Bab 1. Informasi
"Mbak, suaminya selingkuh tuh!"
Aku menoleh, melihat sosok lelaki muda bernama Damar. Saat ini aku sedang berkunjung ke rumah sahabatku, Siska.
Namaku Laila Hussein, usia 30 tahun. Pernikahanku saat ini memang sedang dilanda rumor tak sedap. Beberapa karyawan ada yang bilang kalau suamiku selingkuh tapi selama tidak ada bukti yang akurat, aku tidak percaya.
"Apaan sih? Gak jelas banget!" sanggahku pada lelaki yang usianya mungkin masih 23 tahun. Aku masih ingat kalau Damar baru wisuda beberapa bulan lalu.
Dasar bocil, datang-datang langsung menuduh suami orang. Aku tak mempedulikannya meski ia duduk di kursi sampingku.
"Aku serius, Mbak. Kemarin di kampus ada acara di puncak, kebetulan aku lihat suami Mbak yang namanya Haris. Benar kan suami Mbak namanya Haris?"
Aku menoleh cepat, menatap lekat Damar yang tak lain sepupu sahabatku.
"Iya. Nama suamiku emang Haris. Tapi, kan nama Haris banyak."
Damar terlihat menarik napas, mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Ini bukan foto suami Mbak?" Damar menyodorkan seorang lelaki yang duduk di depan salah satu Villa. Aku tahu betul, kalau itu Villa keluargaku.
"Iya, itu emang suamiku. Tapi, dia di sana lagi kerja. Terus, kamu nuduh dia selingkuh, mana buktinya?"
Enak saja nih cowok, tiba-tiba menuduh orang selingkuh tanpa bukti yang jelas. Aku pikir dia menunjukkan foto atau video Haris bersama wanita lain. Tidak tahunya, hanya foto Haris saja yang sedang duduk. Memang sih, beberapa kali aku sempat mendengar kalau Haris jalan bersama cewek lain. Tapi, sewaktu aku tanyakan, kata Haris itu rekan atau klien bisnis. Aku sebagai istri, percaya saja. Lagi pula selama ini rumor perselingkuhan Haris belum ada bukti. Aku sendiri enggan mencari tahu kebenaran tersebut. Tidak ada waktu. Hubunganku dengan Haris belakangan memang mulai renggang. Tapi, aku berpikir mungkin karena kami sama-sama sibuk. Haris mengurus perkebunan teh di Bogor, sedangkan aku mengelola perusahaan advertising di Jakarta. Jarang sekali kami berjumpa. Kalaupun bertemu, kadang sudah malam. Sudah waktunya istirahat.
"Belum ada, Mbak. Waktu dia lagi mesra-mesraan ama cewek, aku gak sempat foto."
Aku tersenyum sinis mendengarnya. Pasti hanya alasannya saja.
"Dam, kamu ini cowok tapi kok suka fitnah orang?" tanyaku menatap intens. Damar mengerutkan kening. Pasti Damar tidak merasa aku fitnah.
"Aku enggak fitnah, Mbak. Aku cuma gak sempat foto mereka aja. Ya udah kalau Mbak gak percaya."
Tuh kan, pasti dia berkata demikian. Aku mencebik, mengulum senyum.
"Mana bisa aku percaya kalau buktinya enggak ada? Misalnya benar, untung buat kamu apa?" tanyaku menyindirnya. Aku memang sering datang ke rumah Siska. Kebetulan Damar tinggal satu rumah dengan orang tua Siska. Kalau kata Siska, sejak kedua ayahnya Damar menikah lagi.
"Untungnya buat aku, ada peluang buat ngerebut hati kamu."
Jawaban Damar membuat kedua mataku membulat, menoleh cepat lalu mencubit perutnya kesal. "Kampret! Kalau ngomong dijaga, gak sopan!" makiku kesal. Memalingkan wajah ke depan, malas lihat cowok yang usianya lebih muda dariku meringis kesakitan.
"Serius aku, Mbak. Ya cuma, aku tau dirilah. Kalau sekarang enggak bisa deketin, Mbak. Kalau Mbak udah jadi janda, baru deh aku kejar."
Aku menoleh cepat, membuka high heels hendak memukulnya. Namun, si Damar langsung berdiri, menghindar pukulanku.
"Eh, kalau ngomong jangan kurang ajar! Nih, lama-lama aku pukul beneran!"
"Ampun, Mbak, ampun ...."
Akhirnya sepatu high heels-ku hanya melayang di udara. Tidak tega mengenai tubuhnya.
Aku duduk kembali dengan emosi yang meluap-luap.
"Ada apaan sih ini?" Tiba-tiba Siska keluar rumah, menghampiri kami yang duduk di kursi teras depan.
"Sis, sepupu lu kayaknya harus di-ruqyah deh!" kataku mulai kesal melihat tingkah Damar yang tersenyum tidak jelas.
"Emang kenapa di-ruqyah?"
"Banyak setannya! Terutama area mulutnya tuh! Banyak setan, iblis, jin yang nyarang di situ."
Siska menoleh pada Damar. Semoga saja Damar dimarahi Siska.
"Dam, coba lu mangap?"
"Buat apa, Tan?"
"Bener gak apa yang dibilang Laila?"
"Bohong, Tante. Mbak Laila bilang gitu karena aku tadi nyampein kabar kalau suaminya selingkuh. Aku gak sengaja lihat suaminya mesra-mesraan di puncak."
Si Damar benar-benar membuatku emosi. Masih saja dia menuduh Haris berselingkuh. Aku harap Siska tidak termakan omongan sepupunya.
"Serius, Dam? Kalau benar, berarti yang dibilang si Fajar bener dong, La!"
Astaghfirullah ... kenapa juga si Siska percaya sama Damar?
"Fajar cuma becanda, Sis. Udahlah, aku gak percaya kalau Haris selingkuh. Sis, kita pergi ke kantor sekarang. Gue males lihat sepupu lu!" kataku mengambil tas, mengenakan sepatu lagi, berjalan ke arah mobil.
Dari dalam mobil, kulihat Siska masih berbicara dengan Damar. Entah apa yang dibicarakan mereka? Tapi, apa mungkin Haris selingkuh? Kalau dia selingkuh, keterlaluan sekali. Astaghfirullah ... aku tidak boleh berburuk sangka dulu sebelum ada bukti yang jelas.
"Sis, mau ngantor gak? Gue tinggal nih!" teriakku kesal melihat Siska tampak serius berbicara dengan sepupunya.
"Yeh, tungguin dong! Bentar, La ... bentar ... ya elah, gak sabaran amat jadi perempuan."
Akhirnya Siska menyudahi obrolannya. Aku bernapas lega karena Siska sudah ada di dalam mobil. Kendaraan yang aku kemudikan melaju meninggalkan Damar yang melambaikan tangan ke arah kami. Dasar cowok edan!
"Laila," panggil Siska saat kami berada di tengah perjalanan.
"Kenapa, Sis?"
"Aku rasa, kayaknya lu harus selidiki si Haris deh. Kita suruh orang aja buat buntutin si Haris kalau lagi di Bogor. Gimana?"
Aku mencebik, menggelengkan kepala. Ternyata benar, Siska sudah termakan kabar yang disampaikan si Damar.
"Buat apa, Sis? Buang-buang waktu tau gak? Lagian selama ini enggak pernah tuh aku lihat foto atau video Haris lagi jalan sama cewek lain. Ya 'kan?"
Aku terus menampik tuduhan-tuduhan yang pernah terdengar di telinga ini.
"Ya ampun, La ... sama suami tuh jangan 100 persen percaya. Harus waspada, Laila ... apalagi kan, lu berdua sering jauhan. Udah gitu, sekarang banyak cewek yang berpofesi jadi pelakor!"
Sontak, aku tertawa lepas mendengar ucapan Siska.
"Emang ada profesi yang namanya pelakor? Gue cuma tau, profesi dokter, polisi, guru, pilot. Gak ada profesi pelakor, Siska." Aku mengejek Siska dengan istilah yang baru saja dia ucapkan.
"Serius, Laila. Lu sih, jadi orang terlalu baik, terlalu manjain si Haris sama ibunya. Emang selama ini lu gak ngerasa kalau si Haris sama Ibunya yang tinggal di rumah lu itu, kayak parasit? Kayak benalu? Mereka berdua kan sering minta-minta duit ke lu, La. Pernah juga tuh mamanya si Haris, minta dibeliin mobil. Ya elah, mertua cuma numpang hidup yang kerjaannya cuma tidur, arisan, ke salon, shopping. Duh, Laila ... Laila ... Lu tuh bener-bener manusia berhati Malaikat," ucap Siska panjang lebar. Padahal aku tidak merasa seperti yang diucapkan Siska. Aku belum merasa menjadi manusia yang baik seperti yang dikatakan sahabatku itu.
"Berlebihan kamu, Sis. Aku cuma manusia biasa. Lagian emang salahnya di mana? Ibunya Haris kan Ibunya aku juga? Dia mertuaku, Siska. Gak ada salahnya aku kabulin keinginannya. Iya kan?"
"Iya sih."
Setelahnya tidak ada percakapan lagi diantara kami sampai terdengar notifikasi pesan dari handphone-ku.
"Sis, tolong dong ambilin hapeku di tas," ujarku pada Siska yang duduk di samping.
"Nih!" Siska menyodorkan handphone yang baru saja ia ambil dari tas-ku.
Keningku mengkerut melihat pesan dari nomor yang tidak aku kenal. Kubuka pesan itu dan ternyata isinya sebuah foto. Foto seorang lelaki yang tak asing bagiku. Dia adalah ....
"Astaghfirullah, bang Haris?"