6. Pernikahan

1349 Words
Suasana di luar tampak cukup ramai dengan adanya banyak tamu undangan yang telah berkumpul. Mobil-mobil mewah berjajar rapi di depan pelataran rumah Ara yang mendadak menjadi tempat parkir bagi para tamu undangan. Beruntunglah halaman rumah gadis itu cukup luas untuk dapat menampung mobil-mobil mewah yang datang ke rumahnya. Sementara di dalam ruang rias, kini para make-up artis (MUA) tampak sibuk mendandani Ara. Ada yang sibuk membenahi rambutnya agar bisa disanggul dengan rapi dan ada yang sibuk menyapukan foundation untuk memoles wajahnya agar semakin terlihat cantik di hari spesialnya ini. "Kalau yang didandaninya udah cantik kayak gini mah, ntar hasilnya gak usah diragukan lagi. Apalagi wajahnya udah mulus banget sampai komedo aja gak berani nongol, pori-pori wajah juga kecil. Cucok deh, suka saya kalo dandani yang kayak gini." MUA yang merupakan lelaki itu kini tampak sibuk memuji wajah Ara yang memang sudah cantik tanpa polesan make-up. Ara yang mendengarnya hanya tersenyum samar dan kembali memejamkan kedua matanya saat kak Arin--MUA-- yang katanya merupakan MUA hits di kotanya sedang menyemprotkan entah apa yang seperti cairan bening ke mukanya. Katanya sih untuk mengunci make-up agar tahan lama dan tidak mudah luntur. "Say, kok rambut kamu rontok ya? Padahal rambutnya alus banget loh, gak tega kalo ada yg rontok gini jadinya." Ara yang mendengarkan hair stylist-nya mengatakan hal itu, ia hanya bisa tersenyum masam meskipun hatinya merasa sesak. "Mungkin aku gak cocok pakai shampoo kak." Usai mengatakan hal itu, kini hairstylist itu tampak memberikan ceramah pada Ara. Ia juga menyarankannya untuk memakai beberapa shampo dan conditioner yang sekiranya cocok dengan rambutnya agar tidak rontok. Ara hanya mengangguk dan sesekali tersenyum, karena ia tau itu semua rasanya percuma. Mungkin rambutnya rontok karena efek obat yang dikonsumsinya, meskipun ia kurang yakin juga. Meskipun Ara sakit, tapi ia sama sekali tidak ingin mencari tau tentang penyakitnya. Ara hanya tau ia sakit apa, tapi ia memilih untuk tidak ingin tau lebih dalam lagi, karena Ara belum cukup siap untuk merasa takut lebih dari ini. Setelah beberapa saat lebih memilih untuk memejamkan kedua matanya selagi menunggu wajahnya dirias, kini Ara kembali membuka matanya saat MUA tersebut berkata kalau riasan wajahnya sudah selesai. "Cantik banget sumpah, baru kali ini aku dapat pelanggan yang cantik dan senatural ini sewaktu dirias. Selfi bareng yuk say, mau kujadiin Ig story." Ara hanya mengangguk pelan dan ikut berpose bersama MUA serta hairstylist-nya. Suara pintu yang dibuka membuat Ara menoleh ke arah sumber suara, dan ia mendapati sosok papanya tengah berada di ambang pintu menatap lekat ke arah putri tunggalnya. "Boleh Papa peluk anak Papa yang cantik ini?" Tanpa menunggu persetujuan, kini Ara segera berjalan ke arah Papanya dan mengulurkan kedua tangan guna memeluk Papanya erat. "Putri Papa sudah besar, kamu cantik sayang. Papa jadi gak rela ngelepasin kamu." "Papa harus rela, karena Ara gak mau jadi perawan tua." "Kamu masih muda gini mana ada jadi perawan tua." "Ish Papa." Ara memukul pelan d**a Papanya yang mulai menggodanya. "Kamu gak apa-apa kan sayang? Kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang sama Papa oke?" Deg.. Entah mengapa hati Ara tiba-tiba bergetar saat mendengarkan perkataan Papanya yang terselip nada khawatir. Ara mulai berikir apa mereka mulai menyadari keadaannya? "Ara baik-baik saja kok Pa, malahan Ara senengggg banget karena bisa menikah sama Daddy." Dengan senyum semanis mungkin yang sudah menjadi andalannya selama ini, Ara berusaha menyakinkan Papanya bahwa ia baik-baik saja. "Papa sayang kan sama Ara?" "Kamu meragukan Papa?" Ara menggeleng pelan dan kembali memeluk Papanya erat, "kalau gitu Papa jangan mikir yang aneh-aneh lagi ya, ini adalah permintaan Ara. Ara yakin kalau Ara akan bahagia setelah menikah dengan kak Calvin." Dengan menghela napas berat, kini papa Ara kembali melepaskan pelukan putrinya dan tersenyum hangat. "Baiklah sayang, Papa pegang ucapan kamu. Sudah kamu lanjutkan saja riasannya, setengah jam lagi acara dimulai." "Oke Pa siap!" Setelah mencium kening Ara secara singkat, kini Papa Ara kembali keluar dari ruang rias. Meninggalkan Ara kembali berganti baju sebelum acara dimulai. ___ Kini Calvin tengah bersiap di rumahnya. Dengan setelah m jas berwarna hitam yang melekat sempurna di badannya, membuat sosoknya tampak gagah dan tampan. Semuanya telah rapi, dengan rambutnya yang disisir rapi layaknya calon pengantin pada umumnya, sepatu