Tring....
[ Hari ini jangan lupa jemput aku di tempat kerja ya Mas, jam empat sore ]
Suara pesan masuk ke ponsel suamiku, aku yag saat itu sedang menata pakaian kerja untuknya entah kenapa, bergerak membuka ponselnya, lalu detik berikutnya terkejut karena baru pertama kali menemukan sebuah yang terdengar mesra.
Sebelumnya, aku tidak pernah tertarik untuk tahu siapa dan apa isi ponsel suamiku, karena kami sudah sepakat berkomitmen untuk saling mempercayai dan privasi adalah sesuatu yang harus dijaga batasannya. Jadi, selama ini aku pernah mencurigainya.
Suara pintu kamar mandi terbuka ....
Mas Arya keluar dari sana, ia menyeka wajah dan rambutnya yang masih dipenuhi titik air lalu tersenyum padaku yang di duduk di pembaringan diliputi perasaan tak nyaman.
"Sarapan udah siap, Sayang?" tanyanya dengan mesra.
"I-iya, Mas," jawabku sambil melirik ponsel yang beberapa detik lalu terlepas di tanganku
"Aku siap-diap dulu," jawabnya dengan gelagat biasa biasa saja.
Aku ingin mencari momen untuk mengambil nomor ponsel yang kulihat barusan namun sayang, Mas Arya memasukkan benda itu ke dalam tas kerjanya.
Ah, aku kehilangan kesempatan di detik terakhir.
**
Selepas kepergiannya ke kantor aku segera berkemas dan menyelesaikan sisa pekerjaan rumah. Masih terbayang di mata bagaimana pesan itu terbaca, ada emoji peluk dan senyum hangat yang dikirimkan nomor dengan photo profil wanita cantik yang menopang dagunya. Manis dan sekilas terlihat elegan.
Sayangnya juga, photo profil tersebut belum sempat kuperbesar karena suamiku hampir mempergoki perbuatan itu.
Selagi sibuk merenungkan itu tiba-tiba sahabatku Bella menelepon.
"Halo, Bel, apa kabar?"
"Halo, Ariska, kabarku baik, kamu lagi apa?"
"Lagi mikirin pesan yang masuk ke ponsel Mas Arya," jawabku.
"Pesan apa itu?"
"Pesan dari seorang wanita yang meminta untuk dijemput di kantornya?" balasku.
"Terus kenapa? bisa jadi itu bos atau teman kerjanya, kenapa kamu jadi khawatir?"
"Aku hanya merasakan firasat berbeda," jawabku pelan.
"Ya ... kenapa gak ditanyain ke Aryanya?"
"Aku belum sempat, karena pagi tadi dia terburu buru, namun aku akan coba bertanya lagi."
"Kamu harus tetap positif thinking dengan suami namanya juga dia yang mencari nafkah dalam keluarga kita, jangan terlalu banyak curiga karena itu akan membuatmu stress dan berpikiran kemana-mana."
"Iya juga sih, lagipula selama ini suami aku nggak pernah bersikap aneh aneh, jadi kupikir dia mungkin hanya sedang berjanji dengan rekan kerjanya," balasku.
"Kalau kamu merasa masih curiga kamu bisa ikuti suamimu sore nanti."
"Iya, juga, aku ingin menjernihkan keraguanku," balasku.
*
Jadi setelah berdandan rapi dan siap mengendarai motor, aku segera menuju ke pusat perkantoran kota, dan menunggu suamiku tak jauh loby utama.
Ia terlihat keluar dari sana beberapa saat kemudian dan langsung melajukan mobilnya, aku tak membuang waktu untuk mengikuti dan anehnya dia malah kembali ke rumah.
Mendapatiku yang bergerak masuk setelah dia, Mas Arya langsung terkejut dan bertanya
"Lho, kamu dari Ariska?"
"Aku habis ngantarin baju buat dijahit ke tailor," jawabku sekenanya.
"Hmm, gitu ya," balasya sambil tertawa. Gelagatnya masih saja sama.
Aneh!
***
Seusai makan malam aku kemudian merebahkan diri di sebuah kursi lalu mencoba membaca baca artikel di media online, mencari cara menghibur diri dan membunuh waktu hingga rasa kantuk mendera.
Terlihat Mas Arya masih sibuk di meja kerja, menggaris di kertas panjang, dan terlihat serius seperti biasa mengerjakan desian gedung pesanan klien perusahaannya.
Sekilas siluet wajah suamiku di bawah lampu kerja masih menunjukkan ketampanan yang sama seperti ketika pertama kali kami berjumpa, senyum, gaya bicara dan bahkan cara membenahi kacamatanya masih sama. Tidak ada yang berubah dan seharusnya tidak ada yang perlu aku khawatirkan.
Kukenal dia sebagai Arya Dirgantara, pria yang mencuri hatiku di awal jumpa dan tiga bulan kemudian memutuskan untuk membawaku ke mahligai pernikahan ini. Kadang sepi, di tahun ketiga belum juga kunjung memiliki bayi, namun ia selaku punya cara untuk menghibur dan membesarkan hati, ibu mertua juga baik, meski sesekali pertanyaan tentang cucu terselipkan, ah, aku kadang merasa gagal jadi wanita.
Ia beranjak dari meja kerjanya dan aku memang menunggu momen itu, satu lompatan berhasil kudapatkan ponselnya namun ketika mencoba membukanya ponselnya dikunci dengan kata sandi.
"Apa? baru pagi tadi bisa dibuka kenapa sekarang di kunci?" batinku bingung.
Di saat yang sama pesan itu masuk lagi dan tertulis,
[Jika kau takut akan istrimu, maka temui saja aku ditempat biasa, kapan pun kau bisa]
Ah, dadaku makin membuncah oleh rasa penasaran yang sama. Tapi, jika aku bertanya, Mas Arya bisa marah karena aku membuka benda pribadinya, namun rasanya tak mampu membendung ribuan pertanyaan yang bergelayut di d**a.
**
Minggu pagi setelah berhari-hari memperhatikan gelagat suamiku, akhirnya dia minta izin untuk keluar sebentar ke rumah temannya.
Aku berasumsi bahwa dia akan menemui wanita yang menghubunginya via w******p. Jadi kuizinkan saja dia pergi ke sana, namun aku akan mengikutinya.
*
Kuikuti mobil Fortuner hitam milik suamiku yang meluncur jauh ke sebuah tempat wisata di pinggir kota, sesampainya di sana mobil tersebut dia parkirkan, dan suamiku terburu-buru membeli tiket dan masuk ke dalam.
Di tempat wisata itu, ada sebuah restoran lesehan, di bawah gazebonya, air sungai mengalir di melewati celah-celah batu, sejuk dan memenangkan sekali.
Suamiku yang terlihat mengenakan kaos merah terlihat menunggu dan Tak lama kemudian seorang wanita datang dan memeluknya, mereka terlihat saling melepaskan rindu
Seketika seperti dan sebilah pisau yang menusuk kepingan hatiku, aku merasa ada nyeri di sana, dan karena dadaku perlahan panas melihat tangan mereka yang saling menggenggam, emosiku mendadak membuncah, aku langsung menyusul mereka ke sana.