Di Rumah Mertua

1505 Words
Rumah ibu mertua berjarak kurang lebih 11 kilometer dari rumah yang aku dan mas Haris tempati. Rumah kami ini adalah hasil jerih payah mas Haris selama bekerja di pulau seberang. Mas Haris membeli rumah ini tepat setelah satu Minggu ijab Qabul di laksanakan dan tentu saja setelah berdiskusi denganku. Tidak banyak yang berubah dari rumah ibu mertua ku dari terakhir aku berkunjung kemari sekitar dua bulan yang lalu. Ya, aku adalah tipe menantu yang tidak akan mengunjungi mertuanya jika tidak bersama sang suami. Entahlah, mungkin karena sudah kebiasaan dari gadis yang lebih betah berada di rumah sendiri daripada di rumah orang lain, meskipun itu rumah keluarga suami sekalipun. "Buuuuuuuu. Mas Haris pulang buuuuu." Terdengar teriakan penuh antusias dari Anita adik iparku dari dalam rumah, sesaat setelah motor yang kami tumpangi berhenti di halaman rumah yang cukup luas, dan terdapat pohon rambutan yang sedang lebat buahnya di sisi halaman. Tak lama berselang, pintu rumah pun terbuka dan muncul sosok perempuan tua dengan gaya rambut yang di ikat sanggul keatas. Kami pun langsung menghampiri beliau, meraih tangannya dan menyalaminya dengan takzim. Perempuan tua yang usianya mendekati 70 tahun itu, mengelus kepala mas Haris dengan perasaan sayang. Terlihat sekali ada rindu yang telah lama terpatri dari sorot matanya. "Assalamu'alaikum bu. Sehat?" Ucap Mas Haris setelah mencium tangan ibunya dan memeluknya sesaat. "Alhamdulillah, sehat." Balas ibu yang juga memeluk anak lelaki satu-satunya ini. Kini, giliran ku yang mencium tangan ibu mertua ku sambil menyerahkan sedikit tentengan yang tadi sudah ku persiapkan dari rumah. "Terimakasih, kamu ini segala repot-repot saja Naura." Ucap ibu yang aku tahu hanya berbasa-basi. Ibu memelukku sekilas dan mengajak kami semua masuk ke dalam rumah yang masih bergaya tradisional ini. Memasuki ruang tamu, aku lihat ibu memberikan tentengan yang tadi aku bawa ke Anita. "Istirahat dulu ya, ibu tak ke belakang dulu." Ucap bu Ngatmi, ibu mertua ku. Aku dan mas Haris hanya saling lirik sekilas, lalu kami memasuki kamar semasa suamiku bujang untuk beristirahat. Padahal, di perjalanan tidak terlalu capek karena jarak yang juga tidak terlalu jauh, tapi kenapa setiap melihat kasur rasa-rasanya tubuh ku seperti menuntut untuk segera di baringkan. *** Setelah merasa cukup beristirahat, aku pun memilih untuk keluar dari kamar. Tidak enak rasanya kalau berlama-lama di dalam kamar, padahal posisi masih berada di rumah mertua. Seolah ada perasaan tidak nyaman yang bergelayut di dalam hatiku. "Bagaimana nak, kamu sudah hamil?." Tanya ibu mertuaku saat aku baru saja keluar dari kamar dan kami tak sengaja bertemu di dekat sekat antara ruang tamu dan ruang tengah.. Mendengarnya aku sedikit terhenyak. Baru juga menginjakkan kaki dirumah ini, sudah mendapat pertanyaan macam ini. Bagaimana aku bisa segera hamil, aku saja baru bertemu suamiku lagi setelah dua bulan kami terpisah jarak dan waktu. "Belum Bu." Jawabku singkat saja. Aku masih berusaha menggunakan suaraku yang paling biasa agar tidak menyinggung perempuan itu. "Mohon doanya saja ya bu." Sambung ku lagi dengan seutas senyum yang aku sunggingkan untuknya. "Kok lama sih, Nak? Si suci tetangga belakang rumah saja sudah hamil loh. Padahal kalian duluan yang menikah, cuma selisih satu Minggu saja." Terang ibu panjang lebar dan tentu saja sangat menyinggung perasaanku. "Apa-apaan dia nyerocos macam ini, emang suami si suci juga sama-sama pergi merantau gitu?" Teriakku yang hanya mampu terucap dalam hati. Ya, jelas saja hanya dalam hati, mana berani aku mengucapkannya secara langsung, bisa-bisa aku di serang oleh pasukan para Ipar. Lagi pula, aku sungguh-sungguh tidak ingin menyinggung perempuan yang sudah melahirkan kekasihku itu. "Haris kan dirumah belum ada seminggu Bu. Bagaimana bisa Naura hamil sedangkan kami saja baru mulai berhubungan lagi tadi malam." Mas Haris pun angkat bicara dan membelaku di depan ibunya. Bagaimana aku ngga makin cinta coba? Di saat orang lain meremehkan dan merendahkan aku, suami ku hadir bagai pahlawan yang akan melindungi ku. Ahh... So sweet sekali.. "Aah, Alhamdulillah pangeran ku membelaku." Jeritku lagi dalam hati, dengan hati yang penuh dengan taman bunga saking bahagianya. Ada perasaan haru dan malu sebetulnya. Haru karena bersyukur suamiku mau jadi penengah antara aku dan keluarganya. Malu karena mas Haris membuka aib yang seharusnya hanya menjadi milik kami berdua saja. Namun, ternyata penjelasan mas Haris tidak cukup memuaskan bagi ibu mertuaku. Beliau sepertinya cukup tersinggung karena mas Haris sudah berani menjawab kata-kata ibunya. Setelah mendapat jawaban dari mas Haris, beliau langsung berlalu meninggalkan kami berdua dengan langkah yan sedikit di hentak-hentakkan. Dan, kami hanya diam mematung sembari memperhatikan langkah perempuan tua itu yang sepertinya sedang merajuk. *** Sepeninggal ibu mertuaku, mas Haris langsung menggenggam tanganku dengan erat dan menciuminya berulang kali. Dia mengangkat wajahku yang tertunduk agar dapat menatap matanya. Mas Haris mengusap pipiku lalu meraihku ke dalam pelukannya. Ahh, inilah tempat ternyaman bagi seorang istri. d**a suami yang selalu dirindukan. "Maaf ya sayang, mas ngga nyangka ibu akan berkata kaya begitu, walaupun kedengarannya ucapannya biasa aja tapi untuk seorang perempuan mas tahu pasti sangat menyinggung perasaan. Mas minta maaf atas nama ibu ya sayang." Ucap Mas Haris panjang lebar dengan kata-kata yang teramat menyejukkan telingaku yang sempat memanas karena perkataan ibu mertua tadi. "Iya mas, ngga apa-apa. Mungkin ibu ngga sabar ingin punya cucu dari kita berdua, secara mas kan anak laki-laki satu-satunya." Jawabku dengan tenang dan berusaha menunjukkan sisa kekuatan yang ada agar tidak kembali menyinggung perasaan suamiku. Aku tidak ingin mas Haris melihat aku menangis. Meskipun secara sadar, kata-kata ibu mertuaku betul-betul membuatku rapuh. Sugesti bahwa aku harus kuat telah tertanam dalam alam bawah sadar ku sejak mas Haris mengajakku untuk menginap disini. Dan benar saja, aku memang benar-benar harus kuat dalam menghadapi keluarga suamiku. Aku yakin pertanyaan semacam ini akan terus bermuculan hari ini, entah dari iparku jika mereka berkunjung, atau dari tetangga sekitar rumah ibu mertuaku yang memang tingkat keponya masih sangat tinggi. Maka, untuk menghindari sakit hati berlanjut, aku membentengi diri dengan sebaik mungkin. *** "Ibu mau masak apa?" Tanyaku hati-hati sembari memperhatikan ibu mertuaku yang sedang mengupas bawang di dapur. Sengaja aku mendatangi ibu mertuaku siapa tau beliau membutuhkan bantuan ku. Bisa jadi dengan aku melakukan ini, sikap ibu mertuaku akan sedikit melunak. "Ikan bawal goreng sama sambal bawang kesukaan Haris. Lama Haris tidak pulang, pasti dia rindu masakan ku." Jawab ibu mertua penuh percaya diri. "Iya bu, emang mas Haris suka bilang ingin makan masakan ibu makanya ngajak Naura nginap di sini." Jawabku hati-hati agar tidak menyinggung perasaan ibu mertuaku dan tetap mencoba untuk mencairkan suasana. "Aku yakin Haris pasti kangen masakan ku. Kapan lagi dia pulang dan bisa makan masakan ku ini." Jawaban ibu mertua yang semakin percaya diri setelah mendengar jawabanku sebelumnya "Naura, kamu cepat-cepatlah hamil. Agar suamimu betah dirumah dan tidak lagi kembali ke perantauan. Ibu juga pengen di sanding sama Haris setiap hari. Walaupun ngga bisa ketemu setiap hari karena kalian udah punya rumah sendiri, tapi kan seenggaknya kan deket kalau ibu pengen ketemu Haris tinggal datang aja." Lanjut ibu mertua panjang lebar. Deg! Kata-kata ibu mertua yang tidak aku sangka akan keluar begitu mudahnya dari mulutnya itu. Lagipula siapa yang tidak ingin cepat hamil. Siapa pula yang mau hidup terpisah sama suami. Memangnya dia pikir, dia saja yang ingin hidup di sanding oleh Mas Haris. Ahh, astaghfirullah... Benar-benar menguras emosiku saja. Kalau sudah begini, rasanya ingin sekali aku menarik mas Haris dan cepat-cepat keluar dari rumah ini. "Iya ibu, ibu yang sabar ya, Naura sama Mas Haris sedang berusaha agar segera di berikan keturunan sama Allah." Jawabku dengan berusaha menenangkan diri walupun gemuruh dalam d**a ini bertabuh dengan kerasnya. "Jangan-jangan kamu mandul ya, ngga bisa punya anak. Dulu saja aku sebulan langsung hamil. Kamu kok lama." Cecar ibu mertua. Duar! Hancur sudah pertahanan yang aku bangun sedari tadi. Sakit hatiku begitu menusuk dalam dadaku. Entahlah aku harus bersikap seperti apa lagi. Ingin rasanya aku teriak dan membalas perkataan perempuan tua itu yang sudah seenaknya menghinaku. Tapi, aku takut mas Haris akan marah karena aku melawan wanita yang paling di hormatinya itu. "Engga bu Istriku ngga mandul. Ibu yang sabar, Insya Allah secepatnya kita kasih ibu cucu yang lucu-lucu." Tiba-tiba sosok yang aku harap akan membelaku tengah berdiri di pintu dapur. Suamiku seperti pahlawan dalam cerita fiksi yang akan selalu memunculkan diri di saat suasana genting. Betapa bahagianya diriku ini mendapat pembelaan dari sang pujaan hati. "Halah. Pasti kamu akan membela istrimu terus, Ris. Manja nanti dia malah nyusahin kamu sendiri loh." Balas ibu lagi yang seolah tidak terima dengan pembelaan mas Haris terhadapku, ibu mertua malah semakin menyudutkan aku. "Loh haris memang harus membela Naura bu, kan Naura istri Haris. Ibu lupa ya, dia kan menantu ibu." Mas Haris kembali memberikan pemahaman kepada ibunya. Namun, yang terjadi setelahnya sungguh diluar dugaan. Ibu mertua menatap sinis kepadaku dan pergi begitu saja meninggalkan aku dan mas Haris. Beliau seakan hendak mengeluarkan bola matanya dari tempatnya, dan menunjuk lehernya sendiri dengan isyarat akan memenggal kepalaku. Aku sendiri sampai bergidik dibuatnya. Niat baikku untuk membantunya di dapur, malah berakhir dengan perlakuan yang sungguh menyakitkan hati. "Aah, ibu mertuaku. Apa salah Dan dosaku padamu sampai kau begitu membenciku, ooh ibu mertuaku?" Aku bergumam sendiri dalam hati, mencoba menetralkan perasaan ku kembali yang sempat porak poranda karena ucapan ibu... ... Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD