CHAPTER 1 CRAWFORD DAN JACQUELINE

3513 Words
Penghuni bumi mungkin tidak mengetahui, di atas langit terdapat kehidupan yang lain. Sebut saja kehidupan di dalam Caelum atau manusia biasa menyebutnya kerajaan langit atau surga. Berbagai keindahan, kenikmatan dan kebahagiaan mengelilingi tempat itu. Penghuninya merupakan jenis makhluk paling indah yang pernah diciptakan. Mereka memiliki sayap, paras yang rupawan serta kekuatan luar biasa karena di balik semua keindahan yang disajikan di dalam Caelum, mereka diberikan tugas yang cukup berat untuk menghadapi makhluk lain yang berkebalikan dari mereka. Karena makhluk yang lain itu memiliki paras yang buruk rupa layaknya monster.  Mereka adalah bangsa demon yang sudah digariskan menjadi penghuni neraka karena mereka yang selalu melanggar peraturan dari sang penguasa Caelum. King biasanya sang penguasa disebut oleh para penghuni Caelum. Merupakan sosok yang misterius karena tak ada yang mengetahui rupa dirinya yang sebenarnya. Sang penguasa hanya menampakan diri sebagai cahaya terang dan menyilaukan yang akan memberikan ketentraman bagi siapa pun yang memandangnya. Di saat bersamaan menguarkan aura suci dan hukum mutlak yang harus dipatuhi karena hukuman berat adalah konsekuensi bagi si pembangkang.  Seperti para demon yang selalu membangkang, melanggar peraturan yang ditetapkan King dan selalu menebarkan kejahatan di mana-mana. Sehingga mereka yang awalnya menjadi salah satu penghuni Caelum, diusir dengan tegas. Tempat yang pantas untuk mereka huni hanya Infernum. Nama lain dari neraka yang penuh dengan siksaan di dalamnya. Hanya ada lautan api yang akan membakar dalam sekejap tubuh siapa pun yang masuk ke Infernum.  Kendati hukuman yang diberikan kepada mereka adalah kengerian dikurung di dalam Infernum, bangsa demon tak pernah jera. Mereka selalu menciptakan teror dimana-mana. Menebarkan kejahatan dan kekacauan yang mengusik kedamaian di dalam Caelum. Bahkan mereka memiliki ambisi besar untuk menjerumuskan dan menghancurkan semua penduduk bumi, terutama manusia.  Bangsa demon yang pembangkang dan selalu menebarkan aura gelap nan jahat tak pernah berhenti melakukan kekacauan di Caelum. Menciptakan keributan sehingga membuat para ksatria Caelum harus turun tangan menghadapi mereka.  Para ksatria itu merupakan para penduduk Caelum yang diberikan anugerah oleh King berupa kekuatan yang luar biasa. Milites Caelum merupakan sebutan untuk bala tentara kerajaan langit tersebut. Merekalah yang menjadi garda terdepan untuk melawan para demon. Menangkap dan menjebloskan mereka ke dalam Infernum yang penuh siksaan.  Peperangan kerap kali terjadi antara Milites Caelum dan bangsa demon, seperti saat ini contohnya. Di saat di bawah sana, di bumi lebih tepatnya, para penghuni bumi tampak sedang menikmati kehidupan damai mereka. Di atas langit, sebuah peperangan besar tengah terjadi.  Ribuan demon menyerang dan berusaha menempati Caelum karena mereka ingin kembali merasakan keindahan dan kebahagiaan menetap di dalam Caelum seperti yang pernah mereka rasakan sebelum diusir karena membangkang perintah sang penguasa.  Para demon dengan penampilan mereka yang mengerikan, wajah yang sangar dan sebagian besar memiliki kulit merah menyala layaknya api. Tanduk yang mencuat di atas kepala mereka dengan berbagai bentuk dan ukuran. Gigi yang runcing menyerupai taring yang bahkan merobek bibir mereka sehingga menusuk keluar. Hidung yang besar dan nyaris menyatu dengan wajah. Napas mereka menguarkan aroma busuk yang mengotori udara suci di dalam Caelum.  