan perhatiannya pada Vina. Namun, Fero pun tak selalu memiliki banyak waktu karena Ia juga memiliki banyak kesibukan. Apalagi Ia adalah seorang ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di kampusnya dengan segudang kegiatan. Belum lagi saat ini Fero sedang mengambil mata kuliah tugas akhir. Sudah bisa dipastikan waktunya banyak Ia habiskan di kampus.
Vina menyemprotkan parfum silkygirl sweetheart ke baju seragam putih abu-abunya, lalu meraih tas ranselnya di atas meja belajar sebelum turun ke meja makan untuk sarapan. Kakaknya pasti sudah menunggunya di meja makan karena Ia sudah berjanji untuk mengantar Vina ke sekolah pagi ini. Beruntung hujan sudah mulai reda karena biasanya Fero lebih nyaman menggunakan sepeda motor Suzuki GSX 150 Bandit-nya kemana pun Ia pergi. Walaupun mereka memiliki segalanya, tapi baik Fero maupun vina tidak lantas memanfaatkan semua fasilitas yang diberikan oleh orangtua mereka dengan bergaya hidup mewah. Mereka terlihat sederhana dan apa adanha, yang penting nyaman untuk mereka.
Benar seperti tebakan Vina, Fero sudah menunggunya di meja makan dengan kaos hitam dan jaket jeans favoritnya. Sebuah meja makan dengan daun meja dari marmer dengan sepuluh kursi yang mengelilinginya. Sementara tepat di atas meja, tergantung sebuah lampu kristal besar yang membuat suasana semakin megah.
***
Suara knalpot motor menggelegar di depan SMA Pelita Nusantara. Sebuah bangunan sekolah yang terlihat biasa jika dibandingkan dengan sekolah vina dulu sewaktu SMP, salah satu sekolah internasional di daerah Jakarta Selatan. Bangunan sekolah itu hanya terdiri dari dua lantai dengan pintu gerbang sederhana yang mengelilinginya. Sementara di tengah bangunan itu terdapat sebuah lapangan rumput yang tidak terlalu besar.
Beberapa siswa mulai berdatangan memasuki gerbang sekolah. Banyak dari mereka yang diantar oleh kedua orangtuanya atau salah satu dari mereka. Mereka dengan sukacita mengantar anak-anak mereka ke sekolah barunya sebagai bentuk perhatian dan dukungannya. Vina mengamati sekolah barunya itu dari ujung kanan hingga ujung kiri. Pandangannya tertuju pada sorang siswi yang sedang bercanda dengan kedua orangtuanya di samping pintu gerbang. Ketiganya terlihat begitu dekat dan saling menyayangi dari bahasa tubuh mereka. Sesekali sang ayah mengusap rambut putrinya itu. Dari matanya memancarkan betapa bengganya Ia pada putrinya. Vina membayangkan jika saat ini Ia berada di posisi siswi itu, pasti hari ini menjadi hari paling bahagia seumur hidupnya. Mungkin harapannya terlalu muluk untuk sekedar merasakan bagaimana rasanya memiliki banyak waktu dengan orang-orang terkasih
“De?” panggil Fero membuyarkan lamunan Vina. Sekilas Fero menolah ke arah siswi itu. Fero tahu apa yang Vina rasakan saat ini karena Ia mendengar saat Vina menelepon ibu mereka. Tapi sesungguhnya Fero tidak benar-benar tahu apa yang Vina rasakan saat ini. Dalam diri Vina ada kecemasan yang begitu besar. Ia takut pengalaman buruknya semasa SMA akan terulang kembali. Di SMP, Vina sama sekali tidak memiliki teman. Entah apa kesalahan yang Ia perbuat hingga semua teman-temannya menjauhinya. Vina dikucilkan dan diabaikan seolah mereka tidak mengakui keberadaanya. Itulah alasan kenapa Vina memilih sekolah dari kalangan orang menengah ke bawah. Vina berharap mereka lebih memiliki hati nurani dan tidak memperlakukannya seperti siswa siswi di SMP-nya dulu.
“Udah tenang aja, semua bakal baik-baik aja kok. Ka Fero jamin kamu keluar sekolah badan kamu masih utuh.” Fero mengeluarkan jokesnya sekedar untuk menciptakan senyum di wajah Vina sebelum Ia masuk ke sekolah barunya. Usahanya berhasil, Vina tertawa mendengarnya.
“Ka Fero nih bisa aja, emang di dalem ada binatang buas?!” Ucap Vina sambil menahan tawanya. Lelucon Fero sedikit membuatnya rileks.
“Kamu denger ya… Mamah sama Papah itu sayaaaanggg… banget sama kamu. Kamu tau kan mereka kerja buat siapa?” tanya Fero sambil menatap tajam ke mata Vina. Vina hanya mengangguk. “Sekarang ngga usah mikir macem-macem. Kamu tinggal belajar yang bener… jangan kecewain mereka.” Lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan kepala.
Suara musik terdengar dari dalam, menandakan bel masuk sudah berbunyi. Vina pun masuk ke dalam gerbang sekolah dengan sedikit ragu, ada perasaan cemas yang menyelimuti hatinya. Sesekali Ia menoleh ke arah kakaknya yang masih memperhatikan dari atas sepeda motornya.