Part 7

1135 Words
Kantuk Raia benar-benar hilang sekarang. Ia memandang kakaknya yang masih memunggunginya yang kini tengah memasukkan air panas ke dalam gelasnya. "Inget, kenapa emang?" Tanya Raia ingin tahu. Cukup ada jeda dari Sandy saat pria itu mengambil sendok dan mengaduk minumannya sebelum menjawab pertanyaan Raia. "Apa dia salah satu temen kamu yang tadi disini?" tanya Sandy ingin tahu. "Maksudnya? Apa dia itu Giska atau Kiki, gitu?" Raia balik bertanya. Sandy menganggukkan kepala. Raia menjawab dengan mengedikkan bahu yang membuat Sandy mengernyit bingung. "Kok, jawabannya gitu?" Tanya Sandy bingung. "Ya, tebak aja sendiri. Apa Gina itu salah satu dari mereka atau bukan. Emang kenapa sih, baru aja balik udah nanyain Gina. Kangen? Mau ketemu?" Tanya Raia dengan nada mengejek. "Bukan begitu, Cuma penasaran aja." Jawab Sandy berusaha terlihat biasa. Namun Raia jelas bisa menangkap hal lain dari kakaknya itu. Hubungan mereka memang terpisah karena jarak, namun bukan berarti mereka tidak dekat satu sama lain. Raia masih bisa mengenal kakaknya sekalipun ia tidak setiap hari mengenalnya. "Menurut Abang, Giska sama Kiki orangnya gimana? Diantara mereka, siapa yang lebih Abang suka?" Tanya Raia ingin tahu. "Kok jadi kesana sih pertanyaannya? Gak nyambung tahu." Keluh kakaknya tak suka. Raia kembali mengedikkan bahu. "Cuma penasaran aja. Raia udah temenan sama mereka bertahun-tahun. Mereka akrab sama Mama, papa sama kak Kiran dan keluarganya juga, jadi sekarang Raia mau tahu apa mereka juga bisa akrab sama Abang. Raia mau tahu penilaian Abang sebagai cowok." Giliran Sandy yang mengedikkan bahu. "Mereka kelihatannya baik." Jawabnya singkat. Raia menganggukkan kepala. "Selain itu?" Tanyanya lagi ingin tahu. "Raia tahu loh, dari tadi Abang merhatiin mereka diam-diam." Ucapnya dengan nada mengejek yang membuat Sandy memicingkan mata. "Kiki.." Sandy mulai memberikan penilaian, karena jika dia tidak mengatakannya ia tahu kalau adiknya akan terus mengejarnya dan meminta jawaban. "Dia gadis yang anggun, beretika. Dia tahu cara bersikap dan tentunya dia tipe yang akan menarik perhatian laki-laki di pertemuan pertama." Setiap kalimat yang Sandy katakan Raia jawab dengan anggukkan kepala. "Kalo Giska?" Tanya Raia lagi dengan sebelah alis terangkat. "Giska.." Sandy terdiam sejenak. Entah kenapa, membayangkan wajah Giska yang jutek saat mengulurkan tangan dan berkenalan tadi membuatnya mengingat Gina—sikapnya—saat mereka pertama kali berkomunikasi. "Giska itu kelihatannya jutek ya, ketus juga?" Ia balik bertanya pada adiknya. Raia menganggukkan kepala. "Dia jutek, sama orang yang gak dia kenal." Ucapnya menjelaskan. "Tapi kalo udah lama kenal, dia orangnya enak diajak ngobrol kok. Gak jutek-jutek amat. Cuma emang kalo ketus, dia begitu sama semua orang. Gak pandang bulu." Jawab Raia membenarkan yang dijawab Sandy dengan anggukkan mengerti. Ingatannya lagi-lagi mengarah pada Gina. Dan mungkin karena ia melamun ditengah perbincangan, Raia melambaikan tangannya di depan wajah Sandy untuk membuatnya kembali pada saat ini. "Kenapa sih? Ngelamunin siapa?" Tanya Raia ingin tahu. Sandy hanya menggelengkan kepala seraya menyeruput minumannya yang sudah mulai menghangat. "Kapan Abang bisa ketemu sama Gina?" Tanya Sandy tiba-tiba yang membuat Raia berjengit mendengarnya. "Kok nanya sama aku sih? Kan yang jalanin hubungan Abang sama Gina. Tanya aja dia, kapan bisa ketemu." Ucapnya dengan senyum mengejek di wajahnya. "Iya, tapi kan kamu yang ngasih nomornya ke Abang. Kamu juga dong yang tanggung jawab mempertemukan kita secara langsung." Raia menggelengkan kepala dan mengangkat kedua tangannya setinggi kepala. "Maaf, untuk urusan itu Raia gak ikut campur." Ucapnya mengelak. "Kan dari awal Raia bilang ke Abang kalo Raia ngasih simcard itu supaya Abang punya temen ngobrol. Supaya Abang punya temen curhat. Kalo Abang curhat sama aku, Kak Kiran ataupun Mama, Raia tahu akan canggung rasanya. Makanya Raia kasih nomor itu. Urusan selanjutnya ya itu kan urusan kalian berdua. "Mau Abang suka sama dia, itu urusan Abang sama dia. Abang mau ketemuan sama dia, itu juga urusan Abang sama dia. Raia gak ikut campur. "Kecuali kalo nanti Abang mutusin buat nikahin dia, mungkin baru Raia campur tangan. Masa iya sebagai calon adik ipar yang baik Raia acuh gitu aja sama nikahan calon kakak ipar dan Abang." Ucapnya dengan senyum genit yang membuat Sandy kembali menjentikkan jarinya di dahi Raia. "Ketemu juga belum, udah bahas masalah nikah." Ucap Sandy yang membuat Raia nyengir semakin lebar. "Kenapa? Ada tanda-tanda atau percikan cinta diantara kalian?" Tanya Raia dengan nada menyelidik. "Please deh, masa iya bisa cinta. Ketemu aja belum." Jawab Sandy sambil terkekeh geli dan kembali menyeruput minumannya. Raia menggelengkan kepala dan menggoyangkan jari telunjuknya di depan wajah sang kakak, menolak menyetujui pernyataan kakaknya itu. "Abang tahu gak sih lagunya Marshanda yang judulnya Pasangan Yang Tepat?" Tanya Raia yang dijawab gelengan kepala Sandy. "Lagunya begini. "Kutahu kucinta kau, sebelum bertemu. "Kau pasangan yang tepat, hari ini dan seterusnya. "Ku tahu kucinta kau, sebelum bertemu. "Kau pasangan yang tepat untukku." Nyanyinya dengan suara sumbangnya yang membuat Sandy gemas dan mengacak rambut adiknya itu. "Nah, Abang sama Gina juga begitu. Bisa jadi kalian saling cinta sebelum bertemu. Secara kan selama ini rajin telepon-teleponan. Rajin sms-sms'an. Padahal udah gak jaman lagi ya. Biasanya kan sekarang ini yang rajin SMS itu operator atau tukang tagih utang." Jawabnya yang kemudian terkekeh sendiri dengan ucapannya. "Ya kan kamu sendiri yang ngasih jalan komunikasi dengan cara begitu." Jawab kakaknya lagi, enggan disebut kuno oleh adiknya sendiri. "Ya kan banyak jalan menuju Korea. Kenapa Abang gak nanya dan minta sendiri akun media sosialnya. Minta facebooknya, ignya, atau apa kek, twitternya kali. Dua tahu ini kemana aja, masa iya Raia juga yang harus ngasih info." Gerutu Raia lagi dengan bibir mencebik yang kembali membuat kakaknya kesal. "Ya udah, kalo gitu sekarang kasih tahu apa susahnya sih?" Bujuk kakaknya itu. Kali ini Sandy memang dibuat penasaran dengan ucapan adiknya. Namun bukannya memberikan apa yang kakaknya mau, adiknya itu malah mengedikkan bahu dengan bibir yang kembali mencibir. "Usaha sendiri dong, udah gede juga. Masa iya jadi laki gak berani minta akun medsos cewek. Kuliah aja di luar negeri, tapi masih malu-malu meong." Ledeknya lagi yang membuat Sandy semakin gemas. "Raia gak mau berat sebelah. Raia juga gak ngasih info apa-apa tentang Abang sama dia. Jadi biar adil, usaha sendiri-sendiri. Tapi kalo memang kalian gak bertemu juga, ya itu berarti kalian gak berjodoh. Segitu aja." Ucapnya dengan senyum manis nan lebar di wajahnya. "Satu poin penting yang harus Abang tahu. Gina itu gadis yang baik, sangat baik. Jadi, don't judge the book from the cover, yes?" kekehnya geli sendiri dengan bahasa yang ia ucapkan. "Siapa tahu covernya horror isinya malah cerita roman manis. Toh lagu Korea juga musiknya nge beat tapi liriknya mellow bin bikin sedih." Lanjutnya seraya berjalan meninggalkan Sandy yang hanya bisa memandangi adiknya yang sedikit absurd itu. Ada apa dengan adiknya? Kenapa adiknya bisa jadi seperti ini? Tentu saja ini semua akibat pergaulan yang adiknya itu jalani selama ini. Sandy tak bisa menyalahkan, selama adiknya tidak berbuat yang macam-macam ia masih bisa memaklumi. Alhasil ia hanya bisa menggelengkan kepala, menghabiskan sisa s**u yang tersisa dalam gelasnya dan mencucinya sebelum kembali ke kamarnya, berharap bisa memejamkan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD