I don't know how you are so familiar to me—or why it feels less like I am getting to know you and more as thought I am remembering who you are. How every smile, every whisper brings me closer to the impossible conclusion that I have known you before, I have loved you before—in another time, a different place—some other existence.
Pelita menghela napasnya pelan. Manik madunya menatap lurus pada layar laptop yang ada di depannya. Kursor yang ada di lembar dokumen word yang digarapnya berkedip di akhir paragraf.
Baru saja. Gadis cantik dengan celana kulot hitam, atasan blus putih tulang dengan pita cokelat muda melingkar di pergelangan tangan dan pashmina warna cokelat tua itu menyelesaikan satu bab ceritanya.
Ah, bukan satu bab, melainkan satu bab terakhir cerita. Pelita baru saja merampungkan satu judul cerita lagi, yang nanti di sore hari atau paling tidak besok pagi akan Pelita kirim pada Cecilia, editor yang diberikan penerbit untuk memproses cerita karangannya sebelum dicetak dalam bentuk buku peluk-able.
Who are You?
Entah n****+ ke berapa cerita yang satu itu. Yang jelas Pelita mengeksekusi ceritanya dengan sebuah kutipan mendalam tentang belahan jiwa berbahasa Inggris yang ditulis oleh Lang Leav, penyair dan penulis kontemporer asal Selandia Baru.
Gadis itu masih terpaku pada kutipan yang mencuat di layar plasma canggihnya.
Tidak peduli berapa kali ia membaca, kalimat 'How every smile, every whisper brings me closer to the impossible conclusion that I have known you before, I have loved you before---in another time, a different place---some other existence' selalu berhasil membuat Pelita merasakan semua bulu kuduknya yang remang berdiri.
Pelita terpaku untuk yang ke sekian kali.
Jujur saja, saat menulis cerita, Pelita kurang suka akhir yang bahagia di penutup ceritanya. Jika tidak sad ending, Pelita lebih suka menyuguhkan open ending di novelnya.
Hidup Pelita tidak bahagia, kenapa hidup karakter buatannya harus bahagia? Toh, di dunia ini tidak ada sesuatu yang benar-benar sempurna. Sebut saja dirinya sendiri, orang lain mungkin menilai kehidupannya sempurna dengan wajah cantik, kaya, terkenal, dan diinginkan banyak orang. Tapi itu hanya bagi orang yang melihatnya dari luarnya saja bukan?
Pelita sebenarnya merasa kosong. Hidupnya cukup berantakan baginya. Lalu di hatinya, ada lubang besar nan hitam yang menganga.
Gelap. Gadis itu kehilangan cahaya dan bahagia hanya mimpi semata dalam kamus hidupnya.
Itulah kenapa Pelita tidak suka membuat cerita yang berakhir bahagia.
Bukan. Bukan benci. Pelita jarang---nyaris tidak pernah---membuat cerita yang happy ending karena dirinya sendiri masih merasa sukar mendeskripsikan bahagia itu sendiri.
Tidak peduli seberapa banyak buku, jurnal, film atau riset yang dilahapnya, Pelita tidak menemukan makna yang benar untuk mendefinisikan bahagia dalam sudut pandangnya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang sebenarnya, terkadang kita harus mengalami dan merasakannya sendiri bukan? Dan gadis ayu itu sudah bertahun-tahun lupa perasaan dari kata 'bahagia' itu. Pelita tentu pernah mengalaminya, namun waktu melahapnya dan tidak menyisakan sedikit pun untuknya.
Dalam KBBI V yang terinstall dalam ponselnya, bahagia berarti
1. n keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)
2. a beruntung; berbahagia.
Sedangkan dalam Tesaurus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa yang juga dibacanya:
Bahagia a aman, baik, beruntung, cerah, ceria, enak, gembira, girang, lega, makmur, mujur, nikmat, senang, sentosa, suka cita, tenteram.
Belum lagi definisi bahagia yang berasal dari orang-orang.
Namun tetap, Pelita tidak bisa mendefinisikannya sendiri.
Ia merasa buta. Sebab sekali lagi bahagia adalah kata yang kelewat asing bagi Nur Walis Pelita.
Abstrak. Seperti mitos. Sesuatu yang tidak nyata. Semu dan maya.
Dan kalimat milik Lang Leav itu ... kalimat itu selalu berhasil menyihirnya.
Pelita jelas tidak pernah merasakan apa yang ditulis Lang Leav itu karena selama dua puluh tahun ia hidup, Pelita tidak pernah bertemu seseorang yang bisa disebutnya belahan jiwa. Pelita yakin ia tidak pernah bertemu dengan soul mate-nya.
Tapi kata-kata itu ... benar-benar menyedotnya dalam ruang waktu, di mana di dalamnya Pelita membatu seolah kehilangan daya dan kesadarannya. Ia terbuai dan menyangkut di sela-sela huruf antarkalimatnya.
"Eh, ciye .... Happy ending nih ceritanya. Syukur deh, pembacamu nggak akan ada yang kecewa kali ini."
Arina yang membawa segelas thai tea di tangan kanannya mendatangi meja Pelita dan berceletuk tepat di samping telinga gadis itu sambil mencondongkan tubuh ke layar laptop Pelita, membaca beberapa kalimat terakhir yang ada di layar itu sebelum menarik sebuah kursi kayu yang ada di samping Pelita dan mendudukkan diri di sana.
Pelita melirik temannya itu sekilas kemudian menghela napas lirih. Ia kembali fokus pada layar laptop lalu membubuhkan kata 'SELESAI' di bawah tulisan terakhirnya lantas menyimpan perubahan terakhir di dokumen word itu dan menutup aplikasi Microsoft Word-nya.
Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 08.03 pagi.
Sekali lagi Pelita menatap Arina yang kini sudah asyik memainkan ponsel sembari menyesap minumannya kemudian meraih cangkir teh miliknya sendiri.
Menyesap teh hijau hangat yang sudah tidak hangat lagi itu dalam diam, Pelita menutup laptop silver yang baru dimatikannya. Sama seperti Arina, gadis itu menyalakan ponselnya yang semula ditaruhnya di atas meja dan mulai men-scroll aplikasi perpesanan.
June Aldrian Adams:
Jangan lupa pulang kuliah nanti ada jadwal pemotretan.
Bibir Pelita sedikit melengkung ke atas membaca chat yang datang dari manajernya itu.
Nur Walis Pelita:
Oke.
Gadis itu segera mematikan ponselnya setelah menjawab pesan June, tanpa melirik timbunan pesan lain yang menyentuh angka puluhan bernomorkan asing di ponselnya sedikit pun lalu meneguk habis teh hijaunya. Biasa, nomor asing yang mencoba mengganggunya---mengajaknya berkenalan dan sebagainya.
"Oh ya, Bang June mana, Lit? Tumben pagi-pagi gini kok nggak ada sama kamu?" tanya Arina sembari mengedarkan pandang ke sekeliling kafe, mencari-cari sosok tinggi jangkung yang biasa dipanggilnya Bang June.
Omong-omong soal June. Laki-laki bertubuh tegap dengan wajah aristokrat sedikit kebule-bulean itu adalah tetangga Pelita ketika gadis itu masih tinggal di Jakarta bersama keluarganya dulu. Mereka teman sejak kecil. Tidak terlalu dekat aku Pelita, namun setahu Arina dari bagaimana laki-laki itu bersikap dan memperlakukan Pelita, Arina seratus persen yakin jika laki-laki blasteran darah Indonesia dan Australia itu memandang Pelita lebih dari seorang teman, bahkan lebih dari seorang sahabat atau saudara.
Dari Jakarta, June rela meninggalkan kehidupan dan seluruh teman-temannya yang ada di ibu kota itu demi mengikuti Pelita yang pindah ke Bandung beberapa tahun lalu. Ia bahkan meninggalkan UI, perguruan tinggi negeri yang mayoritas diinginkan oleh pemuda mana pun dan pindah ke universitas swasta yang menjadi tempat kuliah Pelita. Padahal saat itu, June sudah berada di semester lima bangku perkuliahan, namun ia pindah seolah itu bukan merupakan hal yang besar. Lalu sekarang sebagai kakak tingkat, June belum juga mengumpulkan skripsinya yang jika meruntut waktu, semenjak tahun lalu laki-laki itu seharusnya lulus.
