Kami membeli sarapan di warung langganan dia. Warung masakan padang. Walau sebenarnya tidak cocok disebut sarapan, karena ini sudah hampir jam sepuluh pagi. Aku kira, orang Jawa tidak suka makanan pedas, karena suamiku juga ternyata tidak suka pedas. Maklum, aku belum mengenal dirinya sepenuhnya. Tapi nyatanya, pagi itu aku berjumpa dengan beberapa orang, yang malah tambah-tambah sambal, ke Ibu warung.
Kami berhenti di salah satu pusat perbelanjaan di kota Malang, yaitu MOG (Malang Olympic Garden). Sejauh yang aku tahu, mal ini adalah mal terbesar di pusat Kota Malang. Mal dengan empat lantai ini, terletak di Jalan Kawi, Kota Malang. Tadi aku sempat membaca papan jalannya. Suamiku memilih mal ini, karena di sini merupakan mal yang menyediakan segala macam kebutuhan rumah tangga. Apa yang tidak ada di rumahmu, pasti ada di sini. Hehehe.
Energi kami sudah terisi dengan sepiring nasi padang. Sekarang, aku tidak akan merasa lemas untuk berkeliling. Menyisir seluruh lantai pun, ayo saja. Suamiku namanya Romi. Dia tinggi, bertubuh atletis, berambut cepak, dan berwajah tampan. Setiap orang yang tidak tahu pekerjaannya, pasti akan mengira dia adalah seorang tentara. Padahal dia adalah seorang juragan sayur. Dia mempunyai warung di pasar besar. Juga mempunyai pelanggan yang selalu datang ke rumah, untuk membeli sayur-sayur segar yang baru datang. Tapi sekarang adalah masa bulan madu kami. Dia meminta anak buahnya, untuk mengatur jual beli. Dia meluangkan waktunya untukku.
Romi menuntunku menuju sebuah toko besar. Dari luar toko, aku bisa melihat begitu banyak barang mebel. Lemari, meja, kursi, ambalan, dan banyak lagi. Aku serasa menemukan taman mebel yang cantik. Karena di tempat tinggalku, tidak pernah menemukan toko sebesar itu. Aku lahir dan besar di Kota Pacitan. Tumbuh besar di pesisir pantai. Mana sempat aku pergi jalan-jalan ke mal besar seperti MOG ini.
Dulu, aku harus membuat kerajinan tangan dari kerang. Lalu menjualnya ke pantai. Kalau ada pengunjung yang membeli, aku bisa mendapat uang dan bisa aku tabung. Sekarang, aku di sini. Di mal besar, untuk berbelanja perabot rumah. Aku melihat-lihat beberapa lemari. Aku tertarik dengan lemari berwarna putih. Tingginya sekitar dua meter. Dengan tiga daun pintu. Di pintu tengah, ada sebuah cermin penuh dari atas hingga ke bawah. Aku melihat bayanganku di sana.
“Sedang apa?” tanyanya padaku. Dia memelukku dari belakang. Dagunya dia letakkan di pundak kananku.
“Lagi mandi,” jawabku asal. Kemudian dia tertawa.
“Kalau mandi, jangan di sini, aku mau ikut,” jawabnya menggodaku.
Aku cemberut. Kemudian aku melepaskan pelukannya.
“Malu, dilihat banyak orang,” jawabku. Lalu aku sedikit menggeser tubuhku untuk menjauh.
“Kamu suka yang ini?” tanya dia padaku. Aku mengangguk.
“Cek dulu dalamnya,” ucapnya. Aku menurut saja. Aku membuka lemari itu. Mulai dari daun pintu sebelah kiri. Ada gantungan baju dan beberapa papan sekat. Kemudian aku membuka daun pintu bercermin. Di dalamnya, ada dua buah laci, juga papan sekat. Pintu ketiga juga sama. Ada laci dan papan sekat.
“Bagus kok,” jawabku. Setelah aku selesai mengeceknya. Kemudian dia memanggil pegawai.
“Mau yang ini ya Mbak,” ucapnya. Dia memberikan KTP-nya. Pegawai itu menerimanya. Dia menyetujui pilihanku tanpa berkomentar apa pun. Bahkan dia tidak bertanya soal harganya.
“Ayo pilih yang lain,” ajaknya padaku. Aku mengekor padanya. Lalu dia berhenti berjalan. Kemudian aku menabraknya. Sepertinya dia sengaja melakukan itu. Karena dia tahu aku berjalan dengan menunduk.