mengkilap. Meski begitu, tetap saja ia merasa ada yang janggal dengan dirinya. Ia tidak begitu merasa antusias dengan pernikahan ini. Bukan karena dia tidak mencintai Ara, justru sebaliknya ia akan melakukan apa pun untuk membuat gadisnya bahagia. Mencoba menepis segala kegelisahannya, Calvin kini berjalan ke arah keluarganya yang telah berkumpul di ruang tengah. "Sudah siap?" Dengan anggukan pelan dari Calvin, maka mereka kini mulai beranjak menuju mobil yang sudah dipersiapkan untuk menuju ke tempat pengantin wanita berada. __ Dengan setelan baju berwarna putih yang menjuntai ke bawah, Ara tampak terlihat begitu cantik di sana. Dalam sebuah ruangan, ia kini berpose dengan seorang fotografer yang tengah mengedipkan layar kilat kameranya pada sosok ratu sehari mereka saat ini. "Bolehkah aku ke kamar mandi sebentar?" "Tentu Princess." Ara tersenyum paksa saat seorang pelayan diminta untuk mengantarnya ke kamar mandi. Ia ingin menolak, namun Ara sadar bahwa semua itu akan percuma. Di tambah dengan gaun panjang yang membuatnya kerepotan untuk berjalan. Mau tak mau Ara membiarkan saja pelayan tersebut mengikutinya sambil memegangi gaun belakangnya yang menggangu. Kini ia baru sadar dan menyesal karena mengiyakan saja gaun pilihan Calvin untuknya. Setibanya di kamar mandi, Ara dengan sengaja meminta pelayan tersebut untuk menunggu di luar dan tidak boleh membiarkan orang lain masuk ke dalam. Awalnya pelayan tersebut ingin menolak, namun tetap saja kekeras kepalaan Ara lebih kuat sehingga membuat pelayan tersebut menurut dan pasrah. Setibanya di dalam kamar mandi, Ara segera menarik napas panjang dan mendongakkan kepalanya ke atas. "Kumohon jangan sekarang.. kumohon, please.." Setetes air mata kembali jatuh di pipinya saat sebuah cairan merah pada akhirnya keluar dari hidungnya. Dengan segera Ara mengusap hidungnya dengan tisu yang selalu ia siapkan untuk berjaga-jaga. Ara juga tak lupa mengambil 3 butir obat yang ia selipkan di balik gaunnya dan menelannya saat itu juga. Dengan begitu ia berharap bahwa dia akan kuat, setidaknya sampai hari ini. ___ Kini tiba saatnya bagi Ara untuk masuk ke dalam ruangan dengan dekorasi yang sangat cantik itu. Perlahan Ara berjalan dengan diikuti oleh empat bridesmaids di belakangnya dengan senyum manis yang terpancar jelas di wajahnya. Sebuah tudung transparan tampak menutupi wajah cantiknya. Di samping Ara terdapat sosok yang tak kalah gagahnya tengah berjalan mengamit lengan putri semata wayangnya dengan erat. Berat rasanya melepaskan sosok putri yang sangat ia cintai, namun ia harus melakukannya dengan kebahagiaan putrinya. Setelah berada satu langkah di depan Calvin yang berdiri tegap di depan sana dengan ekspresi tegas namun terselip kehangatan saat ia menatap sosok Ara. Pria itu kini mengulurkan sebelah tangannya yang dengan perlahan dibalas oleh Ara dengan sebuah senyum manis. Gadis itu kini tak henti-hentinya mengulum senyum. Semua keinginannya sedari kecil seolah terwujud saat ia bisa bersanding di pelaminan bersama sosok yang sangat dia cintai. Ikrar janji sehidup semati kini telah diucapkan keduanya, perlahan Calvin kini mulai mengulurkan tangannya untuk menyibak tudung yang dikenakan Ara. Lalu ia terdiam selama beberapa saat, memandang dengan lekat sosok gadis yang kini telah menjadi wanitanya. Belum, gadis yang akan menjadi wanitanya cepat atau lambat. Malam ini atau malam-malam berikutnya. Perlahan, Calvin mulai mendekatkan wajahnya pada Ara yang juga mulai memejamkan kedua matanya. Menunggu ciuman dari pangerannya. "Daddy, i love you.." Sebelum bibir Calvin mendarat di bibirnya, Ara masih menyempatkan diri berbisik pelan pada Calvin. Hal itu tak ayal membuat Calvin sempat menyunggingkan seulas senyum sebelum menyatukan bibirnya dengan bibir Ara. Ciuman mereka perlahan lembut dan sangat mendamba satu sama lain. Namun perlahan Ara mulai mengalungkan kedua tangannya pada leher Calvin. Bahkan lidahnya dengan berani mulai menyelinap masuk ke dalam rongga mulut Calvin. Calvin yang mendapati sikap berani Ara hanya bisa terheran dan membalas ciuman dari gadis yang dia cintai. Hingga pada saat ketika Ara tak lagi ada pergerakan membalas ciumannya. Calvin yang semula menikmati ciuman mereka meski merasa janggal kini dibuat  semakin panik saat menyadari bahwa Ara saat ini tidak sadarkan diri dalam pelukannya. "Ara..." Suasana riuh seketika, para tamu undangan yang semula menyaksikan dengan hikmat kini berbondong-bondong melihat ke arah Calvin yang tengah membopong Ara dalam keadaan tak sadarkan diri. To be Continued...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD