Alif tidak mendatangi coffe shop sebrang Intan Fashion lagi. Namun dia terus melakukan pendekatan dengan caranya sendiri. Sudah dua hari Fortuner hitam miliknya parkir depan sebuah rumah.
Hari pertama dia hanya melihat Midah, mantan ibu mertuanya. Perempuan baik yang selalu membuatkan Alif makanan enak. Sempat terlindas dalam pikirannya untuk menghampiri wanita itu. Namun dia takut suaminya akan marah.
Hari kedua dia tidak melihat siapa pun. Intan sudah pasti tidak di rumah. Sedikit harapannya, dia dapat melihat putri kecilnya bermain di halaman.
Semilir angin menghantarkan kantuk, mata Alif tertutup perlahan. Dalam tidurnya dia bertemu bidadari bermata indah persis seperti mata Intan.
Bidadari tersebut berada di padang ilalang, dia menggenggam tangan Alif, tetapi perlahan dia menjauh dan berlari semakin jauh meski sekuat tenaga Alif mengejarnya.
Alif terhenyak, bangun dari mimpi. Hari hampir gelap, ketika dia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu seorang pria berkumis menggedor jendela mobilnya.
"Lho, nak Alif," ujar Midah. Dia muncul dari balik pria berkumis itu.
"Mah ... Eh Bu." Alif gagap.
"Duh, Pak RT, ternyata ini ayahnya Gia." Pak RT tersenyum, kemudian pamit meninggalkan mereka.
"Maaf, Bu."
"Mamah dari siang lihat mobil ini parkir. Makanya minta tolong pak RT buat periksa, Mamah takut. Ayo masuk," ajak Midah.
"Tapi, Bu," sanggah Alif. Dia merasakan detak jantungnya berdebar kuat. Takut dan malu bercampur jadi satu.
"Kamu kenapa gak masuk aja tadi, emangnya gak panas diem di mobil? Ayo, Gia pasti seneng kalau tahu siapa yang datang."
Alif diam, dadanya berdesir kala wanita itu menyebutkan nama Gia. Seperti apa rupa gadis itu, apakah secantik Intan? Atau seperti dirinya.
"Anakmu, Lif." Midah memecah keheningan, gadis berusia tiga tahun berdiri dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Ini ...." Alif tercekat, betapa dia bodoh telah mengabaikan mahluk mungil yang begitu cantik.
"Gia, lihat Mamah sayang, itu Ayah Gia. Ayo salim," perintah Midah. Gia bergeming, dia sepertinya takut.
"Gia," lirih Alif. Dia mendekat berharap gadis yang berparas begitu mirip dengan dirinya tidak lari ketakutan. Alif seperti sedang bercermin.
Gia menatap wajah sang nenek, seolah minta persetujuan. Midah mengangguk, perlahan gadis itu mendekati ayahnya. Mereka berpelukan meleburkan rindu menyatukan kasih dan sayang.
Alif menghidu aroma Intan ketika memeluk gadisnya yang rapuh. Perasaan bersalah terus melingkupi dirinya.
Tangan mungil Gia meraih tangan Alif, kemudian gadis itu mengecupnya. "Ayah, sudah pulang? Perahunya mana?"
"Perahu?" tanya Alif.
Midah masuk membawa nampan berisi secangkir kopi dan kue. "Intan selalu bilang ayahnya Gia sedang berlayar," ujar Midah.
"Maafkan saya, Bu. Maafkan saya," pinta Alif, dia bersimpuh di bawah kaki midah.
"Sudahlah, Nak Alif, semua sudah berlalu. Mamah senang Nak Alif sudi mampir untuk melihat Gia."
"Maafkan ayah, Nak." Alif mengusap rambut Gia yang lembut. Putrinya tidak banyak bicara. Dia duduk di pangkuan Alif dengan tenang.
"Bu."
"Panggil mamah saja, seperti biasanya," pinta Midah.
"Terima kasih, Mah. Ngomong-ngomong, Bapak di mana, Bu?"
"Bapak sudah meninggal."
"Innalillahi, kapan, Bu?" tanya Alif penuh penyesalan.
"Sudah lama, silakan diminum Nak, mamah cuma punya itu." Midah mengalihkan obrolan, seolah enggan mengungkit masalah itu.
"Terima kasih, Mah."
Langit hampir menggelap, jingga yang menghiasi senja mulai berganti menjadi gulita. Petang itu, seorang gadis cantik terlihat bahagia bertemu sang Ayah. Dengan cadel dia berceloteh riang.
Dikelilingi banyak fans sempat membuat Alif merasa berada di surga dunia. Disanjung dan dipuja. Di beri banyak cinta, hadiah, bunga bahkan barang berharga.
Namun kini dia baru menyadari inilah surga dunia. Kala gadis berponi mengecup lembut pipinya. Sapaannya merupakan nyanyian paling merdu yang pernah dia dengar. Pelukannya lebih hangat dari seribu selimut di dunia.
Namun surga itu seperti terenggut dari genggaman ketika seraut wajah yang dikuasai amarah mematung di depannya. Dia Intan, perempuan yang paling dia cintai di dunia ini. Dulu dan sekarang.
Sejak memutuskan berhenti dari dunia hiburan, Alif sudah mempersiapkan berbagai konsekuensi yang akan dia terima. Kehilangan mata pencaharian, kehilangan popularitas, kehilangan segala kemewahan.
Lelaki dengan postur tegap itu pun sudah siap dengan risiko ketika dia harus berhadapan kembali dengan sang mantan. Dia siap dicaci. Dia siap memperjuangkan apabila mendapat penolakan. Dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai hal yang akan terjadi.
Kecuali satu hal. Dia tidak menyiapkan hatinya untuk melihat kenyataan bahwa Intan tidak lagi sendiri. Pria dengan kulitnya yang putih begitu lembut menepuk bahu Intan. Tatapannya menyiratkan betapa dia mencintai Intan begitu dalam. Alif kalah beberapa langkah. Bahkan putrinya terlihat begitu nyaman berada dalam dekapan pria itu.
Alif menangis, penyesalan yang mendalam telah meruntuhkan egonya. Pantaskah satu kali lagi dia berharap? Bolehkah satu kali lagi dia mengemis sebuah kesempatan?
"Nak Alif, bangun, Nak. Duduk di kursi," titah Midah. Wanita itu masih peduli pada Alif.
"Maafkan saya, Mah, saya salah, ampuni saya." Alif kembali tergugu. Bahunya berguncang.
Gia turun dari pangkuan Midah. Gadis kecil itu seolah mengerti ribuan kesedihan yang dirasakan sang ayah. Dia mengusap lembut air mata yang membasahi pipi.
"Ayah jangan nangis," ucapnya. d**a Alif makin nyeri, lantas dia meraih tubuh mungil Gia dan mendekapnya dengan erat.
"Gia mau maafin Ayah?"
Gia mengangguk.
"Gia sayang sama Ayah?"
Gadis itu kembali mengangguk.
"Ayah janji, ayah akan terus bersama Gia. Ayah janji akan tebus waktu Gia ketika ayah tidak ada di sini."
Gia bergeming, ternyata dia sudah terlelap di pangkuan Alif. Mantan aktor itu mengecup lembut pelipis Gia.
Dari dalam ruang keluarga, pria yang mendampingi Intan tadi muncul. Dia tidak berkata apa-apa, hanya melirik sekilas ke arah Alif. Kemudian meninggalkan rumah.
Tidak lama kemudian tergopoh-gopoh Intan berlari menyusul pria itu. Matanya sembab. Alif menyesal karena hanya bisa menghadirkan tangis dalam kehidupan Intan.
"Niko!" seru Intan. "Terima kasih untuk hari ini, maaf selama ini aku terlalu kasar padamu."
Alif menunduk, menatap wajah Gia. Menahan perih.
"Intannya Niko jangan nangis lagi, ya, itu suara kamu jadi serak, gak seksi lagi, janji, ya?"
"Terima kasih sudah sayang sama aku dan Gia," sahut Intan. Oh Tuhan, jujur aku tidak sanggup jika konsekuensi yang harus diterima sepahit ini, lirih Alif dalam hati.
Tidak lama kemudian Alif pulang dalam keadaan sedih. Midah membesarkan hatinya, dia berjanji akan menghubungi Alif jika ada hal yang berkaitan dengan Gia.
***
"Habis keluyuran darimana, kamu?" tegur seorang perempuan ketika Alif baru saja menginjakan kaki di rumahnya.
"Alif udah gede, Bu. Di Thailand saja Alif hidup sendiri dan tidak kenapa-napa."
"Setidaknya Ibu tenang saat kamu di Thailand. Ngapain kamu pergi ke rumah perempuan itu?" tanya Ibunya sengit.
"Ngapain Ibu ngelarang aku?" bentak Alif. Dia terlanjur kesal, ibunya belum berubah. Bahkan dia mengirim orang untuk membuntuti Alif.
"Kurang ajar kamu, Lif!"
"Bu, saya pergi ke rumah Intan untuk melihat anak saya. Anak yang tidak pernah saya urus. Cucu ibu!"
"Kamu emang anak yang gak tahu diuntung."
"Kenapa? Ibu masih mikirin bibit, bebet dan bobot? Sampai kapan?" tanya Alif frustasi.
"Itu penting, Lif. Pernikahan tanpa itu sia-sia!" jerit Ibunya Alif. Perempuan itu bertahan dengan egonya.
"Ibu yang sudah bersalah membuat pernikahan Alif kacau. Ibu yang bersalah membuat Gia tidak pernah mendapat kasih sayang ayahnya. Semua salah ibu!"
Alif membanting pintu kemudian merosot di bawahnya. Dadanya bergemuruh, napasnya memburu berlomba dengan bulir air mata yang tidak dapat dia kendalikan.
Ribuan pertanyaan menari dalam benak. Dalam diam dia mengurai satu persatu pertanyaan laksana mengurai sebuah benang kusut. Kenapa hidupnya serumit ini? Sanggupkah dia bertahan dan memberikan kebahagiaan yang dia janjikan untuk putri kecilnya? Dan sanggupkah dia melihat Intan bahagia bersama pria lain?
"Aaarrrgh," teriak Alif seraya melemparkan botol parfum ke arah cermin. Suaranya bergema, cerminnya retak, seperti hatinya yang retak kemudian pecah berkeping.
Alif tidak pernah menghiraukan larangan Ibunya untuk tidak menemui Intan. Baginya, bertemu dengan Gia merupakan sebuah penebusan dosa.
Setiap hari dia mengunjungi kediaman sang mantan istri. Bermain dengan Gia dan sesekali numpang makan siang.
Namun, hari ini Alif melihat ada yang aneh dengan Gia. Gadis itu terlihat lebih pucat.
"Gia kok pucat, Mah?" tanya Alif pada Midah. Sementara itu Midah memeriksa keadaan cucunya. Dia tempelkan punggung tangannya di kening untuk mengecek apakah Gia demam atau tidak.
"Tidak panas, Gia pusing?" tanya Midah lembut, Gia menjawab dengan menggelengkan kepalanya.
Tetap saja terlihat ada yang aneh. Gadis itu sedikit terengah, terlihat seperti habis lari beberapa ratus meter.
Midah, mengambil gawai yang dia letakan dekat televisi, "Ntan, pulang dulu, Gia sepertinya sakit."
"Sini sama Ayah, Nak," ajak Alif, tetapi Gia bergeming, napasnya makin cepat, pendek-pendek. "Astagfirullah, Gia sesak, Nak?"
Midah dan Alif panik, buru-buru mereka membawa Gia ke dalam mobil, ketika hendak meninggalkan rumah Intan tiba diantar laki-laki muda yang mengenakan masker doraemon.
Perjalanan yang menakutkan. Berkali-kali alif hampir kehilangan konsentrasi saat menyetir. Berkali-kali pula dia mendapat bentakan dari Intan.
"Nyetir yang bener!"
"Jangan lelet!"
"Buruan, dodol!"
Dan beberapa u*****n lain. Alif tidak sakit hati, dia mengerti, Intan panik.
"Kita kemana ini, Ntan? RSU?"
"As Syifa aja biar deket. Gia biasanya berobat disana."
"Gak ke RSU aja biar ditangani sama spesialis anak?"
"Jauh, kamu gak liat Gia gak bisa napas gini?" bentak Intan.
Alif semakin merasa bersalah dengan keadaan seperti ini. Bagaimana jika dia tidak ada disamping Gia dan Intan. Bagaimana caranya, Intan membawa Gia ke rumah sakit.
Kejadian ini membuat keinginan Alif untuk membersamai Intan membesarkan Gia semakin menggebu. Aku bisa menjadi suami dan ayah siaga untuk kalian. Tekadnya dalam hati.
Setelah berbelok ke arah kanan Alif melihat neon box bertuliskan UGD. Klinik As Syifa, sebuah klinik rawat inap dan rawat jalan yang tidak terlalu besar. Dindingnya yang di cat hijau daun terlihat teduh. Aroma antiseptik menguar di seluruh ruangan yang dia pijak.
Perawat dengan cekatan memberi pertolongan pertama. Intan panik, satu-satunya yang bisa Alif lakukan adalah memberikan ketenangan.
Dia rangkul sang mantan. Bahunya kokoh, dia tidak sekurus dulu. Alif tahu, Intan adalah perempuan tangguh.
Intan mulai menangis, menenangkan Gia di tepian tempat tidur UGD yang beralas sprei hijau pucat. Dokter memeriksa Gia. Wajahnya terlihat familier.
"Sudah tidak apa-apa, Ntan. Sudah kami beri anti alergi. Maaf sebelumnya, Gia makan apa Ntan?" tanya dokter itu seraya melirik Alif sinis.
Intan ikut-ikutan melihat ke arah alif. Dia merasa dihakimi.
Dengan lembut dokter itu menyentuh punggung tangan Intan, lantas dia pamit. "Aku pamit dulu, ya. Sudah di tunggu pasien. Petugas sedang menyiapkan kamar rawat inap Gia. Nanti aku kembali."
Intan mengangguk, tatapan mata sang Dokter mengingatkan Alif pada seseorang. Ya, dia adalah pria yang sama. Satu-satunya penghalang Alif untuk kembali merebut cinta Intan.
"Kita harus bicara!" ketus Intan. Air matanya sudah hampir kering, digantikan dengan amarah yang menggebu. "Kamu seharian main sama Gia?"
Alif mengangguk pasrah, "Iya."
"Gia makan apa?"
"Tadi makan masakan yang dibuat mamah. Kenapa pertanyaanmu seolah-olah aku meracuni Gia?" Alif mulai naik pitam.
"Karena Gia gak bisa makan sembarangan, dia alergi kacang tanah. Dan mamah gak mungkin masak makanan yang ada kacang tanahnya, ngerti?"
Alif mematung, sebelum Gia sesak napas Alif membawa putri kecilnya jajan di warung sebelah. Dia membeli beberapa makanan ringan, wafer, malkist, biskuit dan sandwich cokelat.
"Tadi kami memang jajan, Ntan. Tapi gak beli makanan yang ada kacangnya."
Intan mendelik sinis, dia mengambil gawai dan mulai melakukan panggilan. Sebelum teleponnya tersambung dia bergumam pelan, "awas aja kalo ternyata jajanan yang kamu beli yang bikin Gia kayak gini."