“Sini,” ucapnya. Dia menggandeng tanganku dengan lembut.
“Jalan sama suami itu beriringan, bukan di belakang. Nanti ada gadis yang mengira aku masih bujang, bagaimana?” godanya padaku. Aku menurut saja padanya. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Entah kenapa aku menjadi kesal mendengarnya. Padahal aku ingin menjawab, biar saja, nanti dia juga akan tahu, kalau kamu sebenarnya tua. Lalu dia kabur deh. Tapi, aku mengucapkannya hanya dalam hatiku saja.
“Mikir apa sih? Kok dari tadi diam saja?” tanya dia.
“Enggak kok,” jawabku. Dia melangkahkan kakinya menuju meja rias. Bentuknya lucu-lucu, rasanya ingin kumiliki semuanya.
"Pilih saja yang kamu suka. Rumah masih terlalu kosong," ucapnya padaku.
Aku melihat-lihat ke sisi yang lain. Tanpa ku sangka, ada seorang perempuan datang menghampirinya. Aku hanya melihatnya dari jauh. Mengamati mereka dari tempatku berdiri. Semakin lama berbincang, wanita itu semakin berani menyentuhnya. Walaupun telah ditepis oleh Romi. Wanita itu tetap saja menyentuhnya lagi dan lagi. Aku merasa geram. Aku tidak rela ada wanita lain yang menyentuhnya. Walaupun aku belum mencintainya, tapi dia adalah suamiku.
Aku memutuskan untuk berjalan ke arah mereka. Aku mempercepat langkahku, aku sengaja memanggil Romi dengan sangat keras.
"Sayang," ucapku. Membuat keduanya menoleh ke arahku. Aku melihat Romi tersenyum kepadaku. Mungkin karena aku memanggilnya dengan sebutan sayang.
"Siapa dia?" tanyaku pada Romi.
“Friska,” ucap wanita itu sambil mengulurkan tangannya. Tapi aku hanya melengos dan tak menjabatnya.
“Aku mantannya Romi, dia pasti masih sayang sama aku,” ucapnya dengan segala kepercayaan dirinya.
“Masa? Kalau cinta, kok nikahnya sama aku?” jawabku ketus. Biar saja dia sakit hati. Aku juga malas banget melihatnya dekat-dekat suamiku.
“Kalian nikah? What? Kapan, Rom?” tanya Friska pada Romi.
“Sudah beberapa hari yang lalu, kenalin ini istriku. Namanya Rania,” ucap Romi padanya.
“Hah? Anak bau kencur ini istrimu? Jangan mengada-ngada kamu Rom!” ucapnya tidak percaya.
Aku mencibir melihatnya.
“Terserah kalau kamu tidak percaya. Jadi, jangan coba dekati aku lagi. Aku sudah punya istri,” ucap Romi padanya.
“Ayo sayang!” ajakku pada Romi. Aku mengajaknya meninggalkan perempuan tidak tahu malu itu. Aku cemberut, dia malah memelukku dengan erat dan berterima kasih.
“Makasih, kamu sudah datang tadi,” ucapnya.
“Maksudnya apa? Kamu masih sayang sama dia ya?” tanyaku menyelidik.
“Dia meninggalkan aku, aku harus menjalani hidupku. Aku memilihmu,” jawabnya.
“Memilihku sebagai pelampiasan?” tanyaku dengan emosi.
“Enggak sayang, aku tulus sayang sama kamu,” jawabnya. Tapi aku tidak percaya begitu saja. Hatiku sakit rasanya. Aku menerima perjodohan dengannya. Sudah cukup membuatku merasa sakit, dan kenyataan ini, semakin membuatku sakit. Terlebih lagi wanita itu sepertinya tidak akan menyerah begitu saja.
“Jangan beranggapan seperti itu, ayolah percayalah sama aku,” ucapnya memohon.
“Iya,” jawabku pendek.
“Kamu pilih deh yang mana yang kamu suka, biar mengirimnya ke rumah sekalian. Kamu mau jalan-jalan enggak?” ucapnya dengan lembut.
“Ke mana?” tanyaku.
“Bulan madu yuk?” ajaknya. Dia menaik turunkan alisnya. Membuatku tidak bisa menahan tawa.
“Bulan madu?” tanyaku memastikan.
“Iya, kamu mau?”
“Ke mana?”
“Ke mana ya enaknya? Ke Batu mau?” dia malah bertanya. Memberikan sebuah nama kota yang sedikit asing buatku.
“Di mana itu?”
“Ada deh, kamu pasti suka deh. Tempatnya indah banget, dan cocok buat bulan madu,” jawabnya.
“Kok begitu? Memangnya di sana ada apanya, kok cocok buat bulan madu?” tanyaku penasaran.
“Tempatnya sejuk, cocok buat anget-angetan,” ucapnya. Kemudian dia tertawa, entah apa yang dia pikirkan saat mengatakan itu.
“Boleh deh, kapan berangkat?” tanyaku.
“Nanti,” ucapnya.
“Nanti kapan?”
“Sepulang dari sinilah,” jawabnya enteng. Dia senyum-senyum terus.
“Bohong ya?” sahutku.
Aku jadi penasaran, kenapa dia terus tersenyum. Tapi itu adalah pemandangan yang asyik, dari pada melihatnya dengan wanita menyebalkan tadi. Sebenarnya aku sangat tahu. Dia hanya bercanda mengucapkan hal itu. Karena, dia hanya ingin mengalihkan topik pembicaraannya denganku. Aku paham akan hal itu.
*
Sebulan berlalu. Aku mulai bisa menerima Romi sebagai suaminya. Walaupun aku masih terus beralasan belum siap. Saat setiap kali Romi meminta untuk tidur bersamaku. Pagi itu Romi sedang libur bekerja. Tanpa aku duga, Friska, mantannya datang ke rumah kami. Dia tiba-tiba masuk dan menggelayuti Romi yang duduk di ruang tamu denganku. Padahal saat itu, kami sedang membicarakan tentang rencana bulan madu kami. Tapi pengacau itu, datang dengan tanpa permisi.
Romi menghempaskan pegangan tangan Friska dengan keras. Tubuh Friska sedikit terhuyung karena dorongannya.
“Apa maumu? Kenapa kamu ke sini?” bentak Romi padanya.
“Aku mencintaimu, Rom. Aku mau jadi istrimu,” rengeknya pada Romi. Sungguh aku merasa panas mendengarnya. Tapi, aku masih mencoba untuk menahannya.
“Cinta? Cinta kita sudah berakhir. Tidak perlu kamu mengungkitnya lagi!” bentak Romi tak kalah keras dengan yang tadi.
Aku bahkan ikut tersentak mendengarnya.
“Rom, aku ditinggalkan, Rom. Tolong aku Rom, aku tahu, kamu masih mencintai aku kan?” ucap Friska dengan tampang memelas dan bercucuran air mata. Aku bisa melihat, bahwa air mata itu hannyalah air mata buaya, semuanya palsu. Gemas sekali aku ingin menjambak rambutnya.
“Aku sudah tidak peduli dengan kondisimu!” ucap Romi. Dia memandangku ke arahku dengan cemas. Aku menggeleng pelan. Aku mengisyaratkan bahwa, aku tidak apa-apa.
“Ini semua pasti karena kamu. Iya kan? Dasar gadis jalang!” teriak Friska ke arahku. Angannya meninggi, sepertinya dia akan menamparku. Beruntung, Romi menepisnya dengan kuat. Tangannya tidak sampai mengenai wajahku.
“Berhenti! Pergi kamu dari sini!” bentak Romi. Dia menyeret Friska dengan keras. Kemudian dia mendorongnya ke luar dari rumah. Romi memelukku yang masih sangat syok dengan kejadian itu.
*
Dia menuntunku ke kamar. Dia menjelaskan lagi dengan hati-hati. Aku sangat paham dengan kondisi mantannya yang sakit jiwa itu. Dia pasti menyesal sudah meninggalkan Romi, dan sekarang, dia sendiri yang ditinggalkan oleh suaminya. Karma bekerja dengan sangat baik.
Aku merasa sedikit tenang. Dia terus menerus menciumi tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
“Kamu istirahat saja,” ucapku padanya.
“Aku tidak akan bisa tidur, sebelum kamu tidur,” ucapnya. Kami pun merebahkan diri bersama-sama. Dia mulai menciumi wajahku. Entah kenapa aku jadi membiarkannya melakukan itu. Malam itu, kami tidur dengan saling mendekap. Seolah sama-sama menunjukkan saling tidak ingin kehilangan satu sana lain.