Menemukan Mayat

1386 Words
“Marwa ….,” Renima dengan cepat menghampiri sang saudara sepupu. Wanita itu tidak kuasa menahan air matanya. Apa lagi saat ini wajah dan tubuh Marwa penuh dengan luka. “Re—Renima … Ka—kamu sudah kembali.” “Iya, aku sudah kembali dan aku langsung menemui kamu di rumah sakit. Tapi kamu tidak ada di sana. Maaf kalau aku tidak bisa menjagamu selama beberapa hari ini karena urusan pekerjaan. Apa yang terjadi padamu? Kata dokter Farhan, mereka menemukan kamu di dasar jurang. Siapa yang sudah melakukannya. I—ini, kepala kamu kenapa di perban?” Marwa masih terdiam. Hanya air mata saja yang mengalir lewat ke dua netra cantiknya. “Marwa, aku juga sudah pergi ke apartemen kamu, tapi tidak ada yang membuka pintunya. Sepertinya Aldo tidak ada di sana. Lalu aku coba hubungi Aldo, namun tidak masuk. Sepertinya Aldo sudah memblokir nomorku.” Mendengar nama Aldo, air mata Marwa semakin deras keluar. Bahkan ke dua bibirnya ia rapatkan dan ke dua giginya juga ia rapatkan. Ke dua tangannya pun tampak mengepal, seperti menyimpan sebuah rasa sakit dan dendam. “Marwa, ada apa sebenarnya?” “Ia sudah membunuhku … Ia ingin aku mati. Ia ingin membunuhku seperti ia sudah membunuh papa. Laki-laki itu dan keluarganya sama-sama b******n. Ia hanya inginkan asuransi dan hartaku dan papa saja,” lirih Marwa dengan suara bergetar hebat. “Aku sudah menduganya … Ah sudahlah, jadi apa yang sudah ia lakukan kepadamu?” “Aku percayakan asuransiku padanya. Harusnya asuransi itu sudah cair dan ia sudah bayarkan tagihan rumah sakit, namun ia sama sekali tidak membayarnya. Aku nekat keluar dari rumah sakit untuk menemuinya di apartemen. Namun ternyata di sana ia tengah bercinta dengan Jihan.” “Ji—jihan? Bercinta dengan Jihan? Ini tidak mungkin, bukankah Jihan adalah sahabat kamu?” “Jihan dan Aldo sama saja. Mereka sudah merencanakan semua ini. Mereka semua sudah bersekongkol ingin membunuhku dan mengambil semua uang asuransi. Mereka ingin menguasai uang asuransi jiwa yang nilainya sangat besar itu.” “Ya ampun … Aku tahu kalau Aldo bukan pria yang baik. Tapi aku tidak menyangka jika ia sekeji itu. Lalu apa yang sudah ia lakukan kepadamu?” “Ia melemparku hingga kepalaku mengenai sudut meja. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Kata doter Farhan, ia dan timnya menemukan ai di dasar jurang. Lokasinya tidak jauh dari tempat mereka mengadakan perkemahan.” Setelah mengatakan hal itu, tiba-tiba saja Marwa menjadi sesak. Pasien monitor berbunyi dengan cepat. Artinya kadar oksigen yang ada di paru-paru Marwa menurun drastis. Tidak hanya itu, tekanan darahnya pun naik dengan cepat. Dokter yang bertugas di sana langsung memberikan penanganan. Renima agak menjauh dari ranjang Marwa untuk memberikan ruang bagi tenaga medis agar lebih leluasa memberikan penanganan terhadap Marwa. “Dokter …,” lirih Renima pada Farhan. “Tidak apa-apa, Marwa akan baik-baik saja. Bisa kita bicara sebentar?” ucap Farhan. Renima mengangguk. “Silahkan,” ucap Farhan seraya mempersilahkan Renima berjalan lebih dahulu ke luar ruang IGD. Renima mengangguk. Ia tekan langkahnya menuju ruang tunggu yang berada tepat di depan ruang IGD. “Apa yang terjadi sebenarnya, Dokter?” tanya Renima sesaat setelah ia dudukkan bokongnya di salah satu kursi tunggu. “Seperti yang dikatakan oleh Marwa tadi, kami menemukannya di dasar jurang. Kami menemukannya dalam kondisi tidka sadarkan diri. Sepertinya ia dilempar beserta kursi rodanya sekalian sebab kami pun menemukan keberadaan kursi roda tidak jauh dari lokasi Marwa kami temukan. Ini adalah kasus percobaan pembunuhan. Namun Marwa melarang saya atau siapa pun melaporkan masalah ini ke kantor polisi. Ia tadi sempat bercerita sedikit dan saya paham apa yang dirasakan oleh Marwa.” “Jadi maksudnya siapa pun tidak boleh melaporkan ini ke polisi, bagaimana? Apa Aldo harus dibiarkan bebas begitu saja setelah melakukan kejahatan?” Farhan menoleh ke arah Renima, “Saya yakin Marwa punya alasannya. Untuk sementara, saya harap anda pun menahan diri terlabih dahulu. Mungkin Marwa belum sempat mengatakannya kepada anda, tapi ia punya rencananya sendiri. Kita berikan saja kesempatan untuk Marwa menyelesaikan masalahnya sendiri.” Renima mengangguk, berusaha mengerti. *** Aldo dan Jihan saat ini sedang dalam perjalanan menuju Bogor. Aldo yang memaksa, sementara Jihan sudah