Mimpi yang jadi nyata?
Dart board berwarna hitam putih dengan foto seorang lelaki berambut pirang yang sedang menggendong seorang bayi di depan dadanya, menggunakan tangan kiri sebagai penyangga tubuh mungil itu dan tangan kanan memeluk bayi yang terlihat menggemaskan terpasang pada dinding sebuah kamar yang disakralkan di rumah mewah itu.
Kamar yang akan Tuan besarnya datangi jika sedang merasakan kegundahan hati, lalu busur-busur kecil bermata tajam akan menghujani foto yang sudah banyak sekali berlubang karena kegiatan yang sama. Seolah dengan begitu dendam yang telah lama menguasai hatinya bisa menghilang seiring anak panah yang melesat lalu bersarang tepat di foto sang musuh besar.
"Aku tidak akan bisa hidup tenang sebelum membalaskan semua sakit hatiku padamu!"
Sebuah busur melesat dan tepat mengenai foto lelaki berrambut ikal itu.
"Juga menghabisi semua keturunanmu!"
Busur ke dua tepat mengenai gambar bayi dalam pelukannya.
"Aku bersumpah akan membalas semua rasa sakit yang kamu berikan padaku dan seluruh keluargaku!"
Busur ketiga sedikit meleset, mengenai gambar lengan yang tengah memeluk seorang bayi lelaki yang tampak tersenyum ke arah kamera.
"Gadis! Ngapain kamu?" Suara ketus khas wanita berkepribadian keras mengejutkan wanita lain yang tengah mengintip apa yang tengah terjadi di ruangan itu.
"Mbak, Gendis. Ngagetin aku aja! Itu, lho, Mbak, Romo lagi apa?" tanya wanita berkulit kuning langsat khas wanita jawa pada seseorang yang di sapanya dengan panggilan Mbak.
"Bukan urusan kita! Ayo cepet kita udah ditunggu Budhe Lastri, kamu mau kena marah karena terlambat latihan?" ujar wanita berrambut panjang yang tergerai indah.
Wanita berbibir sensual nan menggoda berwarna merah muda itu bergidik ngeri membayangkan omelan sang guru tari yang biasa mereka panggil Budhe itu, lalu segera mengikuti sang Kakak yang sudah lebih dulu melangkah.
Di sebuah gazebo yang berada di belakang rumah mewah berarsitektur jawa kental itu, empat orang gadis tengah meliuk-liukkan tubuhnya dengan anggun, diiringi gending jawa dan suara gamelan yang keluar dari sebuah speaker. Seorang wanita paruh baya berbadan tegap berisi mengawasi setiap gerakan mereka dengan seksama, sedikit saja kesalahan maka petuah panjang yang terdengar lebih mirip omelan akan terdengar.
Ketiga wanita ayu tengah menari gemulai dengan senyum manis menghiasi wajahnya berbeda dengan seorang wanita yang terlihat sedikit berbeda, bibirnya sedikit melengkung ke bawah bahkan kadang bergerak cepat seolah sedang mengeluarkan omelan yang melebihi kecepatan angin tornado.
"Gaaaddiiisss! Jrijimu iki, lho, Cah ayu, yang bener! Itu juga bibirmu harus selalu senyum kalau lagi nari! Jangan seperti dompet tanggung bulan begitu!" Suara melengking dari sang guru tari yang juga Kakak perempuan dari sang ibunda tercinta membuat wanita yang dimaksud lengsung membetulkan posisi jemarinya juga menarik bibirnya agar melengkung ke atas.
Walau dengan hati yang menggerutu wanita cantik itu terus menari hingga sesi latihan yang berlangsung satu jam itu selesai.
"Gadis udah berulang kali Budhe bilang kal—."
"Aduh, Budhe perut Gadis ini, lho, suakit budhe, Gadis ke kamar mandi dulu, ya, Budhe!" Wanita itu menyingkap kain batik yang menutupi kaki jenjangnya, menariknya sedikit ke atas dan segera berlari kecil meninggalkan gazebo bukan karena sakit perut seperti yang ia ucapkan melainkan untuk menghindari sakit telinga karena omelan sang guru tari.
*
Dia-lah Roro Ayu Gadis Hardjodiningrat, gadis cantik berusia dua puluh satu tahun putri kedua dari keluarga terhormat di daerahnya keluarga Hardjodiningrat.
Dari kedua saudarinya, Roro Ayu Gendis Hardjodiningrat sang kakak dan Roro Ayu Gandarum Hardjodiningrat sang adik dia-lah yang paling cantik sekaligus paling unik, sebagai putri ningrat tentu mereka mendapatkan pendidikan layaknya seorang priyayi sejak bayi, namun, entah dari mana Gadis memiliki jiwa pemberontaknya ia selalu ingin bebas dari kungkungan keluarganya.
Ia selalu memandang ke langit dan melihat burung yang beterbangan di angkasa dan ia ingin seperti itu, bukan seperti perkutut sang Romo—panggilan untuk ayah— yang hidup dalam sangkar. Tidak berbeda dengan dirinya yang hidup bagai di sangkar emas, hidup dalam kemewahan dan kenyamanan hidup tetapi tidak pernah merasakan kebebasan.
Selama ini dia melihat luasnya dunia hanya dari sebuah benda pipih yang menjadi miliknya sejak beberapa tahun yang lalu sebagai hadiah kelulusan sekolah sekolah yang ia dan saudari-saudarinya jalani di dalam rumah, entah kenapa dirinya merasa jika dirinya selalu dijauhkan dari dunia, itulah yang membuat dirinya bertekad untuk pergi dari rumah yang sudah menjadi dunia yang membosankan selama ini.
Gadis menutup pintu kamarnya, ia merasa lega karena bisa terbebas dari omelan Budhe Lastri yang terasa tidak ada ujungnya, terlebih lagi omelan itu pasti akan diulangi oleh Lintang Ayu sang ibunda lalu dilanjutkan dengan petuah membosankan oleh Wengi Hardjodiningrat sang ayah. Selalu begitu setiap harinya, entah mengapa selalu dirinya yang salah sementara kakak dan adiknya selalu benar.
Gadis membuka kain batik yang membalut tubuh bagian bawahnya lalu melempar asal kain bermotif truntum itu asal ke atas ranjangnya, menyisakan sebuah celana pendek berwarna hitam yang hanya menutup pangkal pahanya membuat kulit mulusnya terekspos sempurna, itu tidak membuatnya risih karena ia tahu jika tidak ada orang lain di kamarnya.
Ia duduk di meja belajarnya benar- benar di atas meja, menarik laci dan mengeluarkan sebuah foto. Foto seorang lelaki yang terlihat sangat tampan, rambutnya agak kecoklatan berwarna senada dengan manik matanya, berbibir tipis, hidung mancung dan memiliki rahang tegas lengkap dengan sorot matanya yang tajam. Dapat Gadis lihat dari foto itu jika lelaki itu memiliki postur tubuh yang tinggi besar, sempurna sebagai seorang lelaki.
Sempurna, hingga membuat seorang Gadis jatuh cinta. Jatuh Cinta? Bagi seorang gadis yang sama sekali tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis? Oh, tidak, atau mungkin, oh, ya.
Karena sejak pertama kali menemukan foto itu tergeletak di lantai ruang kerja samg ayah Gadis sudah merasakan cinta jatuh dalam hatinya, hanya saja itu adalah cinta yang tanpa harapan mengingat siapa lelaki itu saja ia tidak tahu, jangankan nama, apakah dia masih bernyawa atau tidak Gadis tidak tahu.
"Oh, Kangmas ganteng. Datanglah ... bawalah aku pergi dari rumah ini, aku sudah tidak tahan dengan semua aturan dan kegiatan yang membosankan di rumah ini." Selalu itu yang Gadis ucapkan pada selembar foto itu setiap kali ia merasa bosan dengan hidupnya.
Gadis pemimpi itulah dia di saat para saudarinya tunduk patuh pada aturan dan tata krama yang sudah jarang dianut di jaman modern ini, Gadis malah menggantungkan mimpinya setinggi langit untuk hidup bebas seperti wanita lainnya di luaran sana.
*
Saat itu Gadis dan kedua saudarinya sedang berada di gazebo samping tempat bisa mereka menghabiskan waktu luang, sekedar berbincang tentang berbagai hal, Gendis dan Ganda lebih senang bercerita tentang ilmu yang mereka miliki, sedangkan Gadis selalu sibuk menceritakan impiannya untuk bisa hidup sesuai keinginannya.
"Mbak, Gadis kalau ingin keliling dunia tinggal bilang saja sama Romo, mungkin saat liburan nanti kita bisa ke sana, Mbak Gadis tinggal bilang mau ke mana? Eropa? Atau Amerika?" Ujar Ganda pada Kakaknya yang malah menekuk wajahnya.
"Pergi keliling dunia dengan mereka, dengan pengawalan ketat dan berbagai macam aturan yang tidak boleh kita langgar? Lebih baik Mbakyu-mu ini tetap mendekam di dalam gentong!" Sontak ucapan Gadis membuat kedua saudarinya tertawa, buka tawa lepas yang bisa memproduksi hormon endorfin yang bisa membuat bahagia karena tawa seperti itu melanggar tata krama terlebih bagi seorang wanita.
Gadis memperhatikan saat ada tiga mobil mewah beriringan memasuki gerbang besar rumah mereka, rumah yang memiliki halaman luas bagai lapangan bola dengan berbagai tamanan hias yang tertata sempurnya tidak kurang dari lima tukang kebun bertugas membersihkan halaman dan mengurus tanaman setiap harinya.
"Mbak, itu siapa, tho?" tanya Gadis karena merasa belum pernah melihat mobil-mobil itu sebelumnya.
"Rekan bisnis Romo," jawab Gendis ringan lalu kembali fokus pada sehelai kain yang tengah ia sulam.
Entah kenapa Gadis merasakan getaran aneh yang terasa menjalari setiap sendi saat melihat rombongan itu, padahal sebelumnya banyak tamu yang datang tetapi tidak pernah menarik perhatiannya, tapi Gadis tidak ambil pusing, ia kembali menikmati kue kecil yang tersedia di samping teh hangat yang sudah tidak hangat lagi.
Pandangan ketiganya terfokus pada seorang abdi dalem yang berjalan tergopoh ke arah mereka, wanita seusia mereka hanya saja berbeda nasib hingga harus mengikuti kwdua orang tuanya yang mengabdikan dirinya pada keluarga Gadis yang kaya raya demi berputarnya roda ekonomi mereka.
"Ndoro putri Gendis, dipanggil Ndoro ageng." panggil wanita bernama Sri itu.
"Ada apa Mbak Sri? Bukankah Romo sedang ada tamu?" tanya Gendis karena tidak bisanya sang Romo memanggil saat sedang menerima tamu.
"Saya tidak tau, Ndoro, tapi Ndoro ageng sepertinya ingin Ndoro putri menemui mereka juga," jawab Sri dengan lemah lembut.
Ketiga Ndoro putri itu saling berpandangan satu sama lain, lalu berakhir dengan berdirinya sang sulung yang langsung melangkah anggun untuk menemui sang Romo di ruang tamu utama rumah mereka.
"Nduk, kira-kira kenapa, ya, Romo panggil Mbakyu Gendis?" tanya Gadis sambil menaruh telunjuk lentiknya di dagu dan mengetuk-ngetukkannya.
"Ndak tau, Mbak." jawab Ndoro putri bungsu tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia pegang.
Gadis hanya menghela napas kesal, lalu melangkah meninggalkan gazebo tempat mereka berada tanpa mengatakan apapun.
"Nasib-nasib, punya Mbakyu satu kok enggak punya toto kromo!" gerutu Gandarum saat melihat sang kakak yang berlari kecil memasuki rumah mereka.
Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencuri dengar juga mencuri lihat aoa yang sedang terjadi di ruang tamu, rasa penasaran untuk apa sang Romo memanggil Gendis begitu menguasai hatinya.
Hingga gadis cantik itu diam-diam menyelinapkan tubuh rampingnya di belakang lemari berisi barang-barang antik koleksi sang Romo, dengan mata mendelik dan mulut yang menganga karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Berulang kali Gadis mengerkapkan kedua matanya bahkan menguceknya dengan jemari lentiknya, rasa tidak percaya akan pandangannya sendiri bahkan membuat Gadis menggelengkan kepala.
Namun apa yang ia lihat memang nyata, lelaki yang selama ini dipujanya nyata adanya. Lelaki yang selama ini hanya ia pandangi lewat selembar foto kini ada di depan mata, lelaki tampan itu duduk tegap pada sebuah kursi jati berukir kepala naga di kedua sisi sandarannya membuat kegagahannya semakin terlihat sempurna.
Lelaki yang fotonya selalu ia sebut Kangmas ganteng itu mengangguk-anggukkan kepala saat mendengar ucapan yang Wengi Hardjodiningrat ucapkan, entah ucapan apa, yang ingin Gadis dengar hanyalah suara lelaki tampan itu. Menggeser sedikit pandangannya Gadis melihat sang kakak duduk dengan posisi paripurna mempesona dengan pandangan tidak kalah terpesonanya pada lelaki tampan itu.
"Nduk, kamu ngapain ndelik—ngumpet— di sini?" bisik Lintang Ayu sang ibunda.
"Ibu, em ... anu ... aku—."
"Ngintip?" tanya sang ibunda sambil menggelengkan kepalanya pelan penuh wibawa, Gadis hanya nyengir kuda.
"Itu ndak sopan, Nduk." Gadis menundukkan kepala.
"Maaf ibu." Hanya itu yang bisa Gadis ucapkan lalu melangkah pergi meninggalkan sang ibu yang mengurut hanya bisa d**a, karena kelakuan nyeleneh putri keduanya.
Gadis kembali berlari kecil saat merasa sudah lepas dari pandangan Lintang sang ibu, memasuki kamarnya dan mengambil foto lelaki yang selalu dipujanya itu. Memelototkan mata melihat dengan seksama wajah yang tergambar di sana, lalu memejam mengingat wajah yang ada di ruang tamu rumahnya.
Benar, tidak salah mereka adalah orang yang sama!
Gadis seperti orang yang sudah kehilangan ke warasannya, berjalan mondar-mandir di kamar dengan berbagai pikiran yang silih berganti menghampiri, menggelar lalu menggulung lagi kemungkinan yang sedang terjadi. Jika memang lelaki itu hanya rekan bisnis sang Romo lalu untuk apa Gendis turut serta dalam pertemuan tadi.
"Ah, aku bisa gila bila hanya menjawab pertanyaan sendiri seperti ini, belum tentu kebenarannya juga!" Gadis bersenandika lalu kembali melangkah membuka pintu kamarnya, tepat dengan lewatnya seorang wanita yang tadi menjalankan perintah untuk memanggil kakaknya.
"Mbak Sri, sini!" Gadis melambaikan tangannya dari balik daun pintu yang hanya sedikit terbuka.
"Ada apa Ndoro putri, mau saya ambilkan sesuatu?" tanya Sri dengan santun.
"Kamu tau kenapa Mbakyu Gendis dipanggil Romo?" tanya Gadis setengah berbisik, ia tahu jika Sri pasti mengetahui sesuatu, mengingat kekasihnya adalah salah satu anak buah kepercayaan Romonya.
"Hem ... saya tidak tau, Ndoro!" jawab Sri.
"Jawab atau aku ceritakan pada bapakmu apa yang kamu lalukan waktu itu bersama Sapto!" ancam Gadis, padahal ia hanya asal berucap saja, tanpa ada apapun yang pernah dilihatnya, dalam benaknya tidak mungkin sepasang kekasih tidak pernah melakukan apapun di luar batas, apalagi mereka bernaung di bawah atas yang sama.
"Iya, ampun Ndoro putri. Ampun!" Wajah Sri terlihat memucat akibat ancaman kosong anak majikannya, melihat itu Gadis langsung membuka pintu kamarnya lebar-lebar agar Sri bisa masuk.
Gadis langsung duduk di tepi ranjangnya, sedangkan Sri berdiri sambil menundukkan kepala.
"Kata Mas Sapto lelaki itu namanya Nicholas Gorgeous, putra tunggal dari konglomerat yang tinggal di Jakarta, dia ke sini untuk membuka bisnis pariwisata dan budaya bekerja sama dengan pemerintah daerah dan Ndoro ageng." Gadis mengerucutkan bibirnya mendengar apa yang Sri ceritakan.
"Terus apa hubungannya sama Mbakyu-ku?" tanya Gadis cepat seolah tidak sabar menunggu Sri melanjutkan ceritanya.
"Kata Mas Sapto, Ndoro ageng berencana menjodohkan Ndoro putri Gendis dengan lelaki itu."
"Aaaapppaaaaa!" Gadis terpekik, tubuhnya yang semula duduk santai terlonjak hingga berdiri menegang membuat Sri yang barada di depannya sangat terkejut hingga mundur beberapa langkah.
"Tidak bisa dibiarkan, aku yang siang malam memimpikannya, malah Mbakyu Gendis yang akan menjadi istrinya!" Gadis bergumam lirih hingga Sri tidak bisa mendengarnya, hanya melihat bibir gadis cantik itu yang komat-kamit seperti orang yang merapalkan mantra.
"Kamu tau mereka menginap di mana?" tanya Gadis tanpa mempedulikan wajah Sri yang masih terkejut.
"Kata Mas Sapto—."
"Iya aku tau kata, Mas Sapto-mu! Cepat katakan jangan berbelit-belit." Tanpa sadar omelannya malah membuat Sri tidak bisa langsung melanjutkan jawabnya.
"Di hotel milik Ndoro Ageng, dan mereka akan kembali ke Jakarta malam ini juga," jawab Sri hati-hati, ia takut jika Ndoro putrinya itu kembali bersikap di luar dugaan.
Sejenak Gadis terdiam, "baiklah, terima kasih informasinya dan ingat, lupakan pembicaraan kita ini maka aku akan melupakan apa yang aku lihat!"
Sri mengangguk cepat, "baik, terima kasih, Ndoro."
Gadis memberi isyarat pada Sri untuk keluar dari kamarnya, lalu gadis cantik itu kembali mondar-mandir tidak karuan. Ia berhenti di depan jendela lalu tersenyum sempringah saat sebuah ide cemerlang memasuki otaknya.
*
Gadis berjalan menggunakan caping di kepala dengan pakaian terlusuh yang ia punya sebuah rok bahan dan kameja lengan panjang seperti yang biasa digunakan oleh para petani sayur yang bekerja di ladang milik Romonya, menyelinap dari gerbang belakang berjalan dengan peluh yang membanjiri tubuhnya, jarak antara rumah dan ladang sayur sejauh dua kilo meter ia lalui tanpa mengeluh karena besarnya tekad yang tumbuh di hatinya.
Hari yang menjelang sore membuat ladang telah sepi, para petani sudah selesai dengan aktifitasnya membuat ia dapat leluasa berjalan tanpa banyaknya mata yang memandang curiga. Tidak jauh darinya ia melihat banyak mobil bak terbuka yang siap mengangkut sayuran hasil ladang ke berbagai tempat, membuatnya kebingungan mana mobil yang harus ia tumpangi.
Bibirnya tersenyum melihat dua orang anak kecil yang lewat di depannya, sebuah acungan jari ia dapatkan sebagai jawaban dari pertanyaannya. Tanpa lama menunggu Gadis berjalan mengendap-endap dan menaiki bagian belakang mobil itu, menyembunyikan dirinya di antara banyaknya karung berisi sayuran. Wortel, kentang, kembang kol, daun bawang, seledri, tomat dan cabai menjadi teman perjalanannya.
Rasa pegal karena duduk diposisi tidak nyaman dan terhimpit karung sayuran tidak ia pedulikan yang penting dia bisa menyelamatkan sang pujaan hati dari perjodohan dengan sang kakak, entah bagaimana caranya akan ia pikirkan nanti.
*
Hari sudah gelap saat ia sampai di tujuan, mobil yang ia tumpangi berhenti di pintu belakang hotel yang pastinya berhubungan langsung dengan dapur saat sang sopir lengen Gadis langsung turun dan meninggalkan tempat itu, berjalan menuju halaman depan hotel untuk mencari sang pujaan hati sambil memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Ia merutuki diri kenapa di saat seperti ini otaknya justru tidak bisa berpikir, hingga ia berjalan sambil melamunkan apa yang akan ia lakukan, hingga sebuah mobil yang melesat cepat nyaris menabraknya.
"Aaaaa ...." Gadis berteriak dramatis bukan hanya karena terkejut hampir tertabrak mobil tapi juga karena menyadari mobil siapa yang hampir menabraknya, sepertinya Tuhan begitu baik padanya hingga begitu mudah mereka bertemu.
Itu mobil yang tadi siang ia lihat mendatangi rumahnya, mobil lelaki tampan yang menjadi pujaannya. Pintu kemudi terbuka tanda sang sopir akan keluar untuk menemuinya, mungkin untuk menanyakan keadaannya. Tetapi di saat seperti ini tiba-tiba ide segar menyapa, Gadis langsung berlari dan membuka pintu penumpang lalu memasukinya, membuat seorang lelaki tampat terkejut karena kelakuannya.
"Mau apa kamu?"
"Tolong, saya!" bisik Gadis lirih sambil memegangi lengan lelaki itu.
"Saya mohon, Mas, tolong saya." Tidak ia pedulikan wajah Nicholas yang meringis aneh Gadis langsung menaiki mobil, duduk di sebelahnya sambil menutup pintu.
Seorang lelaki berseragam hitam yang semula turun untuk melihat keadaan wanita yang nyaris ditabraknya melongokkan kepala dari pintu kemudi yang terbuka, "ada apa Tuan? perlu saya panggil keamanan?"
Gadis menggelengkan kepala dengan mata berkaca penuh pinta, dan jangan lupakan tangannya menggenggam erat lengan lelaki yang selalu menghampiri mimpinya.
"Tidak perlu," jawab Nicholas penuh wibawa, sang supir mengangguk patuh lalu kembali berdiri di samping mobil setelah menutup pintunya.
"Kamu ini siapa kenapa aku harus nolongin kamu hah?" tanya Nicholas ketus, walau dalam hatinya terselip rasa tidak tega melihat gadis secantik dia terlihat kepayahan dengan raut wajah penuh ketakutan.
"Nama saya Gadis."
"Gadis." Nicholas menggumamkan nama itu dengan sebelah alisnya terangkat merasa aneh, Gadis yang melihatnya memjadi semakin gemas, sudah lama ia memimpikan lelaki ini dan sekarang dia ada, benar-benar nyata di hadapannya.
"Saya, dari desa yang jauh dari sini, saya kabut karena Bapak mau menikahkan saya dengan juragan Doli!" ujar Gadis mengarang cerita dengan nada bicara yang ia dramatisir.
"Kenapa kamu kabur, bukankah hal baik bisa menikah dengan seorang juragan?" tanya Nicholas.
"Tapi saya mau di jadikan istri ke delapan, Mas. Coba bayangkan, masa saya jadi istri ke delapan, kalau istrinya di gilir setiap hari kapan saya dapet giliran, belum lagi kalau saya disiksa sama ke tujuh istrinya yang lain?" Nicholas mengerutkan dahinya, sepertinya ia mulai percaya dengan apa yang Gadis katakan.
"Tolong saya, Mas. Saya akan melakukan apa saja untuk membalas kebaikan Mas ganteng. Saya janji." sambung Gadis, ia tidak mau kalau sampai Nicholas batal menolongnya.
"Kenapa saya harus nolongin kamu?" jawab Nicholas angkuh.
"Karena saya yakin, Mas Ganteng ini orangnya baik. Saya janji akan melakukan apapun asal bisa pergi jauh dari sini!"
"Baiklah, melakukan apapun, oke!" Gadis mengangguk cepat tanda setuju.
"Tapi lepasin dulu tangan saya!" ujar Nicholas sebelum mengetuk jendela memberi tanda agar sang sopir masuk dan mereka melanjutkan perjalanan.
Gadis melepaskan lengan Nicholas yang sedikit memerah karena bekas tangannya, lalu tersenyum senang karena rencananya berhasil.
*
Keheningan membersamai perjalanan mereka, entah telah sampai di mana kini. Tatapan teduh Nicholas berikan pada Gadis yang sesekali menundukkan pandangan karena debaran kencang di dadanya terlebih saat Nicholas menekan tombol untuk menaikkan sekat pembatas mobilnya dengan ruang kemudi hingga sang sopir tidak akan tahu apa yang terjadi di belakangnya.
"Kamu tadi berkata akan melakukan apapun bukan? Kamu harus tau kalau aku selalu tidak tahan duduk diam berduaan dengan gadis cantik, apa lagi dengan jarak yang berjauhan seperti ini." Nicholas menggeser duduknya hingga tidak berjarak dengan Gadis, membuat debaran di d**a gadis itu semakin terasa.
Namun, menolak pun tidak kuasa karena berdekatan dengan lelaki itu adalah yang selalu Gadis impikan. Hingga ia menurut saja saat Nicholas menangkup kedua pipinya dengan tangan besarnya lalu mulai mengecupi bibirnya, sengaja Gadis sedikit membuka bibir tipisnya memberi celah agar Nicholas bisa melumatnya.
Kedua tangan Gadis yang semula diam di pangkuan kini telah berpindah ke belakang kepala Nicholas.
"Sayang, Aahh," erangan dan gumaman tidak berhenti terdengar dari mulut Gadis.
Hingga wanita itu merasakan tepukan di pipinya.
"Heh! Bangun! kamu mimpi apa, sih?"
"Hah?"