Tak banyak kata begitu makan siang yang Dimas pesan sudah terhidang di atas meja, hanya pandangan takjub akan beberapa makanan yang tersaji terlihat mewah dan pastinya lezat terpancar dari wajah Rayya.
"Kamu sepertinya begitu lapar? Apakah aku terlambat mengajakmu makan?" tanya Dimas tak enak hati, sebab melihat mata tak berkedip dari gadis di depannya itu.
"Ah, tidak. Biasa saja." Rayya terhenyak, mendapati pandangan dari Dimas yang terlihat khawatir padanya.
"Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Rayya merasa bersalah.
Dimas masih menatap gadis itu intens. Entah mengapa, ia seperti tidak suka melihat pandangan mata itu padanya.
"Dimas! Tolong jangan menatapku seperti itu? Apakah salah jika aku menyukai hidangan yang terlihat lezat di atas meja ini?"
"Sungguh bukan karena kamu kelaparan?"
"Hei, apa maksud pertanyaanmu itu?" Rayya kini menegakkan tubuhnya pada sandaran kursi, dan mencoba mencari tahu dari kedua netra hitam di depannya.
"Ehm, ah, maaf aku tidak bermaksud seperti itu, hanya saja aku melihat wajahmu yang ... ah, sudahlah lupakan! Mari kita makan!" ajak Dimas yang lebih memilih mengalihkan pembicaraan.
Rayya masih menatap lelaki itu dalam diam. Tampak Dimas sudah mulai mengambil makanan yang tersaji ke atas piringnya. Daripada berpikir hal yang tidak-tidak, gadis itu pun memilih untuk menikmati hidangan lezat dari restoran mewah yang mereka kunjungi.
Saat Rayya hendak mengambil beberapa menu makanan yang ada di atas meja, Dimas dengan sebuah piring yang sudah terisi beberapa makanan, menyodorkan padanya.
"Makanlah! Aku tidak tahu mana saja yang kamu sukai, jadi aku mengambil beberapa macam." Senyum menjadi aksi akhir dari kalimat yang Dimas ucapkan.
"M—makasih, tetapi kamu tidak perlu repot. Aku bisa ambil sendiri," sahut Rayya sembari mengangkat piringnya yang masih kosong.
"Ambillah! Minimal ada hal-hal kecil yang bisa aku lakukan dari persetujuanmu atas permintaanku."
Deg!
Apa maksud lelaki itu? Rayya sama sekali tidak mengharapkan balasan atas jawaban iya yang ia berikan padanya. Semua tulus ia lakukan atas dasar kemanusiaan.
"Aku tahu kamu tulus membantuku, Ra. Tapi, aku pun tulus melakukan apapun yang akan aku lakukan padamu nantinya. Jadi, tolong jangan menolaknya." Dimas masih mengangkat piring berisi makanan itu di depan Rayya.
Melihat kesungguhan yang tampak di wajah lelaki itu, Rayya akhirnya menerima piring itu.
"Makasih!"
Dimas tersenyum menanggapi ucapan dari mulut Rayya, lalu mengambil piring kosong yang ada di tangan gadis itu untuknya sendiri. Ia lalu mengambil makanan itu seperti tadi ia mengambil untuk gadis di depannya.
Keduanya pun kemudian makan dalam sikap yang sedikit canggung. Namun dengan begitu, Rayya dan Dimas masih bisa mengobrol meski tidak seperti saat di awal tadi.
***
Di tempat lain, terlihat Niken —wanita yang mengaku sebagai sahabat Dimas, terlihat juga sedang makan siang bersama beberapa kawan wanitanya.
Niken tampak sekali kesal ketika berbicara dengan para wanita kelas atas tersebut.
"Kamu terlalu jauh berpikir dengan mengatakan jika Dimas ada hubungan dengan perempuan itu, Ken!" seru salah satu perempuan.
"Bagaimana aku tidak berpikir ke sana, Mona, sedangkan kehadiranku saja saat di dalam ruangannya tadi seolah tidak Dimas anggap. Padahal dulu ia tidak begitu. Saat mantan tunangannya masih hidup saja, aku bisa dinomor satukan oleh Dimas, tetapi hari ini ia mengabaikanku gara-gara perempuan itu. Sial!" sungut Niken dengan garpu yang ia pakai untuk memakan spaghetti, ia ketukan ke atas piring sehingga menimbulkan suara berdenting yang membuat beberapa kawannya mengerutkan kening.
"Sorry," lirihnya kemudian.
"Kamu cari tahu saja dulu, jangan keburu emosi," sahut kawan Niken yang lain.
Niken terlihat memasukkan gulungan mie berwarna merah karena saus itu ke dalam mulutnya.
