Rayya sudah menaruh beberapa cangkir berisi air teh hangat di atas meja, dan dua piring cemilan berisi buah jeruk dan kue bolu yang ia bawa dari tokonya.
Setelahnya ia tidak langsung ke belakang, hanya menaruh nampan yang tadi ia bawa di kolong meja.
"Silakan Bu Laksmi dan Pak Tara, nikmati hidangan yang bisa kami suguhkan," ucap Pak Seto —ayah Rayya, kepada dua tamunya malam itu.
"Terima kasih. Kalian tidak perlu repot-repot seperti ini." Bu Laksmi terlihat tersenyum meski sejak awal sudah tampak gerakan resah dan gelisah di tubuhnya.
"Ah, tidak repot. Hanya air teh dan cemilan yang ... ya, sederhana," sahut Bu Ani tersenyum.
Kedua orang itu pun mengambil cangkir masing-masing. Rayya sengaja membuat air teh itu hangat, sehingga memudahkan kedua tamu untuk meminumnya.
Bu Laksmi meletakkan cangkir lebih dulu, sepertinya ia sudah tak sabar dengan permintaan calon besannya yang ingin bertemu.
"Jadi Bu Ani dan Pak Seto, ada hal penting apakah sehingga kalian meminta kita untuk bertemu?" tanya Bu Laksmi to the point.
Pak Seto dan Bu Ani —kedua orang tua Rayya, saling memandang. Sejak mula sang putri menceritakan kejanggalan yang terjadi di tengah-tengah proses pendaftaran pernikahan mereka di kantor urusan agama, mereka sudah yakin dan mantap untuk menyampaikan hal ini pada pihak keluarga Dimas.
"Pak Tara dan Bu Laksmi jadi begini, mengenai permintaan kami untuk kita bertemu adalah sebab adanya sebuah hal yang sangat penting, yang harus kami sampaikan pada kalian."
Pak Seto memberi jeda dalam kalimatnya. Lalu, ia pun melanjutkan hal apa yang memang harus ia sampaikan.
"Rayya tadi baru saja memberi tahu kami mengenai kejanggalan proses pendaftaran yang kiranya akan ia dan Dimas lakukan. Dimas memang belum tahu, sebab Rayya-lah yang menyadari pertama kali."
"Apa itu, Pak Seto?" tanya Pak Tara mulai penasaran. Perasaannya mengatakan ini bukanlah sesuatu yang baik.
"Maaf, ternyata kita tidak menyadari ada hal yang sepatutnya kita bahas, yaitu mengenai nama yang akan didaftarkan di KUA nanti. Rayya atau Ria, ini adalah hal penting yang kita tidak sadari, Pak Tara, Bu Laksmi." Pak Seto, ayah Rayya menghentikan ucapannya.
Ekspresi terkejut terlihat dari wajah calon besannya. Sepertinya hanya dengan mengatakan hal itu, kedua tamunya mengerti arah pembicaraan mereka.
"Ya ampun, iya, Pak, kenapa kita bisa lupa mengenai hal penting ini." Lemas sudah tubuh tua Bu Laksmi yang beberapa waktu belakangan sudah terlihat segar ketika melihat sang putra semata wayang pulih dari sakitnya.
Terlihat Pak Tara mengangguk. Raut bingung mulai tampak di wajah bijaknya.
Selama ini Rayya memang melihat sosok Pak Tara sama persis dengan ayahnya. Lelaki yang sama-sama tidak muda lagi itu, memliki sifat dan sikap tak jauh beda. Itulah mengapa Rayya merasa nyaman berbicara dengan Pak Tara, dibanding Bu Laksmi. Bukan karena ia membenci wanita tua itu, bukan. Tapi Rayya hanya merasa minder dengan kemewahan yang tampak di tubuhnya.
Meski pakaian yang dikenakan Bu Laksmi adalah pakaian yang sangat sederhana, tapi memang dasarnya ia adalah wanita kaya raya, tak bisa dipungkiri antara dirinya dengan calon mertuanya itu Rayya merasa jauh berbeda. Bak bumi dan langit, itulah yang Rayya rasakan.
"Entah bagaimana bisa Almarhumah Ria mengimbangi kekayaan Dimas dengan dirinya sendiri yang berasal dari keluarga sederhana. Hanya bermodalkan wajah cantik dan statusnya sebagai karyawan di perusahaan Dimas, Ria bisa tidak peduli dengan kondisi mereka yang berbeda," batin Rayya kala menyadari betapa kayanya keluarga calon mertua kembarannya itu, yang saat ini berubah menjadi calon mertuanya.
"Jadi, menurut kalian bagaimana?" tanya Pak Seto yang melihat kebungkaman mendadak yang kedua calon besannya tampakkan.
Rayya jujur saja kasian melihat wajah kedua orang tua di depannya. Tapi, ia sendiri tak ingin masuk ke dalam lubang zina dengan tetap menikahi Dimas tetapi Ria-lah yang sebetulnya lelaki itu nikahi.
Ada hal yang selama ini sedikit menggangu pikirannya harus ia bicarakan pada Pak Tara dan Bu Laksmi.
Kedua orang itu tetap belum bersuara ketika Rayya akhirnya memposisikan dirinya untuk bicara serius.
"Pak Tara, Bu Laksmi, maaf kalau sekiranya aku lancang. Tapi, saran dariku yang mudah-mudahan bisa Bapak dan Ibu terima, ada baiknya kita bicara jujur pada Dimas. Bukankah ia sudah pulih dan kiranya bisa menerima cerita yang harusnya kita sampaikan kebenarannya?" Rayya menatap serius kedua orang tua itu, yang kini semakin terlihat gelisah.
"Tapi, Nak, apakah Dimas bisa menerimanya setelah ia merasa bahagia akan pernikahannya yang akan digelar ini?" tanya Pak Tara menatap lesu Rayya.
"Apa yang harus aku terima, Yah?" Sebuah suara yang terdengar dari arah pintu mengagetkan semua orang yang ada di dalam ruang tamu sederhana itu.
"Dimas!" pekik Rayya dan yang lainnya kompak.
Lelaki itu menatap Rayya, lalu semua orang termasuk kedua orang tuanya yang duduk tak jauh dari posisinya berdiri saat ini.
"Sepertinya ada pembicaraan serius yang tidak melibatkan aku di dalamnya. Apakah ini adalah sebuah kesengajaan atau konspirasi di mana aku tidak berhak tahu?" tanya Dimas emosi.
Sejak mengetahui kekasihnya pulang lebih awal dan diantar oleh Fauzan, Dimas sudah merasa kesal dan cemburu. Ditambah rasa herannya atas nama Rayya yang berkali-kali disebut oleh Meidy —salah satu karyawan Rayya, membuat perasaan Dimas semakin diliputi rasa kesal dan amarah.
Lelaki itu kemudian menghampiri Rayya, dan duduk di sebelah gadis itu yang secara kebetulan memang tersisa tempat untuk satu orang.
"Aku tadi ke tokomu, tetapi karyawan di sana bilang kamu sudah pulang sebab ada keperluan. Juga, kamu diantar pulang oleh seorang lelaki bernama Fauzan yang katanya hampir setiap hari datang ke sana. Apakah itu benar?" tanya Dimas pada Rayya, yang tak peduli dengan banyaknya orang di ruangan itu, termasuk kedua orang tuanya yang diam membeku atas kehadiran putra mereka yang tiba-tiba.
"Ehm, ya, aku hari ini memang pulang cepat. K—kebetulan tadi temanku —Fauzan, yang pernah aku ceritakan tempo hari padamu, datang untuk membeli kopi dan kue, jadi aku ikut pulang sekalian dengannya karena aku tidak membawa motor tadi." Entah kenapa Rayya merasa panik. Penjelasan yang ia berikan pada Dimas, seolah bom waktu yang khawatirnya akan membuat lelaki itu marah.
"Lantas, ada keperluan apa yang membuatmu pulang cepat? Apakah karena kedatangan kedua orang tuaku?" Dimas sudah menatap kedua orang tuanya. Dua orang tua yang terus menunduk sejak ia datang dan berdiri di pintu rumah Rayya.
"E—eh, ya. Benar."
Rayya memilih jujur. Toh, pikirnya mau Dimas datang saat ini atau tidak, pembicaraan ini patut ia ketahui.
"Yah, Bu, ada apa ini?" tanya Dimas yang kini beralih menatap kedua orang tuanya, seolah pesona kecantikan Rayya kalah telak dengan wajah Pak Tara dan Bu Laksmi, yang menurutnya saat ini sangat menarik di matanya.
Pak Tara dan Bu Laksmi mengangkat wajah dan menatap calon besannya yang sejak tadi juga diam saja. Seperti meminta dukungan, jawaban apa yang seharusnya ia sampaikan pada sang putra.
Atmosfer lain memang begitu terasa di ruangan itu ketika Dimas muncul. Sehingga membuat Pak Seto dan Bu Ani pun ikut terdiam.
"Yah, Bu?" Masih tak mendapatkan jawaban, Dimas semakin kesal.
"Dim, bolehkah aku yang bicara dan menyampaikan hal yang kami bahas di pertemuan ini?" Rayya memberanikan diri bertanya.
Dimas menoleh ke sebelah calon istrinya. Wajah cantik yang selalu ia rindukan menatap serius padanya.
"Nak Rayya, biar kami saja. Sepertinya masalah ini lebih baik kami bahas di rumah." Pak Tara menyahut, sepertinya ia terlampau khawatir dengan kondisi putranya.
Aksi ping pong yang terjadi di depannya membuat Dimas bingung, sehingga ia tersulut emosi kembali. Setelah sebelumnya bisa berdekatan dengan Rayya —yang ia ketahui adalah Ria, sedikit mendinginkan suasana hatinya.
"Sebenarnya ini ada apa? Kenapa kalian seolah ingin menutupi sebuah berita yang tidak layak aku ketahui?" tanyanya menatap wajah kedua orang tuanya.
"Dimas, bukan begitu, Nak. Ibu dan Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu padamu." Giliran Bu Laksmi bersuara.
"Terjadi sesuatu? Memang seberapa penting dan rahasianya kalian menyembunyikan masalah ini sehingga membuat kalian khawatir akan kondisiku ini?"
Sikap gelisah yang lagi-lagi tampak di kedua orang tua Dimas, membuat Rayya jengah.
"Dimas, aku bukanlah Ria, tunanganmu. Tapi aku adalah Rayya, kembaran Ria, yang juga sudah kamu kenal sebelumnya!"
Bak petir di siang bolong, Dimas terkejut dan kini menatap kosong sang calon istri. Hal yang sudah kedua orang tuanya tebak dan kini mereka menunduk lesu, membayangkan kejadian apa yang akan terjadi pada putra mereka itu selanjutnya.
***