berkali-kali mencegahnya. “Aldo, buat apa sih kita ke sana lagi? Bukankah kita sudah buang mayat Marwa di sana dan buat apa kita ke sana lagi?” ucap Jihan. Ia pun tampak panik. “Aku harus pastikan kalau tida ada apa-apa di sana. Aku harus pastikan kalau Marwa sudah mati dan tidak ada siapa pun yang menemukan mayatnya di sana. Aku harus pastikan semuanya sendiri.” “Aldo, kamu ini benar-benar gila ya. Buat apa lagi, ha? Bagaimana kalau ternyata di sana ada banyak polisi atau warga? Kamu mau ngapain? Mau jadi saksi? Kita berdua itu akan jadi tersangka utama. Apa lagi rekaman CCTV apartemen pasti akan menunjukkan gerak-gerik kita.” “Kamu diam saja.” “Aku nggak bisa diam saja, Aldo. Kita yang sudah membunuhnya dan kita berdua pasti akan dipenjara.” “DIAMMMM!!” Suara teriakan Aldo menggema di dalam mobil itu. Suaranya sangat keras dan hampir membuat gendang telinga Jihan pecah berkeping-keping. Jihan terdiam seraya menutup kupingnya dengan ke dua tangannya. “Kenapa kamu harus berteriak?” tanya Jihan setelah beberapa detik terdiam. “Aku itu lagi panik, jadi kamu jangan menekan aku terus,” ucap Aldo. “Aku juga panik, Aldo. Aku nggak mau menghabiskan waktuku di penjara.” “Makanya kamu diam!” “Aku nggak bisa diam begitu saja.” “DIAM!! Diam nggak, atau kamu sendiri juga akan aku lempar nanti ke dalam jurang,” ancam Aldo. Kali ini Jihan benar-benar terdiam. Ancaman Aldo begitu menakutkan baginya. “Jihan, kita berdua ini memang dalam masalah. Tapi dengan kamu mengoceh terus-terusan seperti tadi, membuat otak aku tidak mampu berpikir jernih. Sekarang kamu diam dan ikuti saja apa kata aku.” Jihan mengangguk lemah. Ia tidak ingin membuat masalah. Setelah berselang beberapa waktu, mobil yang dikendarai oleh Aldo pun sampai di Kawasan hutan lindung tempat di mana ia sudah membuang tubuh istri yang sudah diyakininya sebagai mayat, di sana. Aldo memelankan laju kendaraannya. Ia memerhatikan sekitar, melihat kalau saja ada sesuatu yang mencurigakan, atau mungkin sebuah keramaian. Namun Aldo tidak menemukan apa pun di sana. Lokasi itu sama lengangnya seperti pada waktu ia datangi bersama Jihan semalam. Hanya beberapa kendaraan saja yang bersilewaran lewat sana. Itu pun mereka berani melintas hanya kala matahari bersinar alias siang hari saja. Apa bila senja sudah mulai datang, maka tidak ada siapa pun yang berani lewat lagi di sana kecuali mereka yang tidak tahu mengenai isu angkernya tempat itu. Ketika sampai di tempat di mana mobilnya semalam Aldo parkirkan dan ia masuk lebih dalam ke dalam hutan bersama Jihan dan Marwa, bulu kuduk Aldo dan Jihan seketika merinding. Padahal semalam mereka sama sekali tidak merasakan aura mistis yang kuat seperti itu. “Aldo, kenapa aku jadi merinding begini. Sebaiknya kamu lajukan mobil ini lebih cepat lagi. Kita harus segera tinggalkan tempat ini,” lirih Jihan. “Iya,” balas Aldo seraya mengangguk. Pria itu juga merasakan hal yang sama. Ia pun melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk menjauh dari lokasi yang diyakini warga sebagai tempat angker itu. Setelah menjauh beberapa kilo meter, akhirnya Aldo dan Jihan pun menemukan persimpangan. Mereka pun lurus saja hingga menemukan pemukiman warga. Mereka menghela napas karena bulu kuduk yang tadinya meremang, kini sudah biasa kembali. “Aldo, kenapa tadi hawanya beda sekali? Aku merinding hebat tadi di sana. Padahal semalam kita biasa saja,” ucap Jihan. “Aku juga tidak tahu. Aku tidak percaya dengan hal mistis, tapi tadi rasanya memang sangat aneh. Sebaiknya kita berhenti sebentar untuk minum. Aku lelah mengemudi sejauh ini.” Jihan mengangguk, “Di depan sana sepertinya ada kafe. Kita berhenti di sana. Sekalian menikmati indahnya pemandangan kebuh teh.” Aldo mengangguk. Pria itu terus mengemudikan mobilnya hingga ia menemukan sebuah kafe dan berhenti di sana. Aldo dan Jihan memutuskan untuk menghangatkan tubuh mereka sejenak di sana dengan memesan minuman dan makanan yang hangat. “Ada mayat … Ada mayat … Ada mayat …,” ucap seseorang seraya berlari melintas di depan kafe tempat Aldo dan Jihan singgah. Mendengar hal itu, sontak saja Aldo dan Jihan terkejut. Mereka saling pandang sesaat, bertanya-tanya di dalam hati apakah yang dikatakan oleh wanita yang melintas tadi itu benar adanya. Kalau benar, mayat siapa yang sudah mereka temukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD