Mumtaz bangun pada pukul empat dini hari. Sebenarnya tidak benar-benar bangun karena dirinya tidak sepenuhnya tidur. Semalaman Mumtaz terus memikirkan bagaimana keadaan sang ayah yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Semula dia akan pergi ke rumah sakit diantarkan oleh Pak Amin. Namun, ketika sudah siap berangkat pada pukul lima pagi, Alif menelponnya. Entah memiliki firasat atau apa, sepulang dari masjid, Alif tiba-tiba menelpon Mumtaz. “Sudah bangun, tumben banget,” komentar Alif. “Gue mau ke Bandung, Om. Ayah dirawat di Hasan Sadikin. Tolong handle beberapa kerjaan di Maharani. Ada juga berkas yang harus diperiksa. Itu kerjaan Dani. Tolong banget, Om.” “Kapan?” “Sekarang, ini Pak Amin sedang panaskan dulu mobilnya.” “Bukan, maksud saya, kapan Pak Harrist masuk rumah sakit?”