Sesaat aku langsung tertegun, kaget, tidak tahu harus mengatakan apa dan bagaimana. Sahabatku bicara tapi, seolah posisi kami bergantian kini aku yang hanya terdiam Ndan memperhatikan topi yang tergantung di dinding kamarnya.
"Uhm, Ariska, kamu lagi apa?"
"I-ini topi kamu?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Actually, itu ... hanya ...."
Dia tertawa gugup sambil menggaruk tengkuknya, dan di saat bersamaan, seorang wanita masuk ke apartemen Bella dan langsung menyapa.
"Bell, lo lagi ngapaain, gue mau ambil topi gue," ujar wanita itu santai dan langsung merangsek ke kamar Bella.
"Oh, silakan, sorry gue balikinnya lama," balas Bella sambil tertawa.
Sesaat aku sempat berfikir .. ya, seseorang bisa menebak kalau aku mengasumsikan apa setelah melihat layar ponsel Mas Arya.
Namun kehadiran wanita yang masuk baru saja membuatku bingung dan tidak tahu harus menuduh siapa.
"Dia siapa Bella?"
"Dia Irene, tetangga apartemenku, dia bekerja sebagai fotografer di sweetMemo studio, yang bersebrangan dengan kantor suamimu, Winds design and building kebetulan Irene kenal Ir. Arya," jawab Bella menjelaskan nama dan detail tentang gadis yang terlihat cukup cantik itu, sekilas dia seperti gadis keturunan luar negeri, punya hidung mancung dan mata yang mempesona, tak kalah dari Bella yang mirip artis Tamara Bleszynski.
"Oh ... gitu, ya," jawabku dengan tengkuk dan kaki yang mulai terasa dingin. Bukan karena takut, tapi kebingungan membuatku gugup dan cemas berlebihan, entah kenapa hal itu selalu terulang di momen tertentu.
"Aku Irene...." Wanita itu tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya, kusambut dan bisa merasakan betapa halusnya kulit wanita ini.
Tubuhnya semampai dalam balutan kaus longgar dan celana hotpants, rambutnya yang sedikit blonde tergerai, membuat pikiranku berputar, sebenarnya wanita yang sedang dekat dan berfoto di tebing dengan Mas Arya adalah Irene atau Bella? Ah, aku sungguh bisa gila memikirkannya.
"Hei, Ris ... kenapa?" Bella mengibaskan tangannya ke udara sedang kesadaranku langsung kembali ke tempatnya
"Ah, eng ... enggak ...." Sial, aku gugup luar biasa.
"Terus kenapa pucat? Kamu lihat hantu atau semcamnya?"
"Eng-enggaklah, aku hanya ... sakit perut," jawabku sekenanya.
"Kalo gitu, kamu mau ke kamar mandi atau mau istirahat? Tidur di kamarku aja," tawarnya sambil meraih bahuku.
"Enggak, aku pulang aja," tolakku mengelak
Aku sungguh tak nyaman berada di tempat ini, dua wanita itu aneh, tatapan melirik dan senyuman mereka membuatku bergidik, dan mungkin bagi orang lain itu biasa, namun ... kecemasan berlebih yang memang sudah jadi penyakit kambuhanku kelihatannya akan semakin akut jika aku terus di sini.
"Kalo sehat, kita bakal antarin kamu," sambung Irene ikut memegang tanganku.
"Enggak usah, aku ... aku baik-baik aja," jawabku sambil berlari secepatnya.
*
Sesampainya di rumah, kepalaku sudah berkunang-kunang, pusing, mual serta tangan dan kaki yang berkeringat dingin.
Kubuka pintu kamar dan langsung mencari obat di laci tempat tidur lalu meneguknya secepat yang aku bisa. Meraih gelas dan meminum isinya hingga tumpah lalu tubuhku menyandar di tempat tidur sambil berusaha meredakan detakan di d**a.
Ah, kenapa kecemasanku selalu kambuh dan membuatku mudah takut dan gugup, harusnya trauma yang pernah kualami di masa kecil tak perlu membekas di alam bawah sadar sehingga sewaktu-waktu mereka mencuat dan aku tak bisa mengendalikannya.
Kini, pikiranku kembali bergelayut akan kebingungan, semuanya abu abu dan meragukan, siapa yang yang mendekati suami dan siapa yang bukan. Aku bisa mencurigai Irene karena dia mengenal suamiku, dan tubuh wanita itu terlihat mirip dengan wanita yang photonya terpampang di wallpaper hp mas Arya.
Ah, aku hanya bisa meremas rambut kepala.
Hingga tak kusadari aku jatuh begitu saja oleh sakit yang mendera.
*
"Sayang ... kamu ngapain tidur di sini?" Seseorang mengguncang tubuhku dan samar-samar aku mulai mengumpulkan ruh dan kesadaran, mencoba membuka kelopak mata yang masih samar-samar, dan Mas Arya duduk membungkuk di hadapanku. Ternyata aku tertidur di lantai.
"Aku tadi sakit kepala ...."
"Iya aku tahu, Bella sempat telpon kalo kamu datang dan terlihat sakit, jadi setelah pekerjaanku selesai aku langsung pulang," ujar Mas Arya dengan raut cemas.
"Aku hanya ...." Aku terdekat dan bingung harus memulai percakapan dari mana namun aku harus mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku agar tidak membuatku tertekan dan depresi lalu kembali sakit seperti dulu.
"Kenapa?"
"Tolong katakan padaku sejujurnya, siapa sahabat yang telah menemuimu, dan siapa wanita yang kau jadikan wallpaper di layar ponselmu? katakan dengan jujur! Kau tahu bahwa mudah terpengaruh oleh pikiran, sedikit tertekan bisa membuatku sakit, Mas. Akankah kau tega melakukan hal ini kepadaku ... merahasiakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dirahasiakan dari pasangan. Toh, jika kamu memang tidak memiliki hubungan khusus, lantas, kenapa harus disembunyikan?" tanyaku sambil berurai air mata dan mencekal kedua lengannya.
"Oke ... Oke aku akan jujur ..." ujarnya sambil menarik nafas pelan.
"Katakanlah," pintaku yang sudah siap mendengar apapun argumennya.
"Sebenarnya aku ada proyek fotografi dan ddesign dengan sweetMemo studio, jadi aku menggunakan beberapa hasil jepretan mereka sebagai sampel untuk mengabadikan hasil karya yang akan aku ajukan ke proyek luar negeri. Tentang wallpapernya ... aku hanya mengambil sampel dari pinterest, Jadi kau tidak perlu khawatir Sayang." Mas Arya menjelaskan sambil menatap mataku Dan tersenyum menunjukkan ketulusannya.
"Benarkah, tapi ...." Ah, rasanya aku tak bisa mengadu argumen lagi, terlebih dia terlihat serius ketika mengatakannya.
Tapi manakah dari rangkaian peristiwa ini yang merupakan kenyataan dan yang hanya ilusi saja? Apakah ini adalah kesulitan bagi orang yang memiliki penyakit gangguan kecemasan pasca trauma, atau aku hanya berlebih-lebihan saja? Seseorang bantulah aku, aku sungguh bisa gila.
"Kamu Jangan berpikiran yang macam-macam sayang bisa-bisa karena selalu tertekan kamu akan semakin sulit untuk mengandung buah cinta Kita," bisiknya mesra.
"I-iya, Mas. Aku akan berusaha mengendalikan perasaanku."
Pria itu memelukku, tapi ada kebekuan yang seperti menjalari diri ini. Entahlah ...