Romi mengirim pesan padaku kalau dia akan pulang besok pagi. Karena masih ada urusan yang harus dia selesaikan dengan para petani sayur di sana. Aku mengiyakannya, menekan egoku untuk tidak terus merengek menyuruhnya segera pulang. Malam itu aku tidur sendirian lagi, hanya berteman sunyi dan suara jangkrik yang bernyanyi.
*
Romi datang cukup siang. Saat aku sedang merebahkan diri di kasur. Dia juga ikutan merebahkan dirinya. Lalu dia menoleh ke arahku.
“Sudah siap? Untuk nanti malam?” tanya dia padaku. Aku memiringkan tubuhku, hingga tatapan kami bertemu.
“Nanti malam? Memangnya ada apa?” tanyaku bingung.
“Bulan madu, biar kamu enggak kesal lagi,” jawabnya. Dia mengecup keningku lembut.
“Belum, aku masih takut,” jawabku. Aku mencoba mencari respons dari matanya, saat aku mengucapkannya.
“Enggak usah takut, kan ada aku,” jawabnya.
“Karena ada kamu, makanya aku takut,” jawabku.
Aku melihat dia tersenyum kecut.
“Siapa suruh main nikahin anak orang, pendekatan dulu kek, enggak. Main qobiltu aja depan penghulu,” ucapku dalam hati.
*
Selesai mandi, aku keluar dari kamar mandi hanya masih menggunakan handuk. Tanpa aku sadari, ada dia di dalam kamar. Dia menoleh ke arahku, saat dia mendengar langkah kakiku. Aku bisa melihat dia melihatku dan menelan ludah. Dia seperti melihat mangsanya. Aku cepat-cepat kembali lagi ke kamar mandi. Mencoba menghindari singa yang sedang lapar itu. Tapi gagal, tangannya sudah menggapai handukku. Lalu dia menariknya. Aku mencoba mempertahankan handukku. Kedua tanganku mencoba menggenggamnya dengan erat. Agar tak jatuh ke lantai dan membuat semuanya kacau. Dia menarik handukku dan aku juga menarik handukku. Aku memegang handukku dengan erat di d**a. Mencoba melepaskan tarikannya.
“Masih belum berangkat sudah nafsu,” ucapku padanya. Dia melepaskan genggamannya. Lalu keluar kamar. Apa aku salah bicara ya? Bodo amat, yang penting aku bisa memakai bajuku sekarang.
Aku mengambil celana jeansku, lalu mengambil tunik selutut dengan pundak terbuka. Aku memakainya, lalu mencarinya di luar kamar.
“Mas,” panggilku padanya. Tapi belum juga ada jawaban.
Aku melangkah keluar rumah. Tidak ada siapa-siapa di sana. Aku menjadi sedikit ngeri. Sendirian di rumah sebesar ini.
“Mas,” panggilku lagi. Tapi masih juga tidak ada jawaban darinya. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar.
“Nyariin ya?” godanya padaku. Saat aku baru saja memasuki kamar.
“Kamu dari mana?” tanyaku.
“Ke dapur, haus,” jawabnya. Tanpa rasa bersalah sedikit pun. Menyebalkan! Padahal dia sudah membuat aku merasa merinding!
“Terus, kenapa enggak jawab panggilanku,” ucapku kesal.
“Enggak dengar, aku pas balik ke kamar, kamu sudah enggak ada. Aku mengintip ke jendela. Ternyata kamu di sana, seperti sedang mencari pangeran,” godanya lagi. Aku cemberut kesal. Ternyata aku dikerjai olehnya.
“Sudah siap? Ayo berangkat, aku sudah tidak sabar rasanya,” ucapnya tepat ditelingaku. Membuatku bergidik ngeri.
“Sudah,” jawabku.
*
Sebuah vila di Kota Batu. Tidak terlalu besar. Tapi halamannya cukup luas. Aku turun dari mobil. Baru aku membuka pintunya. Hawa dingin rasanya menusuk kulitku. Aku merasa telah salah memilih baju untuk pergi kesini. Udara dingin menembus kulit. Rasanya menusuk sampai ke tulang. Dari embusan napasku saja bisa keluar kabut. Sudah seperti di film-film yang pernah aku lihat di televisi. Ternyata, tidak perlu ke luar negeri untuk bisa merasakan sensasi seperti itu. Datanglah ke sini, dan kau bisa merasakan itu.
Aku menggosok kedua telapak tanganku. Mencoba memunculkan hangat di sana. Tapi tetap saja tidak bisa mengkover rasa dingin yang aku rasakan.
Dia menurunkan koper kecil dari bagasi. Juga beberapa makanan ringan yang tadi kami beli di jalan.
“Kamu kenapa?” tanya dia saat melihatku mengusap-usap pundakku yang terbuka.
“Dingin,” jawabku.
Dia buru-buru masuk lagi ke dalam mobil. Mengambil sebuah jaket berwarna coklat muda. Lalu memakaikannya padaku.
“Aku tahu, kamu pasti membutuhkan ini,” ucapnya padaku.
“Kenapa enggak mengasih tahu aku, kalau di sini dingin,” rengekku padanya.
“Aku tidak ingin melihatmu cemberut, kalau aku memintamu berganti baju tadi. Lebih baik, aku memberi solusi, aku tidak ingin bukan madu ini menjadi kacau, hanya karena baju dan hawa dingin. Karena tanpa baju pun, nanti kamu akan merasa hangat,” ucapnya padaku. Lalu dia tertawa sendiri. Sepertinya dia sudah membayangkan sesuatu hal yang tidak-tidak.
Aku melihat ada seorang Bapak-bapak sedang berlari menuju arah kami. Lalu dia berkata.
“Nuwun sewu Pak, Bapak Romi ya?” (Permisi Pak, Bapak Romi ya?) tanya dia.
Kemudian dia mengangguk.
“Iya Pak, saya yang menyewa vila ini untuk tiga hari ke depan,” jawab Romi.
“Injih Pak, monggo kulo teraken. Mriki, kopere kulo mawon seng mbeto,” (Iya Pak, mari saya antar. Kemarikan kopernya, saya saja yang bawa) kata Pak tua itu. Aku tidak terlalu mengerti bahasa Jawa halus. Karena sudah terbiasa memakai bahasa ngoko dan bahasa Indonesia. Romi memberikan koper pada Bapak tua itu. Lalu kami berjalan di belakangnya.
“Nami kulo Basori, timbali Pak Bas mawon,” ucapnya. Lalu dia membukakan pintu vila. Dia menjelaskan setiap ruangan yang ada di sana. Setelah selesai, dia memberikan kunci itu pada Romi. Lalu, dia berpamitan untuk pergi.
Sekarang tinggal aku dan Romi, suamiku di sini. Dia mengajakku masuk ke dalam kamar. Untuk beristirahat sebentar. Perjalanan dari kota malang ke kota batu tidak terlalu lama. Tapi, kalau di karanglo macet. Bisa sampai tiga jam baru sampai di kota Batu. Begitu yang Romi ceritakan padaku tadi di mobil.
Aku selesai dari kamar mandi. Baru ingin merebahkan diri. Tapi dia menarik tanganku, dan mengajakku keluar vila. Dari sisi samping vila, aku bisa melihat banyak lampu-lampu kecil di bawah sana. Terlihat seperti bukit bintang. Indah sekali. Romi memelukku dari belakang. Dia menempelkan dagunya di pundak kananku seperti sebelumnya. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya menjalar ke tubuhku. Embusan napasnya juga terdengar jelas di telingaku. Aku merasa merinding, saat dia menciumi pundakku.
“Kamu suka tempat ini?” tanya Romi padaku. Aku mengangguk.
“Iya, aku suka. Tapi dingin,” ucapku padanya.
“Yuk,” ajaknya.
“Ke mana?” tanyaku.
“Kita hangat-hangatan di dalam,” ucapnya dengan mengedipkan matanya genit. Ingin rasanya aku mencubit pipinya. Dia langsung menarik tanganku. Menutup pintu, lalu dia menguncinya. Dia menarikku lagi, kini dia menggendongku. Wajah kami hanya berjarak beberapa centimeter saja. Aku melingkarkan tanganku di lehernya. Karena aku takut jatuh. Enggak lucu, kalau aku jatuh dari gendongannya.
Dia menggendongku masuk ke dalam kamar. Kamar bernuansa putih itu terlihat begitu rapi. Dia menidurkanku di ranjang. Kemudian dia juga naik ke ranjang, dia tepat berada di atasku. Lalu dia mulai menciumiku. Mencium keningku, mataku, juga pipiku. Aku menutup mataku. Menunggu ciumannya mendarat di bibirku. Benar saja, dia kemudian mencium bibirku dengan lembut. Dia mulai melumat bibirku. Aku bisa merasakan embusan napasnya begitu memburu. Kemudian dia melepaskan kemeja yang dia kenakan. Melemparkannya secara asal, entah jatuh di sebelah mana kemejanya.