Marwa tertunduk seraya menyandarkan tangannya ke jendela. Ia kembali teringat kenangan manis bersama sang ayah. Satu-satunya pria yang tidak akan pernah membiarkan Marwa merasakan sakit sedikit pun. Satu-satunya pria yang menjadi barisan palig depan untuk melindunginya dari apa pun yang bisa membahayakan dirinya.
“Belum tidur?” tanya seseorang yang baru saja masuk ke ruangan itu. Farhan, ialah orang yang tiba-tiba masuk ke ruang rawat inap Marwa tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Marwa menoleh, “Dokter Farhan? Anda sendiri kenapa belum tidur?” tanya Marwa.
“Saya baru saja menghubungi sahabat saya yang sudah lebih dahulu ke korea untuk mengambil studi singkat bedah plastik di sana. Kami sharing mengenai penyakit kamu, lalu ia hubungkan dengan mentor yang merupakan dokter bedah senior di sana. Ia menyatakan kalau penyakit kamu masih bisa diobati. Ia bahkan menjaminnya.”
Marwa tersenyum. Ia berjalan menuju salah satu kursi makan yang memang sudah tersedia di ruangan itu. Ada sebuah meja persegi panjang di sana lengkap dengan empat buah kursi makan berlampis busa lembut dan tebal. Marwa mempersilahkan Farhan duduk di kursi berbeda.
“Terima kasih,” ucap Farhan seraya mendudukkan bokongnya di salah satu kursi makan yang berada tepat di depan Marwa.
“Dokter yakin kalau saya bisa sembuh?” tanya Marwa.
“Saya sangat yakin. Tapi walaupun saya sangat yakin, tetap saja semuanya tergantung bagaimana maunya Tuhan. Kamu berdoa saja semoga apa yang kita usahakan itu diridhai oleh Tuhan.”
Marwa mengangguk.
“Kamu kenapa belum tidur? Sudah saya katakan jangan begadang terus. Jangan kena angin terus, apa lagi angin malam. Udara di luar sangat dingin.” Farhan meletakkan berkas Salinan rekam medis Marwa di atas meja.
“Saya tidak membuka jendelanya. Saya hanya menatap gelapnya malam karena saya tidak bisa tidur. Tapi tiba-tiba saya melihat wajah ayah sedang tersenyum di atas langit. Ketika saya balas tersenyum, ayah malah pergi. Saya merindukannya.”
“Pasti ayah kamu sangat berharga buat kamu.” Farhan tersenyum. Ke dua netra cokelat pekat yang ia miliki, ia arahkan ke wajah Marwa. Mata yang sangat indah dengan bulu mata atas bawah yang melentik sempurna.
Marwa pun ikut tersenyum, namun ia segera mengalihkan pandangan ketika pandangan mata cokelat terangnya beradu dengan netra cokelat pekat milik Farhan.
“Ayah sudah mengingatkan aku perihal Aldo. Mungkin tidak secara langsung, tapi ia sudah berkali-kali memberi kode. Tapi saya tidak menyadarinya karena saya begitu mencintai Aldo. Mungkin karena itu juga ayah tidak mengatakannya secara langsung pada saya. Ia hanya memberi isyarat kalau rumah tangga saya tidak akan baik-baik saja. Hingga ia pergi pun, ia hanya bisa tersenyum dan berharap saya aman ketika ditinggalkan olehnya. Atau mungkin ayah sudah tahu jika Aldo menginginkan kematian ayah dan kematian saya?” Marwa tertunduk. Ia terisak karena begitu merindukan sosok sang ayah.
Farhan mendekat. Ia usap punggung Marwa dengan lembut lalu ia balik sebuah gelas yang sudah tersedia di atas meja. Gelas itu sebelumnya dibiarkan dalam keadaan terlungkup di atas baki agar tahu jika gelas itu belum ada yang menggunakan. Farhan menuang air mineral ke dalamnya lalu memberikannya kepada Marwa.
“Minumlah … Kamu butuh banyak minum agar tidak dehidrasi,” ucap Farhan.
“Terima kasiih, Dokter.” Marwa menerima gelas itu lalu menenggak air mineral itu hingga habis.
“Marwa, jangan menangis. Kalau kamu menangis, ayah kamu di sana pasti juga akan sedih melihat putrinya seperti ini. Kamu harus kuat. Kamu harus buktikan kalau kamu bisa lebih baik tanpa mantan suami kamu.”
Mendengar kata-kara terakhir Farhan, Marwa langsung menoleh ke arah Farhan, “Pria itu masih berstatus suami saya. Ia belum menceraikan saya jadi ia belum sah jadi mantan suami,” tegas Marwa.
“Jadi kamu masih berharap dia jadi suami kamu, begitu?”
“Bukan begitu, Dokter. Tapi saya takut jadi janda.” Marwa kembali membuang muka. Tampak jelas jika Marwa sedang menahan air mata.
“Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Tidak baik menahan air mata yang ingin keluar. Terkadang, memangis itu memang perlu. Akan ada sebuah perasaan tenang dan nyaman jika air mata itu di keluarkan sepuasnya. Jadi menangis saja, jangan sungkan.”
Marwa spontan terkekeh ringan mendegar ucapan Farhan, “Dokter ini lucu ya. Tadi saya dilarang nangis, sekarang malah menyuruh saya buat nangis. Jadi yang plin-plan itu saya apa dokter ya.”
Farhan balas tersenyum, “Saya suka melihat senyuman kamu, Marwa. Senyuman yang begitu cantik. Senyuman kamu ini mengingatkan saya pada seseroang.”
“Siapa? Pacar dokter ya? Atau istri dokter?”
Farhan menggeleng, “saya belum menikah.”
“Kenapa? Pasti karena Dokter terlalu pemilih.”
“Pemilih itu harus, Marwa. Pernikahan itu bukan sebuah mainan. Pernikahan itu adalah mengenai dua hati dan dua tubuh yang sebelumnya terpisah, lalu disatukan oleh Tuhan lewat pernikahan. Pernikahan itu bukan sehari dua hari, tapi seumur hidup. Jadi memang butuh seleksi yang panjang.”
“Saya juga mikirnya gitu. Tapi sayangnya tetap saja salah pilih. Apa saya terlalu picik sehingga begitu mudah dibohongi oleh kebaikan Aldo yang seolah terlihat nyata.”
“Kalau boleh tahu, kenapa kamu cinta sama Aldo? Apa karena Aldo ganteng?”
Marwa kembali terkekeh. Ia labuhkan lagi pandangannya ke arah Farhan, “Kenapa dokter menanyakan hal itu?”
“Mau tahu saja.”
Marwa menghela napas, “Ganteng itu relative, Dokter.”
“Ganteng mana Aldo dari saya?”
Marwa kembali terkekeh, “Kenapa dokter malah membadingkan Aldo dengan diri dokter? Nggak ada hubungannya juga.”
“Jawab, Marwa.”
“Sudah saya katakan kalau ganteng itu relative. Aldo ganteng, dokter Farhan juga ganteng. Bedanya, Aldo sudah menyakiti saya, dokter malah membantu saya.”
“Ganteng mana?”
Marwa terkekeh. Bahkan suara kekehannya sampai membuat Renima terbangun.
Renima membuka mata dengan malas, “Lo, dokter Farhan di sini? Kenapa kalian berdua belum tidur?” Renima bangkit dari tidurnya lalu menoleh ke arah jam tangan.
“Masih pukul setengah tiga. Ini masih sangat malam,” lirih Renima. Gadis itu berusaha menahan mulutnya untuk tidak menganga ketika menguap. Ia pun memperbaiki rambutnya dan mengikat rambut lurusnya dengan asal.
“Awalnya saya ke sini hanya untuk mengecek keadaan. Tapi saya lihat Marwa belum tidur, jadi saya masuk. Karena sama-sama belum mengantuk, kami pun ngobrol di sini,” jelas Farhan.
Renima berdiri, berjalan menuju meja makan lalu mendudukkan bokongnya di salah satu kursi makan. Ada empat kursi makan yang tersedia di sana, jadi masih ada dua kursi kosong lagi yang bisa diduduki oleh wanita itu. Renima pun duduk di salah satunya, mengambil sebuah gelas yang masih tertelungkup di atas meja, lalu menuang air mineral ke dalamnya.
Renima mengangguk. Ia tenggak air mineral itu dengan nikmat.
“Tadi lagi bahas masalah apa sih sampai kamu ketawa keras banget gitu, bikin aku langsung bangun,” ucap Renima.
“Ini, dokter Farhan ada-ada saja. Malah mau bandingin dirinya sama Aldo. Katanya ganteng mana Aldo apa dia?”
Renima langsung mengalihkan pandangannya ke arah Farhan, “Kenapa dokter menanyakan hal itu?”
“Saya hanya bertanya, apa salah?”
“Kalau nggak ada sebabnya sih, harus salah. Malah saya curiga lo. Jangan-jangan dokter suka sama Marwa.”
“Hush! Kamu ini bicara apa, Ima. Sopan dikit kalau ngomong sama dokter. Dokter Farhan ini sudah bantuin aku, masa kamu ngomongnya kayak gitu.”
“Bisa saja’kan?”
Farhan terkekeh ringan, “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tapi saya memang penasaran sih, seganteng apa sih si Aldo itu sampai bisa buat wanita seperti Marwa ini tergila-gila.”
“Saya nggak tergila-gila ya. Dokter salah.”
“Hahaha ….” Farhan hanya menjawab dengan kekehan.
“Marwa, sebaiknya kamu istirahat. Jangan terlalu sering begadang. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau masa depan kamu itu terlalu berharga untuk disia-siakan. Jadi kau itu harus banyak istirahat agar kamu sehat.”
“Iya, Dokter. Terima kasih.”
“Sama-sama, Marwa. Saya juga mau tidur dulu. Saya mengantuk karena belum memicingkan mata sedikit pun dari kemarin.”
Marwa mengangguk, “Iya, Dokter. Maaf kalau sudah merepotkan dokter.”
“Saya tidak pernah merasa direpotkan oleh siapa pun, apa lagi kamu. Sebagai dokter, saya memang harus memprioritaskan keselamatan dan kesehatan pasien saya.”
“Anda sangat luar biasa.”
“Itu namanya kewajiban, Marwa.”
Marwa tersenyum.
“Oke, sebaiknya saya memang segera pergi dari sini. Semakin lama saya di sini, maka semakin enak obrolan kita. Kamu dan saya tidak akan jadi istirahat nantinya. Saya harus pergi, kita ketemu lagi besok.” Farhan tersenyum seraya bangkit dari duduknya, berniat pergi dari sana.
“Hti-hati, Dokter,” ucap Marwa.
Farhan mengangguk, lalu ia pun melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu. Ia benar-benar pergi. Farhan tidak ingin menganggu waktu istirahat Marwa.
“Wa, kamu merasa ada yang aneh nggak?” tanya Renima setelah kepergian Farhan.
“Aneh? Memangnya apa yang aneh?”
“Aku ngerasa kalau dokter Farhan itu suka lo sama kamu.”
“Ha? Suka sama aku? Hahaha … Jangan mengada-ngada deh. Dokter Farhan nggak pantas suka sama aku. Pantasnya itu suka sama kamu. Kamu itu masih segar, sehat dan cantik. Sementara aku apa? Kamu lihat sendiri’kan? Aku pucat, kurus dan umurku juga tidak akan lama lagi. Laki-laki mana sih yang bisa suka sama cewek pesakitan kayak aku ini. Apa lagi aku itu masih berstatus istri Aldo.”
“Mantan, bukan istri lagi.”
“Tapi kenyataannya aku memang masih istri Aldo, Ma. Aldo belum menceraikan aku.”
“Kita urus perceraian kamu secepatnya.”
“Kalau aku urus, artinya Aldo akan tahu kalau aku itu belum meninggal. Aku tidak mau Aldo tahu kalau aku masih hidup. Aku sudah punya rencana untuk menghancurkan Aldo dan Jihan.”
“Nanti aku tanya sama ustadz deh. Sekarang aku ngantuk, aku nggak punya waktu untuk berpikir jernih. Lagian semakin lama semakin dingin. Aku mau tidur lagi.” Renima bangkit dari kursi makan lalu kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa.
“Kamu juga harus tidur, Wa. Kamu nggak dengar kata-kata dokter Farhan tadi. Masa depan kamu terlalu berharga untuk kamu sia-siakan begitu saja. Lagi pula, kamu masih punya banyak kesempatan untuk sembuh. Jadi jangan sia-siakan kesempatan itu.”
“Iya … Aku akan segera tidur,” balas Marwa.
“Hhmm ….” Renima mengangguk. Gadis itu langsung menutupi wajahnya dengan selimut. Tidak berselang lama, Renima pun kembali terlelap.
Marwa pun berdiri, lalu berjalan menuju ranjangnya. Walau matanya masih sulit untuk terpejam, namun Marwa mencoba memaksanya.
Ayah … Marwa kangen ayah. Tolong datang di mimpi Marwa ya, Ayah … Setidaknya Marwa tahu kalau Marwa nggank sendirian. Marwa tahu kalau ayah akan selalu ada untuk Marwa, batin wanita itu.
Di tempat berbeda, Farhan mendudukkan bokongnya di kursi kebesarannya. RSUD kota bogor menjadi salah satu rumah sakit tempat praktek utama pria tiga puluh lima tahun itu. Ia sudah mengabdikan dirinya bertahun-tahun di sana sebagai salah satu dokter spesialis bedah profesional.
Walau usianya masih tergolong muda, namun prestasi dokter Farhan sebagai spesialis bedah sangat luar biasa. Sudah banyak operasi besar yang jalani dan berhasil ia atasi. Namun untuk ursan percintaan, prestasi Farhan memang tidak sebaik prestasinya di bidang kedokteran. Sampai saat ini, pria itu masih betah menyendiri. Belum ada tanda-tanda akan melepas masa lajangnya.
Farhan menghela napas. Ia putar kursinya hingga pandangan matanya kini terarah ke jendela dan langsung menatap langit kota Bogor. Ia teringat ketika pertama kali ia menemukan Marwa tergeletak lemah di tengah hutan. Jika dipikir secara logika, sangat mustahil Marwa bisa selamat karena sudah jatuh dari ketinggian lebih dari tiga puluh meter. Apa lagi tempat ia jatuh merupakan medan yang sangat sulit dan berbahaya. Banyak pepohonan tajam di sana. Tubuh Marwa bisa saja tersangkut atau bahkan tertancap di salah satu patahan pepohonan.
Namun jika Tuhan berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin. Marwa masih selamat. Tidak ada luka yang serius di tubuhnya. Hanya ada beberapa luka lebam dan lecet yang bisa saja sembuh dalam waktu yang relative cepat. Sebuah keajaiban nyata dari Tuhan.