Semula Alif hanya berencana mengantar Putra hingga selamat sampai rumahnya di Bandung. Namun, serangkaian teror berupa pesan singkat dan telepon dari anak punk itu membuatnya tinggal lebih lama di Kota itu.
Padahal, Putra sudah terbang ke Thailand mengejar sang pujaan hati. Dia menempati tempat sepupunya. Menikmati berbagai masakan yang disiapkan oleh perempuan yang dia sebut uwak.
Leila sudah berkali-kali menghubungi Alif. Meminta anak lelakinya untuk mengurus beberapa hotel di kawasan wisata kota Garut.
Alif tidak peduli, dia semakin betah bermanja-manja pada kakak perempuan sang Ayah. Ah, andai saja Leila selembut Uwak Anis. Apa pun yang terjadi Alif akan tetap tinggal.
[Om, gak pulang-pulang, gak kangen ama gue?]
Sebuah pesan singkat baru saja Alif terima. Ingin rasanya dia marah, tetapi sekeras apa pun dia berusaha mengabaikan anak punk itu. Maka semakin keras pula usaha dia untuk tetap menghubungi Alif.
Kemarin Alif memblokir nomor perempuan itu. Namun, dia yang belum Alif ketahui namanya mengganti nomor. Hingga akhirnya pria dengan matanya yang kelam lelah dan membiarkan telepon selularnya dibanjiri notifikasi.
Kemudian keesokan harinya hening. Tidak ada suara ribut dari gawainya, Alif menduga dia menyerah. Dan itu membuat Alif sedikit lega.
"Uwak turut prihatin, Lif. Kelak, kamu pasti menemukan jodoh yang tepat. Sabar aja," hibur Anis seraya menyajikan sarapan untuk keponakannya.
"Iya, Wak. Andai saja dulu Alif gak ...."
"Sudah, lupakan masa lalu, Nak. Melihat ke belakang hanya akan membuatmu terus merasa sakit. Sudah saatnya memperbaiki diri. Jadilah ayah yang baik. Buktikan jika kamu pria yang bertanggung jawab." Anis mengisi gelas kosong Alif dengan teh hijau yang masih mengepul.
"Andai Ibu bisa pengertian seperti uwak, Alif pasti gak akan merasa sendirian, Wak," keluh Alif. Dia merindukan sentuhan lembut sang ibu. Sentuhan yang sudah lama dia nantikan.
"Ibumu sebenarnya baik dan sayang sama kamu, Lif. Coba lembutkan hatimu." Alif hanya mengangguk.
Alif masih betah menghabiskan waktu di tempat Anis. Dia belajar banyak tentang kehidupan dari uwaknya itu. Namun, tiba-tiba telepon seluler miliknya mulai berdering lagi.
Satu kata yang Alif rasakan. Takut. Tiba-tiba terbayang wajah perempuan itu. Wajah dekil yang sepertinya jarang bertemu dengan air. Apalagi perawatan.
"Kenapa gak diangkat, Lif?" tanya Anis yang kebetulan melintas.
"Gak penting, Wak."
"Jangan pernah lari lagi dari masalah. Hadapi, begitulah seharusnya seorang pria bersikap," nasihat Anis, dia menepuk lembut bahu keponakannya kemudian berlalu melanjutkan pekerjaannya.
"Walaupun orang itu gak kita suka, Wak?" Anis yang baru berjalan beberapa langkah berbalik. Dia menghampiri Alif dan duduk di sampingnya.
"Apa pun risikonya, hadapi. Suka atau tidak."
"Walaupun dia mengganggu?" tanya Alif. Telepon kembali berdering, nomornya baru lagi, Alif sudah menduga dari awal, pasti dia.
"Hadapi, jika mengganggu bilang mengganggu. Dengan begitu dia pasti mengerti."
"Siap, Wak!"
Namun, dugaannya meleset. Suara gadis kecil yang dia rindukan terdengar merdu, "Ayah, Gia kangen," rengek Gia.
"Gia, Ayah juga kangen, sayang apa kabar?" Raut wajah Alif berubah. Perbincangan dia dengan Gia mengundang kembali senyuman yang telah lama hilang. Anis tersenyum dan berlalu dari sana.
"Gia sehat Ayah, Ayah kemana aja? Katanya mau beli esklim," rajuk Gia manja.
"Ayah ada urusan, Nak. Nanti Ayah pulang, Gia mau oleh-oleh apa?"
"Mainan!" pekik Gia, suaranya riang membuat Alif ingin menangis. Dia kangen.
"Oke cantik, tunggu Ayah, ya."
"Ayah, Bunda mau ngoblol," kata Gia. Alif merasa bahagia, Intan tiba-tiba ingin bicara dengannya.
"Lif," sapa Intan, meski dalam sambungan telepon Alif merasa wanita itu ada dihadapannya.
"Eh, Iya, Ntan," jawab Alif gugup.
"Kirain udah gak ingat lagi sama anaknya, kemana aja?" Suara Intan terlihat santai, gak ada canggung-canggungnya seperti dirinya.
"Di Bandung, ada sedikit urusan," jawab Alif bohong. Dia memang berada di Bandung, tetapi bukan untuk sebuah urusan melainkan melarikan diri dari patah hati.
"Sampai kapan?" tanya Intan.
"Kapan pun kamu minta aku pulang, akan aku usahakan."
Tiba-tiba hening. Ada jeda sebelum obrolan mereka berlanjut. Hingga kemudian Intan mengatakan sesuatu yang membuat d**a Alif sesak, "Jumat ini aku mau nikah, Gia sama Mamah minta aku buat ngundang kamu."
"Oh, selamat, ya, semoga kamu bahagia," ucap Alif tidak tulus. Dia sakit hati tentu saja.
"Terima kasih, jangan lupa, Jumat pukul empat sore."
"Iya." Alif merosot dari tempat duduknya, dia menatap langit-langit. Menyesali segalanya.
***
Pagar besi geser dengan perpaduan warna abu dan silver berderit ngeri kala pemilik rumah mendorongnya. Rupanya ada sesuatu yang mengganjal tepat pada lintasan roda pagar. Pemilik rumah yang memakai setelan batik tulis Garutan bersusah payah supaya jalan untuk mobilnya melintas terbuka lebar.
Tidak berselang lama seseorang membantunya, mencongkel kerikil yang lumayan besar di sela-sela lintasan.
"Sudah, Om!" Suara orang itu membuat si pemilik rumah tercekat.
"Om, bengong aja! Gak takut kesurupan?"
Alif bergeming, dia mengira perempuan itu akan berhenti mengganggunya. Nyatanya dia berada tepat dihadapannya saat ini.
"Makasih." Alif lantas meninggalkan gadis itu, tetapi belum jauh berjalan langkahnya dihalangi.
"Bentar, Om."
"Apalagi?" gerutu Alif kesal.
Anak Punk yang terlihat lebih bersih dari saat pertama kali bertemu itu mengulurkan tangan. "Nama gue, Mumtaz. M U M T A Z. Om namanya siapa?"
"Maaf ya Mumtaz, saya sedang buru-buru. Terima kasih bantuannya."
"Tegang amat, Om, kayak tali kutang. Oke besok gue ke sini lagi ya, Om, sampe gue tahu nama Om."
Alif tidak peduli, dia masuk ke dalam Fortuner hitam kesayangannya. Lantas meninggalkan area perumahan.
Dadanya bergemuruh riuh. Tenda terpasang tepat di halaman rumah Intan dan barisan kursi kosong berderet rapi. Seorang pemuda mengarahkan mobil yang dia kemudikan menuju area parkir sebelah barat rumah.
Gia menyambut kedatangan Alif. Dia merangkul dan menghujani sang ayah dengan ciuman. Setidaknya perlakuan Gia membuat luka Alif sedikit membaik, sepertu Obat.
"Nak Alif, apa kabar, Nak?" sambut Midah. Wanita itu sebetulnya tahu, Alif tidak baik-baik saja. Terbukti dari lingkaran hitam di bawah mata Alif.
"Baik, saya hanya kelelahan, Mah. Saya membantu sepupu memantau usahanya sementara itu dia ada keperluan ke luar negeri."
