Marwa berkali-kali melirik layar ponselnya. Pesan yang sudah ia kirim pada sang suami masih dalam mode centang dua abu-abu. Artinya, Haris—suami Marwa—belum membaca pesan itu sama sekali. Marwa pun mencoba menghubungi, tapi sayangnya Haris sama sekali tidak mengangkat panggilan suara dari wanita yang saat ini terbaring lemah di salah satu ranjang rumah sakit di kota Bekasi.
“Selamat siang, Mbak Marwa,” sapa salah seorang suster yang merawat wanita tiga puluh sua tahun itu.
“Selamat siang, Suster,” balas Marwa seraya tersenyum.
“Mohon maaf, Mbak. Saya ke sini ingin mengkonfirmasi p********n tagihan rumah sakit. Sore ini akan ada pemeriksaan ulang di laboratorium, namun sampai sekarang tagihan yang seharusnya sudah dibayar, belum dibayarkan, Mbak. Bukankah katanya suami anda sudah mengurus asuransi anda?”
“Iya, Suster. Saya sudah coba menghubungi, tapi ia tidak mengangkat. Mohon beri saya waktu sedikit lagi.”
Sang suster tersenyum, “Baiklah, Mbak. Kami akan tunggu sampai sore. Nanti sore, kami akan ambil lagi sample darah anda untuk diperiksa. Jika anda butuh sesuatu, silahkan hubungi kami. Anda hanya perlu menekan bel itu saja.”
“Iya, terima kasih, Suster.”
Sang suster tersenyum lalu pamit meninggalkan Marwa sendirian di salah satu ruang rawat inap kelas VIP. Tidak ada siapa pun yang menjaga atau menemaninya di sana. Hanya siaran televisi saja yang menemani hari-hari Marwa. Kadang untuk melepas jenuh, Marwa menatap kota Bekasi dari lantai empat rumah sakit seraya menggambar.
Marwa kembali menatap layar ponselnya, masih belum ada respon apa-apa dari sang suami. Pesan itu masih centang dua abu-abu.
Apa aku keluar saja dari rumah sakit ini? Aku sudah lelah di sini. Aku ingin pulang. Aku akan tunggu mas Haris di rumah, batin Marwa.
Marwa kemudian turun dari ranjang. Wanita itu lalu mengambil cardigan lalu mengenakannya untuk menutupi pakaian rumah sakit yang saat ini ia kenakan. Perlahan, wanita itu pun keluar dari kamar.
Ia terus berjalan menyusuri Lorong rumah sakit hingga Marwa pun sampai di depan gerbang rumah sakit. Marwa menatap layar ponselnya, lalu ia memesan sebuah taksi online.
Tidak lama, taksi pun datang dan Marwa pun masuk lalu duduk di kursi penumpang bagian tengah.
“Sesuai aplikasi, Neng?” ucap sang sopir taksi.
“Iya, Pak,” balas Marwa.
“Nengnya ini pasien rumah sakit ya?”
“Iya, Pak.”
“Kenapa keluar, Neng? Biasanya setahu bapak kalau masih pakai seragam rumah sakit begini, artinya nengnya masih pasien. Belum diizinkan pulang.”
“Tapi saya harus pulang, Pak. Ada yang mau saya ambil di rumah,” jawab Marwa.
“Lo, memangnya tidak ada yang bisa dimintai tolong gitu, Neng?”
Marwa menggeleng tanpa menjawab, namun sang sopir taksi bisa melihat gelengan kepala Marwa dari pantulan kaca spion yang ada di atas kepalanya.
“Melihat Nengnya ini, bapak jadi ingat sama anak gadis bapak. Kalau saya ia masih hidup, mungkin usianya sama dengan nengnya ini. Sayangnya Allah lebih sayang sama beliau. Beliau meninggal di usia dua puluh lima tahun karena sebuah kecelakaan,” ucap sang sopir taksi.
Mendengar pernyataan sang sopir taksi, Marwa pun langsung mengangkat kepalanya. Ia perhatikan pria tua itu dari belakang, mirip dengan mendiang ayahnya. Bahkan cara pria itu bicara pun, hampir sama dengan mendiang ayah Marwa. Ayah Marwa pun suka memanggil dirinya dengan panggilan “Neng”.
“Bapak juga mengingatkan saya pada mendiang ayah saya,” lirih Marwa.
“Kebetulan sekali ya … Tapi nengnya jangan bersedih seperti itu. Bapak sendiri percaya kalau putri bapak lebih bahagia saat ini di sana. Nengnya juga harus yakin kalau ayahnya neng lebih bahagia di sana. Ayahnya neng sudah bersama Allah.”
“Iya, Pak. Tapi terkadang rasa rindu itu selalu saja menghantui saya. Apa lagi saya sebatang kara di Bekasi ini. Dulu ketika ayah ada, beliau yang selalu menemani hari-hari saya. Beliau yang membuat saya tertawa. Berlari mengejar ketika saya jatuh, dan mengusap air mata saya ketika saya menangis. Tapi sekarang semuanya hampa.” Marwa tidak kuasa menahan lahar dingin yang keluar begitu saja.
Sang pria tersenyum, “Rasa rindu itu tidak akan pernah sirna sampai kapan pun, Neng. Akan tetapi, nengnya harus kuat. Jangan sampai rasa rindu itu membuat kita lemah.”
“Iya, Pak. Terima kasih ….”
Marwa, jangan menangis lagi, Nak. Ayah selalu ada di sini untuk kamu. Ayah pasti akan selalu melindungi kamu, Nak.
Marwa, ayah tidak suka melihat Marwa sakit. Nih lihat, ayah juga ikutan sedih kalau Marwa menangis. Marwa sayang ayah’kan? Jadi Marwa tidak boleh menangis lagi ya …
Marwa terngiang ucapan mendiang ayahnya. Dari usia lima tahun, Marwa sudah ditinggal pergi oleh sang ibu. Entah kemana beliau, yang pasti sampai Marwa dewasa, ia tidak pernah lagi bertemu dengan ibunya. Setiap ia menanyakan kabar sang ibu pada sang ayah, sang ayah hanya menjawab “Sabarlah, nanti ibu juga akan pulang”. Begitu saja sampai Marwa dewasa hingga Marwa pun sudah mengganggap ibunya mati.
“Sudah sampai, Neng,” ucap sang sopir taksi.
Ucapan sang sopir taksi menyentak lamun Marwa. Wanita itu pun terkesiap karenanya.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Marwa menyodorkan selembar uang lima puluh ribu yang sudah ia siapkan sebelumnya. Ongkos taksi yang harus ia bayarkan senilai empat puluh lima ribu.
“Ini ongkosnya, Pak,” ucap Marwa.
Sang sopir taksi membalik tubuhnya. Ia tersenyum lebar ke arah Marwa. Saking lebar senyum pria itu, ke dua matanya sampai terpejam. Lagi-lagi Marwa teringat kepada sang ayah. Sang ayah pun sama, kalau tersenyum pasti matanya langsung terpejam.
Sang sopir menerima uang itu, meremasnya sesaat lalu meletakkannya kembali ke telapak tangan Marwa.
“Lo, kok dikembalikan, Pak?” tanya Marwa.
“Tidak apa-apa, Neng. Mana mungkin seorang ayah mau menerima ongkos dari putrinya sendiri. Anggap saja bapak ini adalah ayahnya neng. Masa sama ayah sendiri harus bayar?” Sang sopir kembali tersenyum lebar hingga ke dua matanya terpejam rapat.
Marwa tersenyum, “Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, Neng.”
Marwa pun turun dari taksi.
“Bapak pergi ya, Neng,” ucap sang sopir taksi ramah seraya melambai tangan.
Marwa tersenyum, “Hati-hati, Pak.”
Tidak lama, mobil itu pun menghilang dari pandangan mata Marwa. Marwa membuka telapak tangannya. Ia berniat menyimpan kembali uang lima puluh ribu itu.
Marwa ternganga. Ia tidak menyangka jika sang sopir taksi menyelipkan sesuatu ke dalam selembar uang itu. Dua buah permen manis ia selipkan di sana.
Marwa, Sayang … Mana tangannya.
Untuk apa tangan Marwa, ayah …
Ayah ada sesuatu untuk Marwa. Ayah akan berikan kalau Marwa memberikan telapak tangan kanan Marwa pada ayah.
Wah … Permen manis. Terima kasih, Ayah …
Lagi-lagi Marwa menitikkan air mata. Apa yang sudah dilakukan oleh sang sopir taksi bagaikan dejavu bagi Marwa. Kejadian itu juga pernah ia alami bersama ayah kandungnya dulu.
Ayah … batin Marwa seraya menggenggam kembali uang dan permen itu dengan erat.
Wanita itu pun pada akhirnya berlalu masuk ke dalam apartemen. Ia masuk ke dalam lift lalu menekan tombol nomor tujuh sebab unit miliknya ada di lantai tujuh.
Semua orang yang ada di dalam lift terus memerhatikan Marwa. Mungkin karena wanita itu masih mengenakan pakaian rumah sakit, hingga jadi pusat perhatian banyak orang di sana.
Sesampai di lantai tujuh, Marwa pun langsung meninggalkan lift seraya melangkahkan kakinya menuju unit miliknya.
Namun, sesampainya di depan pintu unit miliknya, jantung Marwa seketika berdebar hebat. Seakan ia punya firasat buruk.
Ya Tuhan … Sudah lama aku tidak menginjakkan kaki di rumah. Sudah dua bulan lamanya. Aku rindu suasana rumah. Tapi kenapa aku jadi berdebar begini? batin Marwa.
Perlahan, Marwa pun mulai membuka pintu dengan memasukkan kode serta sidik jarinya di sana. Tidak lama, pintu pun terbuka.
Lo, kok ada sepatu wanita di sini? Apa jangan-jangan mas Aldo sedang ada tamu? batin Marwa lagi.
Wanita itu pun berjalan perlahan menuju kamarnya. Tapi ia malah mendengar suara yang tidak biasa. Ada suara orang bercakap-cakap di kamar itu. Apa lagi pintu kamar dibiarkan terbuka.
Semakin dekat, Marwa semakin jelas mendengar suara kekehan ringan dan canda tawa. Suara dari lelaki dan perempuan. Suara yang ia kenal selama ini.