“Kak Bisma, lanjut, dong! Aku, kan, belum dapet giliran," seru Mutiara.
Saat permainan masih berlanjut, Crystal menarik tangan Emerald karena ingin bicara. Gadis itu hanya ingin melakukan protes untuk aksi Emerald yang beranjak move on darinya. Emerald dan Crystal menjauh, Ruby hanya menatapnya dengan ekspresi dingin.
Keduanya berhenti di dekat pohon beringin. Emerald melepaskan tangan Crystal karena tak ingin lagi mantan kekasihnya ini posesif padanya.
"Kamu mau apa, Crys?" tanya Emerald, heran.
"Maksudnya tadi apa? Kamu mau ngelupain aku dan jadian sama Mutiara? Sanggup kamu bicara gitu di depanku?" kesal Crystal.
"Apa aku salah bicara?"
"Kamu gak punya pikiran! Padahal dari tadi kamu tau aku itu cemburu liat kamu sama dia, harusnya ...."
"Harusnya apa, hm?"
Emerald menyela kemarahan Crystal. Dia menatap lekat-lekat manik netra gadis itu dan memegang kedua bahunya.
"Harusnya aku apa? Sakit setiap hari ngeliat kamu mulai jatuh cinta sama tunangan kamu? Apa aku harus terus tunggu cinta kamu yang ga bisa lagi kumiliki?"
Emerald prostes keras untuk rasa sakitnya. Crystal hanya menunduk. Benar, dia juga mulai menyukai Ruby, tetapi entah kenapa bayang Emerald masih selalu menghantuinya.
"Apa kamu bersedia putus sama dia dan balik sama aku?" pinta Emerald.
Crystal terkejut. Dia tak bisa menjawab apa pun. Tak sengaja menoleh, Ruby sedang berdiri di sana. Sebenarnya dia menanti akankah tunangannya ini memberi kejelasan tentang posisi dua pria ini dalam hatinya.
"Aku ga bisa nentang keinginan orangtuaku, Al."
"Jangan terus pakai alasan 'orangtua', Crys! Kamu punya perasaan sama dia! Kamu cuma gak rela aja aku jatuh cinta sama cewek lain!"
Crystal menunduk, Ruby pun pergi meninggalkan pijakannya. Tak ada jawaban. Emerald sebenarnya merasa kecewa karena Crystal sudah menempatkan Ruby pada posisi yang dulu miliknya.
"Jangan gini, Crys! Kamu udah nyakitin aku dan buang aku. Apa kamu juga mau berbuat gitu ke dia? Seharusnya kamu bisa tegas sama hati kamu sendiri."
"Aku cuma gak bisa milih."
"Apa kamu tau gimana rasa sakitnya saat orang yang kamu cintai itu berbagi hatinya untuk orang lain? Aku harap kamu gak akan ngalamin nasib yang sama. Mulailah berpikir dewasa, Crystal!"
Emerlad meninggalkan Crystal. Nasihat sang mantan mulai menggoyahkan perasannya. Ruby atau Emerald? Dia mulai menyayangi Ruby, tetapi melepaskan Emerald sepenuhnya pun terasa sulit.
"Aku harus apa?" lirihnya.
Crystal pun mencari keberadaan Ruby. Dia menyusuri jalan setapak di mana sempat melihat Ruby berjalan ke arah sana. Tak lama, Crystal sampai ke bukit kecil yang sedikit temaram karena lampu di sekitar, tetapi cukup terang dengan sinar rembulan.
Crystal mendekati Ruby yang sedang berbaring di rerumputan. Tunangannya itu menatap langit dengan bias wajah dingin.
"Ke sini gak ngajak-ngajak aku," keluh Crystal, hanya dibalas senyum tipis Ruby.
Ruby belum bicara, berbaring menyamping sambil bersidekap karena udara malam cukup dingin. Crystal pun merapatkan jaketnya untuk menghindari udara yang menyusup ke kulitnya.
"Aku minta maaf karena belum bisa sepenuhnya lupain Al. Aku gak bisa bohong, aku cemburu ngeliat dia dekat sama Mutiara."
Tak ada jawaban. Crystal menoleh pada Ruby. Pria itu menutup mata sesaat, mungkin dia sedikit kesal pada Crystal.
"Cinta itu rumit, ya! Aku pengen dekat sama kamu terus, tapi aku gak suka kalau Al mulai move on dariku. Aku maunya gimana, sih?" oceh gadis belia itu lagi.
Keheningan mengisi keduanya. Crystal menatap langit kelam, seakan ingin menghitung tiap bintang yang bertabur di atas sana.
"Seru juga kalau misalnya ada bintang jatuh," katanya, lagi.
Crystal hanya menghela napas karena tak ada tanggapan dari Ruby. Sepertinya pria itu benar-benar tertidur. Masih dia ingat bagaimana ekspresi marah Ruby sore tadi. Tentu saja dia tak ingin berulah lagi.
Crystal menoleh pada jam tangannya. Tak ada tanda-tanda kejutan dari Ruby perihal ulang tahunnya yang hanya tinggal hitungan menit. Senyumnya memudar. Hari ini justru kacau karena cinta dan egonya terhadap dua pria ini.
Crystal pun kembali menatap langit, menelan semua keindahan itu ke dalam manik matanya.
'Aku berharap bisa selamanya dengan Ruby. Jadi please, biarin aku ngelupain Al, Tuhan. Aku yakin Ruby bisa bahagiain aku,' batinnya.
Belum ada sapaan dari Ruby. Menit terus berlalu hingga tak terasa sudah hampir setengah jam. Sudah lewat jam dua belas. Karena lelah, Crystal pun ikut berbaring di samping Ruby.
"Hei, kamu ga mau ngucapin selamat ulang tahun buatku?" kata Crystal, menggoda Ruby.
Wajah mereka berdekatan, hanya berjarak sejengkal saja. Crystal tersenyum menatap tiap lekuk wajah pria itu. Sangat tampan. Bulu matanya hitam dan panjang. Garis hidungnya cukup tajam dengan lekuk bibir yang cantik. Ruby. Dia benar-benar terlihat seperti permata berharga yang bisa menyihir wanita hingga gila.
"Aku sayang sama kamu, Ruby," bisik Crystal.
Tak Crystal sadari, bintang jatuh tepat melintas di langit sana. Itu adalah hadiah tepat di hari ulang tahunnya.
"Jadilah milikku, Ruby. Aku ingin cuma ada kamu di masa depanku," ujarnya.
Wajah tertidur Ruby terlihat tak nyenyak. Keningnya mengerut seakan dijerat mimpi buruk. Saat menyentuh pipi Ruby, Crystal terkejut karena suhu tubuh pria itu cukup tinggi. Bodohnya. Bahkan Ruby sudah setengah jam tidur di tengah cuaca dingin.
"Ruby demam? Apa karena lukanya infeksi, ya?"
Crystal pun mengambil kedua tangan Ruby untuk mengusapnya di antara sela kedua telapak tangannya. Cemas sekali. Saat menghubungi Morgan, tak ada sahutan di sana. Beberapa kali panggilan terlewat begitu saja.
"By, bangun!"
Ruby belum membuka mata meskipun Crystal terus menggoncang bahunya.
"Maaf, maafin aku. Ini semua karena aku," lirih Crystal, cemas.
Karena tak ada jawaban, Crystal mengirimkan pesan chat saja pada Morgan.
Di saat Crystal sibuk menjaga Ruby, Morgan justru sibuk mengejar cinta Intan, tetapi si Intan ini justru asik mengejar kodok.
Hap! Lagi-lagi, Intan gagal menangkap kodok. Kodok-kodok itu sepertinya enggan menghampirinya. Morgan terpingkal-pingkal tawanya karena Intan justru terlihat seperti kodok baginya.
“Tan, jaim dikit kenapa, sih? Gue ini Morgan, idola sekolah. Ya kayak cewek-cewek lain, lah, jaga image gitu. Lo gak takut gue ilfeel sama lo?” kekeh Morgan.
Intan tersenyum kecut, tak peduli. Netranya mengedar mencari korban lainnya. “Gue gak peduli gimana penilaian lo ke gue. Kan, udah gue bilang, gue bukan tipe lo. Kenapa gue mesti jaim-jaim di depan lo? Gue juga ga peduli lo ilfeel atau gak sama gue. Gue lebih peduli sama perasaan kodok ini ke gue.”
"Aih, oke. Gue bantuin lo nangkep kodoknya. Tapi jangan sampai lo ilfeel sama gue, ya! Gue ikut lompat-lompat juga kayak kodok,” seru Morgan.
Intan hampir tergelak tawanya kala Morgan juga ikut-ikutan melompat menangkap kodok. Pesona playboy Golden ini seperti terbanting 180 derajat.
‘Untung aja gak ada sebiji pun sayang-sayangnya yang ikut camping kali ini. Bisa-bisa, fansnya turun drastis,’ batin Intan.
Ketika hendak menangkap kodok bersamaan, kodok itu meloncat jauh hingga dahi keduanya justru bertabrakan. Bruk!
“Aduhhh! Sakit banget, nih. Keras banget kepala lo, Tan!” keluh Morgan.
“Setan, lo! Kepala lo itu yang kayak batu. Sakit,” keluh Intan sambil mengusap-usap dahinya.
Mereka lebih memilih duduk di atas rerumputan tanah. Hari semakin larut, mereka kesal karena hanya mendapat satu kodok.
“Ah, capek! Ntar gue bilang aja sama si bule kalau kodoknya udah migrasi ke tempat lain. Atau ... lagi touring ke desa sebelah!” kesal Intan.
Morgan senyum-senyum, hanya memandang langit kelam yang tampak indah karena begitu banyak bintang di langit, seperti taburan diamond. “Lo cantik, Tan.”
Intan terkejut. Nyaris saja kodok itu tewas karena diremas kuat oleh Intan. Kodok sebagai korban bagi Intan meredam hatinya yang hendak meledak.
“Ya, iyalah gue cewek, pasti cantik. Masa ganteng, sih?” elak Intan, lagi.
“Kalau gue minta sekali lagi lo jadi pacar gue, lo mau, gak?”
Morgan menatap serius. Untuk sesaat, mereka tak bicara.
Intan terlihat gugup, tetapi dia sangat mahir meredam gelak emosinya. “Gue emang gak cantik, tapi gue gak bodoh. Gue emang belum pernah pacaran sebelumnya, tapi bukan berarti gue gak ngerti sama sekali. Gue gak mau dimainin gitu aja. Apalagi sama cowok kayak lo.”
Morgan menghela napas dan berkata, “Gue suka sama lo seperti gue suka ke Wita.”
Intan menunduk sesaat. 'Suka? Apa? Apa itu pernyataan cinta? Ga mungkin, gue ga boleh tertipu,' batinnya.
Intan tergelak tawanya, hanya menganggap ucapan Morgan sangatlah lucu buatnya.
“Kenapa lo ketawa?” tanya Morgan.
"Tampang lo serius banget. Kayak mau ujian aja. Lo mau jadiin gue pelarian lo yang ditinggal Wita? Come on, Gan. Gue masih punya pikiran. Seandainya gue emang suka sama lo, gue gak ....”
Intan bungkam. Morgan mencuri ciuman lagi di pipi Intan. Detik demi detik terus berlalu. Kali ini, Intan tak bisa berbohong tentang perasaannya pada Morgan.
“Gue serius. Ini udah kedua kalinya gue nembak lo. Gak ada yang ketiga kalinya, gue tinggal nunggu jawaban lo aja. Kalau emang lo punya perasaan yang sama, lo tinggal jawab ke gue. Gue siap melepas predikat playboy gue buat lo!”
Intan benar-benar terkesima. Morgan lebih memilih pergi meninggalkannya. Ketika yakin Morgan sudah jauh darinya, Intan meloncat kegirangan.
“Yeee! Morgan nembak gue?”
Emosi cinta seakan membuncah dari dadanya. Sementara itu, Crystal masih terus menghangatkan Ruby. Tak lama, Ruby terbangun dan menyadari kepalanya ada di pangkuan Crystal.
"Kita balik ke tenda, ya!" cemas Crystal.
Ruby melihat wajah cantik Crystal berada tepat di atas wajahnya. Sangat cantik. Ruby mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Crystal.
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucapnya.
Tak ada balasan dari Crystal. Dia hanya menikmati usapan lembut Ruby di pipinya. Keheningan malam menemani detak cinta mereka.
"Jadi ... udah boleh, 'kan?" tanya Crystal.
"Apanya?"
"Aku udah delapan belas tahun, Ruby."
Ruby tersenyum. Dia segera bangkit dan duduk di hadapan Crystal. Sedari tadi dia memperhatikan bibir cantik Crystal yang mengkilap berlapis liptin. Pria mana yang tak tergoda dengan bibir itu? Ruby hanya tersenyum tipis, berusaha meredam hasratnya itu.
"Udah ketemu jawabannya?" tanya Ruby.
"Jawaban apa?"
"Antara aku dan Emerald, udah tau siapa yang lebih kamu cintai?"
Crystal belum menjawab. Ruby mengerti. Dia mengambil posisi di samping Crystal dan bersandar di bahu mungil tunangannya itu.
"Gak apa-apa, aku juga gak buru-buru, kok. Aku akan tetap tunggu kamu, Crys."
"Aku takut kamu makin jauh, By. Gimana nanti kalau Cassandra datang lagi?"
Ruby beranjak duduk. Tatapan Crystal sangat khawatir. Gadis kecilnya ini cemburu, tetapi dirinya juga sedang mengisi hatinya dengan sang mantan kekasih.
"Ini ulang tahun kamu, 'kan? Kamu minta kado apa dariku?" tanya Ruby.
"If you wanna love me, so please, kiss me!"
Ruby belum bereaksi. Crystal menatapnya dengan penuh harap. Entah kenapa binar matanya terlihat sedih.
"Di hatiku masih ada Al, karena itu ... aku berharap kamu bantu aku untuk nyingkirin dia. Aku cuma mau kamu jadi satu-satunya, By."
"Apa kamu maksain hati kamu untuk nyediain tempat buatku? Aku akan cium kamu kalau udah gak ada Emerald."
Crystal kecewa karena Ruby masih keras kepala. Dia lebih mendekat sambil mengusap lembut pipi hangat Ruby.
"Jangan paksa diri kamu! Aku gak akan cium kamu kalau kita belum saling mencintai," ujar Ruby.
"Kalau gak dicoba, siapa yang tau? Cinta bisa dipaksa hadir, Ruby. Wanna try it? It starts with a kiss."
Haruskah? Ruby sedikit ragu untuk memulai. Crystal bisa melihat itu dalam matanya. Meski Crystal tahu Ruby juga menyukainya, entah bayang apa yang sampai saat ini menahan perasaan Ruby.
'Semua ini pasti karena Cassandra!' rutuk batin Crystal.
Nama itu membuat Crystal cemburu. Tidak, Ruby miliknya. Keheningan Ruby membuatnya kesal.
"Aku gak suka kalau tunanganku mikirin cewek lain saat dia bersamaku."
Posesif. Binar mata Ruby terbuka lebar saat gadis kecilnya itu menariknya lebih dekat agar bisa menciumnya tepat di bibir. Jantung Ruby berdegup kencang. Ruby belum membalas itu. Apakah ini nyata?
Crystal tenggelam sepenuhnya. Hasratnya menggebu saat menciumi Ruby. Jantung Crystal berdesir saat menenggelamkan lower lip penuh Ruby.
'I'm going crazy! It's really soft,' batinnya.
Entah kenapa Ruby belum membalasnya. Apakah memang Ruby belum siap? Crystal tak peduli. Dia hanya ingin menunjukkan pada Ruby bahwa dirinya serius ingin memiliki putra tertua keluarga Alexander itu.
Kecupan itu terhenti. Ruby masih tak percaya. Bahkan baru satu jam yang lalu dia cemburu karena Crystal masih memiliki perasaan pada Emerald. Apakah ini jawaban Crystal?
"Ruby ... aku gak mau berpaling lagi. Jadi tolong, mulai cintai aku, ya!" pinta Crystal.
Walau tersenyum, entah mengapa Crystal menangis. Itu karena dia menyadari dirinya mulai mencintai Ruby. Yang menyakitinya adalah kenyataan bahwa Ruby masih menyimpan wanita lain dalam ingatan dan hati terdalamnya.
"Tolong, jangan pernah tinggalin aku kalau dia datang nanti. Aku cuma mau kamu, Ruby. Aku gak tau apa aku sebaik dia, tapi please ... kasih aku kesempatan lagi."
"Crys ...."
"Gak masalah kalau aku bukan prioritas. Gak masalah kalau aku cuma pilihan kedua. Aku pasti baik-baik aja asal kamu gak nyingkirin aku nantinya."
Hati Ruby terhenyuh. Dia segera memeluk tubuh mungil gadis itu dalam dekapannya.
"Jangan mengemis serendah itu padaku, Crystal. Kamu itu berharga buatku, bahkan mungkin kamu jauh lebih baik dari dia. Aku minta maaf. Apa kebimbanganku ini nyakitin kamu?"
Crystal tersenyum dan mengangguk. Ruby terbius sepenuhnya. Gadis cantik ini akan semakin cantik saat menangis. Dan kini, dia justru tersenyum manis sambil berderai air mata.
"Apa sekarang aku ini ... beneran tunangan kamu?"
Ruby bertanya serius. Pernah dulunya Crystal berkata hanya menganggap dirinya calon tunangan. Dia akan menerima hubungan manis itu jika hati mereka mulai terjalin.
"Hm. Jadi tolong janji sama aku, By, kalau Cassandra balik, tolong pikirkan lagi hari ini. Jangan singkirin aku semudah itu, ya? Aku beneran bisa lebih baik dari dia, kok. Cukup biarkan aku di sisi kamu. Gak apa-apa kalau kamunya nanti lebih mencintai dia. Atau ... aku gak masalah kalau cuma jadi selingan dan ...."
Begitu manis gadis cantik ini menggodanya. Ruby tak bisa menahan diri lagi. Ya, dia akan belajar menerima sepenuhnya Crystal. Ikatan mereka mulai terjalin beriring kecupan. Perlahan takdir akan menuntun mereka seiring waktu.
Tak jauh dari mereka, Morgan akhirnya tiba setelah membaca pesan dari Crystal. Dia keki mendapati nuansa romantis saat keduanya bermesraan di bawah gemerlap bintang di langit.
"Lah, m*nyet! Gue ke sini buat apaan, ya? Dasar! Bikin iri aja."
Tak ingin mengganggu, Morgan pun pergi meninggalkan keduanya. Setidaknya hari ini, hubungan mereka melaju setingkat.
Crystal sangat bahagia. Sesekali dia mendengar hela napas berat Ruby yang berhembus di permukaan kulitnya saat ada jeda pada kecupan mereka.
'Aku cinta kamu, Ruby,' batinnya.
*