"Pantas, Nak Alif terlihat kuyu. Duduk dulu, ngopi-ngopi dulu, ada bugis sama ulen. Rombongan pengantin pria sudah di jalan." Midah tidak tahu, ketika mengatakan itu hati Alif tersayat perih.
"Gia," bisik Alif. "Bunda mana?"
"Bunda lagi di bikin cantik sama tante, itu di sana," tunjuk Gia pada sebuah ruangan. Kamar Intan, kamar dimana dia dan perempuan itu pernah memadu kasih.
"Gia mau anterin Ayah liat Bunda?" ajak Alif. Gadisnya mengangguk riang seraya menggenggam jemari sang ayah.
Di ambang pintu dia melihat pengantin wanita yang begitu cantik, dia tersenyum manis. Angannya melambung jauh mengingat masa lampau. Saat pengantin itu dia persunting.
Netra keduanya beradu, Intan tersenyum manis sedangkan Alif kikuk, tak tahu harus bicara apa. Hingga akhirnya dia berusaha melapangkan d**a. Berusaha ikhlas.
"Selamat ya, Ntan. Aku tahu, sejak pertama kali melihatnya di klinik aku sudah tidak punya kesempatan lagi. Aku sudah kalah."
Jika saja dia tidak punya rasa malu, ingin rasanya menjatuhkan diri dan menangis meraung-raung.
"Terima kasih sudah datang." Hanya itu yang bisa Intan ucapkan. Alif membalasnya dengan sebuah senyuman. Rasanya pahit, perih, dan mungkin dia tidak sanggup untuk menyaksikan akad.
"Aku gak bisa lama-lama. Semoga kalian bahagia."
"Jangan pernah sungkan untuk mengunjungi Gia ya, Lif. Meskipun ada Niko di tengah-tengah kami. Kamu tetaplah Ayahnya."
"Itu, pasti." Alif meninggalkan Intan sendirian. Kembali membawa luka yang dia tanam sendiri di masa lampau.
Sesampainya di luar, rupanya rombongan pengantin pria baru saja tiba. Sehingga dia tidak dapat keluar dengan mudah. Dia terpaksa melihat Midah sedang mengalungkan untaian bunga sedap malam pada Niko.
Waktu kecil, dia pernah menolak untuk menelan pil karena pahit. Ternyata setelah dewasa dia lebih banyak menelan pil yang lebih pahit, bukan hanya obat untuk membuatnya sehat, tetapi Pil kehidupan yang bisa membuatnya tumbuh menjadi manusia dewasa.
Aliran sungai cimanuk yang di bendung menjadi sebuah pemandangan yang Indah. Gemuruh air yang terjun dari bendungan menciptakan cipratan-cipratan yang indah kala tertimpa cahaya senja. Alif duduk meratapi nasib tepat di tepi bendungan. Gemuruh angin menerpa rambut dan wajahnya.
Berkali-kali dia memperbaiki tatanan rambutnya. Berkali-kali pula dia menyeka air mata yang luruh melewati pipinya.
Seorang perempuan menyodorkan satu pack tisu pada Alif, pria itu mendongak, lalu berdecak kesal saat melihat perempuan itu lagi.
"Kaget banget, Om, kayak ngeliat hantu," kata Mumtaz asal. Dia berpaling ke arah bendungan, sengaja tidak melihat wajah Alif yang penuh air mata. Air sungai sedikit berombak karena tertiup angin kencang.
"Bukan hantu, tapi siluman!" ketus Alif. Tisu yang Mumtaz beri dia buka. Kemudian bersihkannya pipi mulus yang kini dipenuhi air mata.
"Om, mau bunuh diri? Ini dalem banget, lho, gak takut kelelep?"
"Berdiri di tepi sungai gak mesti mau bunuh diri, kan?" elak Alif dengan nada bicara menyiratkan rasa kesal.
"Gue tahu, tapi bisa aja ada setan lewat, bisikin supaya Om lompat, dengan begitu semua beban berakhir." Mumtaz mengeluarkan dua buah permen mint dengan bungkus berwarna merah. Lalu memberikan salah satunya pada Alif.
Alif menggeleng, "ngapain kamu selalu muncul di sekitar saya?"
"Pertama, gue jatuh cinta. Kedua Om gak pernah ilang dari kepala gue. Ketiga gue gak sengaja liat Om, liat itu," tunjuk Mumtaz. Segerombol anak Punk duduk bersila di sisi lain bendungan.
"Ini tempat meeting kami." Alif hampir tertawa mendengar kata meeting.
"Saya sudah punya anak," ungkap Alif. Berharap Mumtaz menjauh.
"Ya, terus?"
"Kamu gak boleh jatuh cinta sama saya!"
Mumtaz tertawa lepas. Alif mengerutkan kening. Satu hal yang luput dari penglihatannya, Mumtaz memiliki bibir merah serta barisan gigi yang rapi dan putih. Untuk ukuran anak jalanan gigi Mumtaz terlalu bersih.
"Om, cinta itu bisa datang sama siapa saja. Apa anak jalanan kayak gue gak boleh jatuh cinta?" tanya Mumtaz.
"Tapi cinta kamu itu salah sasaran."
"Kalau saja kita dapat pilih mau jatuh cinta sama siapa." Mumtaz, menunduk. Angin kencang menerpa wajahnya. Membuat rambutnya yang kali ini tidak tertutup topi berkibar hampir menutupi wajah. "Malam itu, tiba-tiba saja gue tergerak buat nyamperin Om. Gue takut melihat Om berdiri di atas jembatan, ngadep sungai. Kalau loncat bagaimana? Kalau mati bagaimana? Pokoknya saat itu salah jika gue diem aja, Om. Gue belum jatuh cinta saat itu, entah setan mana yang nancepin panah di sini." Mumtaz meletakan tangan kanannya tepat di d**a kiri.
"Hingga gue bener-bener gak bisa tidur dengan tenang. Wajah Om selalu ngisi kepala gue. Mungkin karena om lemah makanya gue ngerasa pengen banget lindungin Om. Kayak gue lindungin mereka." Pandangannya mengarah pada lima orang anak punk yang sedang tertawa lepas. Satu di antara mereka adalah perempuan.
"Saya bukan orang lemah, hanya saja ...."
"Om lagi marahan ya sama bininya?" potong Mumtaz.
"So tahu!"
Pria itu kemudian pergi. Entah kenapa beban berat yang dia pikul menjadi sedikit lebih ringan.
"Om, gue belum tahu namanya!" seru Mumtaz. Dia berlari-lari kecil menyamai langkahnya dengan Alif.
"Memangnya waktu nanyain nomor hp saya, kamu gak tanya sekalian nama saya?"
"Nanya, cuma waktu itu lupa. Serius Om. Gue cuma catat nomor Om pake pulpen di sini." Mumtaz menjulurkan telapak tangannya.
"Gak perlu tahu, karena kita gak akan bertemu lagi."
"Siapa bilang, Om. Anggap aja gue itu matahari. Sekarang udah waktunya gue pulang. Besok pagi gue dateng lagi, bikin Om anget."
"Sudah ada yang bikin saya hangat. Gak perlu yang lain." Alif hendak membuka pintu mobilnya, tetapi Mumtaz mencekal lengannya.
"Kalau orang rumah bikin Om hangat, gak mungkin dua kali gue dua kali liat Om mau bunuh diri di sungai."
"Bisa gak kamu berhenti ganggu saya!" hardik Alif. Nada bicaranya meninggi. Dia mulai kesal dengan kelakuan Mumtaz.
"Om kok nyolot, sih? Gak bisa ngomong baik-baik?"
"Orang kayak kamu gak akan pernah ngerti walau di baik-baiki." Pria itu masuk ke dalam mobil.
"Semua sama aja, gak pernah ada orang yang nganggap kami baik. Walau sebenarnya kami selalu berusaha jadi orang baik." Dia hampir saja tidak dapat mengendalikan diri kala mendengar ucapan Alif.
Alif bergeming, tidak menanggapi apa yang dikatakan Mumtaz. Dia memilih untuk menutup pintu mobil dan melajukan kendaraannya.
Meninggalkan gadis itu bersama dengan tenggelamnya matahari.