Demi mengambil sogokan, Seira sampai bela-belain datang sendiri ke rumah sakit. Dia pakai alasan datang membawakan makan siang Elard. Yang masak bibi pengurus rumah. Seira hanya kebagian memasukkan ke dalam rantang.
Cewek itu jalan berjingkrak, diikuti anaknya di belakang. Orang yang melihat pasti tertawa, merasa mereka kompak sekali. Hanya tampang Elard saja yang terlihat kesal saat Seira masuk ke ruang kerjanya.
“Tadaaa! Aku bawakan makanan kesukaanmu. Cumi goreng tepung, sup tahu dan salad jagung manis!” Sudah tak mengetuk pintu, suaranya keras pula. Lalu ada Olivia yang meniru kelakuan tak sopan mamanya.
“Oli bawakan Pa cucu kedelai!” Yang satu angkat rantang, yang satu angkat termos.
“Kalian ini, sana keluar!” Elard menghela napas panjang. Bukannya mau mengusir, tapi masih ada yang harus didiskusikan dengan rekan kerjanya.
“Ambil ini dulu!”
“Botolnya belat, Pa!”
Mereka protes pun kompakan sekali. Daripada makin menjadi, Elard segera mengambil rantang dan termos yang mereka bawakan. “Besok jangan datang lagi.” Pakai melarang lagi. Padahal salah sendiri selalu pergi terburu-buru tak sempat membuat bekal.
“Iya!” Sahut Seira dan Olivia kompakan. Memeletkan lidah, lari mau mencari Dinar.
“Jangan lari-lari, Seira!” Mana telinga bebal Seira mau dengar. Habis kena omel gitu, dia ikutan merajuk dong.
“Ma, kita tak pulang?” Karena Seira keliling rumah sakit tak jelas, Olivia jadi kepo. Sudah malas jalan, minta digendong pula.
“Kita cari dermawan brownies dulu, Olivia.”
“Om Dinal ya?”
“Tahu aja!”
“Bagian Oli jangan lupa.”
“Tenang, ada kok. Mama selalu ingat.”
Untung Dinar bisa ditemukan dengan mudah. Sedang melarikan diri ke halaman belakang, bersantai padahal belum jam istirahat. Memang cowok satu itu, hidupnya santai sekali. Kadang Seira merasa Dinar tak punya beban pikiran selain siksaan istri galak.
“Om Dinal, Oli minta bolownis.”
“Brownies lumer!”
“Kalian ini rakusnya mirip banget. Brownies-nya langsung diantarkan ke rumahmu, Seira. Katanya sore gitu.” Dinar menoleh mendengar ocehan mereka. Menyapa saja belum, sudah minta sogokan saja.
“Tahu gitu kami nggak ke sini. Bilang di chat dong!” Tampang Seira berubah bete seketika.
“Siapa suruh nggak tanya.” Mana Dinar peduli. Yang penting sogokan sudah dikasih.
Seira misuh-misuh, ikutan Dinar membolos. Mumpung sudah terlanjur datang, sekalian saja tanya-tanya. Salah Kirana yang banyak menakutinya.
“Om, ada cewek-cewek yang dekati Elard nggak?”
“Kamu tanyanya gitu amat, tumben. Kenapa? Diselingkuhi ya?”
“Enak aja! Tanya doang kok!”
“Banyak kok banyak, nggak usah cemas.”
“Bantu awasi dong!”
“Ogah. Om sibuk tahu.”
“Sibuk apaan.”
Tadinya Seira mau mengganggu Dinar, tapi ia mengurungkan niatnya saat menyadari kemurungan di wajah Dinar. Keceriaan berlebihan pria paruh baya ini sudah sedikit meredup, membuat Seira mulai berpikir bila Dinar pun, merupakan manusia biasa yang punya beban pikiran.
“Kalau ada masalah boleh cerita kok. Aku bakal dengarkan,” ujar Seira, serius.
Dinar tercengang. Sampai dirinya dicemaskan oleh cewek semacam Seira ... bukannya berarti memang pikirannya telah ditelan oleh kegelisahannya?
“Mendingan cari Olivia deh. Dia langsung lari habis kamu turunkan tadi.” Tidak akan Dinar biarkan pikirannya menjadi selemah itu. Dia harus menjernihkan pikirannya, memastikan Seira sibuk dengan hal lain agar tak perlu mencemaskannya lagi.
“Apa? Hilang lagi! Anak nakal satu itu!” Seira baru sadar anaknya lari entah ke mana. Dia segera bangkit berdiri, berlari mencari Olivia. Jangan sampai ketemu dengan Elard. Bisa makin disalahkan dia. Sudah tak langsung pulang, jaga anak pun tak becus.
Sialnya Seira, ia menemukan Olivia dalam gendongan Elard. Mungkin diskusinya sudah selesai, atau diselesaikan dengan cepat karena kemunculan anak nakal itu. Seira berkeringat dingin saat Elard melihatnya. Suaminya itu terlihat marah. Berjalan dengan cepat menghampirinya.
“Kamu ini, Seira. Jaga anak gimana sih! Masa Olivia dibiarkan tidur di depan ruangan saya begitu saja!” Untung Elard temukan. Kalau dibawa orang tak dikenal gimana.
“Tadi masih duduk di sampingku kok. Tiba-tiba saja hilang.”
“Gimana bisa tiba-tiba hilang! Pasti kamu nggak fokus, bergosip tak jelas sana-sini. Disuruh pulang aja susah banget!” Tahu saja deh kelakuan Seira. Saking tepatnya, Seira hanya bisa menunduk dimarahi. Elard pun lelah sendiri, mengajari hal yang sama berulang-ulang.
“Sudah sana, bawa pulang. Saya pulang telat hari ini. Pastikan jaga Olivia yang benar.” Dia hanya ingin sedikit keringanan. Setidaknya ia bisa bekerja dengan tenang tanpa mencemaskan Seira dan Olivia, tapi istrinya ini terlalu sulit diandalkan.
“Mana jawabanmu, Seira.”
“Iya!” sahut Seira, jutek. Dia sudah paham kok. Tak perlu bicara diulang-ulang. Kalau begini, kan rasanya jadi makin tak enak hati.
“Langsung pulang!”
“Iya!”
Seira langsung berlari setelah Olivia dioper padanya. Dia sadar diri salah, tapi rasanya tetap kesal. Elard tak benar-benar mendengarkannya. Hanya terus meminta tanpa memberikan waktu untuk mereka. Olivia lari ke ruang kerja Elard juga pastinya karena kangen main sama papanya, tapi tak berani mengetuk pintu setelah diusir tadi. Seira bisa langsung tahu alasan dari kelakuan anaknya. Makanya dia tak pernah marah pada Olivia biarpun tingkah anak itu selalu menyebalkan.
***
Menidurkan Olivia di malam hari selalu saja susah. Penyebabnya karena ini anak manja sama Elard. Kebiasaan ditidurkan Elard sejak bayi. Sekali Seira mencoba menidurkan, jadinya malah seperti tanya jawab tak jelas.
“Ma, Pa kapan pulang?”
“Entah, kamu tidur gih.”
“Mau bobok sama Pa.”
“Papa sibuk.”
Seira berbaring di sofa, Olivia pun ikut berbaring di atas perut Seira. Menjadi pemberat membantu mengempiskan perut yang sudah lumayan kendur. HP menempel di muka Seira, seperti sudah menjadi bagian wajah mamanya.
“Ma jangan bobok di cini.”
“Mama nggak tidur, tapi stalking IG tempat makan lagi ngehits.”
“Setele ... his?”
“Maksudnya cari tempat makan enak. Hari Minggu Papa libur. Kita ajak jalan-jalan yuk.”
“Oli mau! Cari yang ada ayam kriuk-kriuk!”
“Tidur dulu. Kalau nggak jadi anak baik, mama nggak bakal ajak kamu.”
“Ma pelit!”
“GYAAA!” Perut Seira disundul oleh kerasnya kepala Olivia. Sudah ancamannya gagal, malah kena tindas. Seira sampai hampir jatuh dari sofa, gemetaran kesakitan.
Bertepatan dengan itu, Elard pulang. Dia terdiam di depan pintu melihat Seira meringkuk seperti udang. Dan Olivia masih bangun. Langsung lari memeluknya dengan tatapan berbinar-binar.
“Pa, Minggu nanti Oli mau makan ayam kriuk-kriuk. Lalu kita main pancuran ail.” Tahu-tahu saja Elard diajak makan keluar dan bermain di kolam renang. Tak mungkin anak kecil begini yang mau sendiri, pasti Seira yang merencanakan dan menyuruh Olivia bilang padanya.
“Bangun, jangan pura-pura tidur. Memangnya kapan saya bilang kalau hari Minggu saya sempat? Saya ada urusan dengan teman kampus.” Kena omel lagi Seira. Kepalanya disenggol pelan. Tak ditanya mananya yang sakit habis disiksa Olivia.
“Siapa yang tidur. Sakit banget ... makin gede anakmu makin nakal.” Seira mengeluh, kurang mendengarkan perkataan Elard.
“Pa jangan gitu! Maca sibuk mulu! Oli dan Ma nggak penting lagi ya!” Setelah mendengar teriakan Olivia, barulah kesadaran Seira kembali. Bahkan ia terkejut. Tak menyangka anaknya akan berkata seperti itu.
“Seira?” Elard menatap Seira penuh tanya, berpikir bila Seira juga yang mengajarkannya berkata demikian.
“Aku nggak ajari yang kayak gitu!” Seriusan. Seira bahkan tak pernah berpikiran seperti itu. Apalagi mengajarkan anaknya mengucapkan sesuatu yang menyusahkan Elard.
“Kalau bukan kamu siapa lagi!” Kok nggak percaya padanya. Dia sudah sangat bersabar menjaga Olivia setiap hari. Ke mana pun dia bawa, sampai memohon bantuan Kirana saat kerepotan, bukannya menghubungi Elard karena dia mencoba mengerti kesibukan suaminya.
“Mana aku tahu!” Seira hanya bisa berkata dia tak tahu karena memang itu kenyataan. Dia tak akan mengakui apa yang tidak dia lakukan.
Elard tak mengerti, dia malah berpikir Seira hanya cari alasan. Hatinya dongkol. Terutama karena Olivia langsung berlari ke kamarnya sendiri setelah mengucapkan kata-kata yang mustahil dipahami oleh anak berumur dua tahun.
“Sudahlah. Besok kamu bujuk Olivia, bilang kalau hari Minggu saya nggak bisa jalan-jalan dengan kalian.” Sikap Elard yang jelas-jelas menyalahkannya itu, membuat Seira kesal. Dia tak menjawab, hanya duduk diam di sana tak mau menyusul Elard ke kamar.
“Jawab juga nggak bakal dipercaya. Dasar om-om nyebelin!” Seira hanya mengamuk sendiri setelah Elard pergi. Lalu memainkan bantal sofa, berniat menonton film horor maraton sebagai bentuk perlawanannya.