June berotak cemerlang. Jika tidak, bagaimana mungkin laki-laki itu sempat berkuliah di UI?! Selain dosen pembimbing skripsinya, dosen-dosen lainnya sudah banyak yang bertanya kapan June mau merampungkan skripsi miliknya. Namun alih-alih mengatakan segera, laki-laki itu selalu menjawabnya hanya dengan senyuman cerah miliknya setiap ada orang yang menanyakan itu.
Meski June tidak mau mengaku, Arina tahu June melakukan itu agar bisa lebih lama lagi berada di samping Pelita. Sebab saat June mendapatkan gelar sarjananya, laki-laki itu harus kembali ke Jakarta untuk meneruskan perusahaan keluarganya jika tidak melanjutkan pendidikannya lagi ke luar negeri.
June ingin selalu ada di samping Pelita, itulah kenapa laki-laki itu bersedia menjadi manajer sekaligus bodyguard gadis itu tanpa mau dibayar sepeser pun---hal yang membuat Pelita merasa tidak senang tentu saja karena ia mempekerjakan seseorang yang tidak ingin digaji.
Namun nyatanya June memang bekerja bukan untuk uang. Sama seperti Pelita, June juga seseorang yang berasal dari kalangan yang finansialnya tidak bisa diremehkan sembarangan.
Jika Pelita bekerja menjadi model untuk bersenang-senang, maka June bekerja sebagai manajernya adalah agar ia selalu berada di samping gadis itu. Menjaganya.
Singkatnya June bekerja untuk rasa cintanya.
Jika Arina menjadi Pelita, sudah dipastikan sejak awal ia akan menerima cinta laki-laki itu dan tidak akan menyia-nyiakannya. Di mata Arina sangat jarang ada laki-laki yang bisa seperti June---mencintai dengan tulus dan seolah tanpa cela.
Selain berasal dari keluarga konglomerat terpandang yang memiliki salah satu perusahan besar dengan catatan bersih, June memiliki tubuh kekar yang sama bagusnya dengan otak. Sama-sama sexy jika menurut Arina.
Iya, mungkin Pelita tidak mempertimbangkan itu sama seperti Pelita yang tidak melihat wajah bak pahatan sempurna milik June dan kekayaan yang dimiliki laki-laki itu karena Pelita juga sama-sama rupawan dan kayanya. Tapi cinta tulusnya? Dari mana Pelita bisa mendapatkan laki-laki lain seperti June?
Arina sungguh tidak habis pikir kenapa Pelita tidak menerima laki-laki itu.
Apa alasannya?
Perbedaan agama?
Jika iya Arina sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Pelita. Toh, sudah banyak artis dan public figure dalam negeri yang menjalin hubungan bahkan menikah beda agama!
Oke, baiklah, mungkin pernikahan terlalu jauh jika dibahas sekarang. Tapi, tidak masalah kan seharusnya jika Pelita dan June hanya berpacaran untuk sekarang? Mereka benar-benar pasangan sempurna di mata Arina. Kenapa Pelita tidak melihatnya?
Arina menghela napas berat karena semua pemikirannya itu. Ia tidak ingin menjadi semakin gila.
"Mungkin lagi nyebat di tempat lain. Di sini kan tempat bebas asap. Nggak usah dicariin, nanti juga datang-datang sendiri," balas Pelita sembari tersenyum kecil melihat tingkah temannya.
Arina langsung memasang ekspresi menyelidik menatap Pelita, "Aku nanya apa, kamu jawabnya apa." Gadis itu mencebik. "Eh! Tapi sejak kapan Bang June ngerokok? Kok aku nggak pernah lihat? Kamu apain, Lit?! Astagaaa. Pasti ada apa-apa nih sampek orang yang peduli banget sama kesehatan seperti Bang June ngerokok."
Pelita hanya tersenyum simpul.
Arina dengan mulut embernya.
Bang June ngerokok udah dari dulu, Rin. Cuma memang jarang. Kamu aja yang nggak tahu, batinnya.
"Ya udah deh, lupain!" kata Arina sambil mendengkus. "Tanya soal Bang June ke kamu tuh sering unfaedah-nya daripada berfaedah! Nanti sore jadi kan pemotretannya? Awas aja kalau kamu batalin jadwal lagi sesuka kamu. Iya, kamu nggak masalah kalau kita nggak dapet duit atau bahkan mesti bayar ganti rugi. Holkay mah bebas. Bang June juga! Tapi buat aku ... ya ampun, big problem banget! Mana udah akhir bulan lagi. Emang nasibnya anak rantauan deh ke mana-mana selalu merasa terdiskriminasi." Arina memungkasi kalimat panjangnya dengan mengusap kedua belah pipinya yang tidak basah oleh air mata. Pura-pura menangis.
Pelita mendecih menatap gadis bersurai kecokelatan yang ada di depannya itu. "Yang ngasih gaji ke kamu siapa? Lebay deh!" ujarnya.
Dari pura-pura menangis, Arina langsung membulatkan mata tidak terima. "Ya ... coba kamu bayangin aja sendiri, gimana jadi aku yang selalu dapet masalah tiap kamu batalin jadwal terus menghilang seenaknya. Bang June mah nggak pernah dihubungi sama pihak pengontrak. Aku, Lit, yang selalu kena semprot! Panas tahu nggak nih telinga setiap kali pihak pengontrak kamu marah-marah. Mana isi kebun binatang dibawa semua lagi."
Pelita hanya tersenyum melihat Arina yang masih nyerocos di depannya.
"Kadang aku merasa, kalau aku udah salah ambil keputusan waktu mau-maunya kerja sama kamu. Posisi asisten pribadi. Tapi kerjaan makan ati tiap hari."
Pelita menahan senyum sambil mengernyitkan dahi.
"Maksudku ... bisa stress aku lama-lama lihat kamu dengan mudahnya buang-buang uang buat ganti rugi pembatalan kontrak belakangan ini. Padahal tinggal pose di depan kamera aja apa susahnya sih? Wajah kamu tuh cantik mau diapa-apain. Buktinya ya, orang-orang agensi yang pernah kamu kecewain masiiih aja ngubungin kita buat ngajakin kerja sama."
Pelita manggut-manggut. "Oh ..., jadi kamu capek kerja sama aku? Ya udah, nggak papa. Tinggal berhenti aja nggak masalah kok."
"Eh, eh, eh! Bukan gituu ...." Arina berubah panik. "Aku sekarang tuh cuman curhat. Bukan sebagai asisten pribadi kamu. Tapi sebagai temen kamu, Pelita. Masa gitu aja kamu nggak ngerti sih? Kamu kan penulis! Harusnya lebih tanggap dan mudah paham sama apa yang aku maksud dong!"
Pelita mendengkuskan tawa, "Iya, iya, Arina .... Belakangan ini bukannya aku mau nggak bertanggung-jawab sama kontrak pemotretan yang udah aku ambil. Ya, kamu tahu sendiri, Mbak Cecil lagi nyuruh aku revisi sambil benerin ending n****+ baruku."
Arina melirik laptop Pelita yang tergeletak di atas meja. "Yang barusan itu?"
"Hm." Pelita mengangguk.
"Yang happy ending itu?"
Pelita mengangguk lagi.
Arina langsung tersenyum lebar. "Tumben banget kamu, Lit? Pake acara disuruh Mbak Cecil juga! Ada apa nih? Pantesan Bang June kemarin-kemarin kelihatan bete' terus. Pasti karena kamu cuwekin belakangan ini. Ha ha ha."
Pelita mengedikkan bahunya.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan Arina yang belum Pelita jawab. Namun, karena Arina terus berbicara dan membahas topik lain, Pelita hanya bisa membalas beberapa pertanyaan saja dari keseluruhannya.
Arina itu cerewet! Jadi saat sedang kumat begini, Pelita lebih suka diam mendengarkan Arina berbicara hingga ocehan gadis itu selesai.
"Masa depan imajinasi pembaca kamu bakal cerah nih kalau kamu mau sering-sering bikin ending happy! Ya udah. Kamu batalin aja semua kontrak pemotretan kamu. Kemarin masih ada satu judul n****+ yang masih kamu revisi kan? Udah selesai belum? Kalau belum nggak pa-pa, aku ngasistenin kamu ngetik atau apa gitu deh, ha ha ha. Toh, kamu pernah bilang kalau kamu merasa lebih hidup saat lagi nulis kan? Modeling bisa nanti-nanti setelah n****+ terbaru kamu yang satu lagi kelar revisi."
Setelah berbicara panjang-lebar, Arina melipat kedua tangannya rapi di atas meja sembari menunjukkan cengiran kudanya di depan Pelita.
Sebentar Pelita mengerutkan dahinya. "Biar apa nih?" tawanya. "Biar kamu nggak kena omel pihak pengontrak? Atau, biar kamu bisa baca ceritaku yang happy end? Rin ..., satu hal yang nggak boleh kamu lupakan, selain menulis, modeling itu juga duniaku. Aku nggak akan pernah ninggalin salah satunya dan milih ngerjain satunya aja." Gadis itu kemudian bangkit dari tempat duduknya.
Membereskan meja dan memasukkan laptop ke dalam ransel kulit miliknya, Pelita melihat jam tangan cantik yang melingkar di pergelangan tangan kiri. "Kamu udah sarapan belum?" tanyanya sembari mengalihkan pandangan lagi pada Arina.
Arina menganggukkan kepala. "Udah tadi. Tenang aja," balasnya sembari mengacungan jempol.
"Ya udah," balas Pelita kemudian mencangklongkan ransel ke bahu. "Aku mau ke perpus dulu. Ada sesuatu yang mau kucari. Duluan, ya!" ucapnya kemudian mengayunkan langkah menuju pintu masuk kafe.
Bang Haris---begitu Pelita memanggil pemilik kafe---adalah teman June. Setiap hari, baik Pelita, June maupun Arina sering mampir ke kafe yang lokasinya tidak jauh dari kampus itu untuk sekadar minum atau ngobrol-ngobrol. Itulah kenapa, daripada di dalam kafe, Pelita, June atau Arina sama-sama bisa lebih leluasa menjangkau tempat paling belakang kafe untuk duduk.
Ruang serupa teras yang cukup luas dengan beberapa meja dan kursi yang ditata rapi itu hanya biasa dijangkau oleh Haris dan teman-temannya. Karena June adalah teman Haris, maka secara tidak langsung Pelita dan Arina juga. Selain lebih enak karena berada di luar ruangan, tidak banyak pelanggan yang menempati ruangan itu sehingga siapa pun pasti lebih suka duduk di sana.
Untuk kembali ke area kampus, Pelita harus masuk ke dalam kafe sebelum keluar dari pintu depan kafe karena ruangan terbuka yang ditempatinya tidak memiliki pintu keluar sama sekali. Tembok berbahan batako memagari sekelilingnya.
"Eh, tunggu tunggu!" tukas Arina yang membuat Pelita menghentikan langkahnya dan kembali menoleh.
"Kenapa? Mau bareng ke kampus juga?" tanya Pelita.
"Enggak." Arina menggeleng. "Aku mau ketemu orang dulu di sini," lanjutnya.
"Lalu?" tanya Pelita masih menatap Arina.
"Soal tantangannya Mbak Cecil untuk membuat n****+ bergenre spiritual, gimana? Aku beneran kepo, Lit. Kamu terima?"
Pelita terpaku selama beberapa lama.
Arina pun meletakkan gelas thai tea yang sebelumnya ada di genggaman tangannya karena baru ia minum ke atas meja kembali, menunggu jawaban Pelita.
Pelita kembali menatap Arina sembari mengembangkan senyum cerah. "Kita lihat aja nanti!" tukasnya lantas melanjutkan langkah ke dalam kafe.
Gadis itu Nur Walis Pelita. Seorang yang biasa dipanggil dengan nama Pelita. Mahasiswa semester lima, penulis, juga model.
Gadis muda dengan lubang hitam besar yang menganga di hatinya.
Semua orang mungkin melihat kehidupan Pelita sebagai kehidupan sempurna dengan wajah cantik, menarik, kaya, juga terkenal.
Namun tidak ada yang paham, jika di balik wajah cantik dan senyum cerah itu, ada luka yang terus menggerogoti jiwanya layaknya sembilu. Sebelum pertemuan itu. []