"Ya, tentu saja. Aku tidak akan kecolongan lagi sekarang. Aku hanya pergi beberapa minggu saja, sudah ketinggalan informasi penting ini. Benar-benar bikin mood-ku buruk."
"Walau mood-mu buruk, tetapi masih saja kamu berselera makan," kekeh wanita bernama Mona tadi.
Niken hanya tersenyum sinis. "Ya, mau bagaimana lagi. Hawa kesal malah membuat perutku lapar!" sahutnya asal.
Gelak tawa pun terdengar dari empat wanita yang sedang menikmati makan siang di salah satu restoran di dalam mall. Kegiatan mengisi perut yang sejatinya hanya sebuah alasan untuk melakukan pertemuan sebagai ajang pamer semata.
Termasuk Niken yang baru saja pulang dari jalan-jalannya ke negeri tetangga —Singapura, selama dua pekan, langsung memamerkan barang mewah miliknya yang ia beli di sana, yaitu sebuah dompet yang ada dalam tas mahal yang ia tenteng ketika berkunjung ke kantor Dimas tadi. Tas yang harganya tepat sesuai taksiran Rayya ketika melihat wanita itu membawanya di tangan dengan gayanya yang sengaja dibuat anggun.
Ya, baru saja kembali dari luar negeri dan sengaja ingin menemui sahabat yang sudah ia sukai sejak dulu itu, Niken malah mendapat sikap yang tak mengenakan dari Dimas. Ia diusir oleh lelaki itu karena sedang ada keperluan dengan seorang perempuan yang wajahnya sangat ia benci.
Niken memang tidak menyukai Ria —calon istri sahabatnya itu. Alasan utamanya tentu saja cemburu sebab perempuan itu sudah merebut hati sahabatnya. Meski Niken sama sekali tidak dilupakan oleh Dimas sepanjang sahabatnya itu menjalin cinta dengan perempuan lain, tetapi itu adalah satu hal yang berbeda sebab Niken menginginkan cinta dari lelaki itu.
Sayangnya, Dimas memang hanya menganggap Niken tak lebih dari seorang sahabat. Meski lelaki itu tak pernah mengatakannya, tetapi Niken sadar jika hati Dimas memang tak bisa ia miliki.
Ketika sebuah kecelakaan yang menimpa pasangan kekasih tersebut sampai di telinganya, wanita itu bersorak saat mengetahui calon istri sahabatnya itu meninggal di tempat. Ia berpikir untuk mendapatkan peluang dari kekosongan hati Dimas atas perginya Ria untuk selamanya itu.
Namun, Tuhan memberi takdir kehidupan hamba-Nya dengan kuasa-Nya sendiri. Dimas dibuat koma dan kesehatannya tidak kunjung pulih paska kecelakaan tersebut. Ketika hampir menjadi gila, Niken malah menjauhinya dan bukan membantu sang sahabat melewati masa-masa keterpurukannya setelah bangun dari koma.
Itulah mengapa Bu Laksmi —ibu Dimas, seketika tak suka pada Niken yang seolah menjauhi putranya tersebut. Berbeda ketika Dimas masih sehat dan beraktifitas seperti biasa, Niken bisa sering muncul di kediaman mereka sebab jarak rumah yang cukup dekat dan dua keluarga yang sudah lama saling mengenal. Namun, begitu Dimas jatuh sakit, wanita itu sama sekali tidak pernah muncul meski hanya untuk memberi dukungan pada wanita tua yang begitu sabar merawat putra satu-satunya itu.
Tapi berbeda dengan Dimas. Lelaki itu masih berpikir positif pada sahabatnya. Bahkan dalam sambungan teleponnya, Dimas masih bisa menyampaikan berita di mana kondisi dirinya yang belum seratus persen pulih sebab ada memorinya yang hilang dari peristiwa kecelakaan yang menimpanya.
Sekarang, setelah bersenang-senang di luar negeri dan mendapat kabar jika Dimas telah sembuh, tetapi sedikit kehilangan kepingan memori, ia memutuskan kembali. Berharap jika lelaki itu akan mendapatkan keuntungan dari hilangnya sedikit ingatan yang terjadi pada sang sahabat.
Namun, sekarang rencana yang sudah ia susun harus terganjal dengan hadirnya sosok yang tidak ia duga akan ada di situasi ini. Satu lagi yang Niken tidak tahu, Bu Laksmi akan berjuang penuh untuk membuat putranya jatuh cinta pada Rayya, calon menantu yang sudah ia idamkan sejak pertama kali bertemu di kediaman gadis itu ketika awal perkenalan keluarga Dimas dan keluarga Ria atau Rayya.
***