Tubuh mereka tinggi besar dengan corak kulit yang membuat merinding setiap yang melihatnya. Ada yang bersisik, ada yang memiliki duri, ada pula yang tampak melepuh karena mereka pernah merasakan panasnya api di dalam Infernum. Mereka diberi kesempatan untuk memperbaiki diri sehingga dikeluarkan dari Infernum, namun bodohnya para demon karena mereka tidak memanfaatkan kebaikan sang penguasa dengan benar. Dan sekarang mereka kembali menciptakan teror di tempat yang seharusnya penuh kedamaian seperti Caelum.  Mata besar para demon melotot seram, menguarkan aura kebencian, iri dan rasa dengki pada para penghuni Caelum yang sangat beruntung karena bisa menikmati keindahan dan segala kebahagiaan di dalam surga. Para demon ingin merebut tempat itu karena selalu berpikir mereka merupakan makhluk paling kuat di kerajaan langit.  Para Milites Caelum hadir di sana untuk menghadang dan menghentikan kegilaan bangsa demon. Di saat senjata yang dipegang para demon merupakan tombak yang di bagian ujung mengeluarkan api yang menyala-nyala, lawan mereka memiliki senjata yang beraneka ragam.  Terdiri dari beberapa pasukan, ada jenis pasukan yang menjadikan panah sebagai senjata utama mereka. Pasukan itu dipimpin oleh seorang Milites Caelum yang paling ahli menggunakan panahan, Aerus Skylar.  Aerus yang tampan dan berwibawa, kini tengah mengomandoi ribuan pasukannya yang telah mengambil ancang-ancang untuk melepaskan anak panah ke arah para demon yang sedang berlarian menuju mereka sambil mengangkat tombak tinggi di atas kepala mereka.  Aerus mengangkat satu tangan ke atas sebagai bentuk aba-aba darinya. Sedangkan pasukannya kini sedang harap-harap cemas menantikan sang pemimpin mengeluarkan kata perintah untuk melepaskan senjata di tangan mereka.  “Tembak!”  Satu teriakan dari Aerus disertai tangannya yang kini terayun jatuh ke bawah. Di saat bersamaan, ribuan anak panah yang mengeluarkan cahaya terang, melesat di udara. Tanpa ampun menembus tubuh para demon. Demon yang level kekuatannya lemah langsung berjatuhan, tak berdaya lagi untuk melanjutkan perlawanan.  Namun ada di antara mereka yang memiliki level cukup tinggi, mereka masih sanggup melanjutkan serangan, bahkan meski anak panah dari pasukan Aerus menancap di beberapa bagian tubuh mereka, mereka masih tetap bisa berdiri tegak bahkan berlari cepat seraya masih mengangkat tombak kebanggaan di atas kepala.  Aerus berdecak, para demon itu begitu keras kepala dan gigih melakukan serangan meskipun seharusnya mereka menyadari kekuatan mereka tak ada bandingannya dengan Milites Caelum.  Aerus kembali mengangkat tangan berniat memberikan komando pada pasukannya untuk kedua kalinya. “Bersiap!”  Satu teriakan yang meluncur dari mulut Aerus bersamaan dengan gerakan serempak pasukannya yang kini memposisikan diri menarik anak panah pada busur mereka, siap melepaskan serangan untuk kedua kalinya pada musuh.  Membidik waktu yang tepat untuk melepaskan anak panah, Aerus memperhatikan dengan serius pergerakan para demon yang masih berlari cepat semakin mendekati mereka. Aerus pikir sang lawan akan kembali melakukan tindakan bodoh seperti tadi, tapi nyatanya perkiraannya sekarang salah besar.  Salah satu demon tiba-tiba melempar tombak di tangannya, diikuti demon lain di belakangnya yang juga dengan serempak melemparkan tombak, kini ribuan tombak tengah terbang di udara dan siap menusuk pasukan Aerus yang hanya bisa terbelalak melihat lawan mereka mulai melakukan serangan.  “Mundur! Mundur!”  Itu teriakan Aerus, memberikan perintah pada pasukannya untuk mundur agar mereka tak ada yang terkena ribuan tombak yang melesat cepat ke arah mereka. Di depan sana, para demon sedang tertawa lantang, puas karena kali ini mereka berhasil membuat pasukan lawan lari pontang-panting untuk menghindari serangan mereka yang mendadak.  Aerus ikut berlari bersama pasukannya, tombak itu bukan senjata biasa karena sama seperti Milites Caelum yang diberi anugerah oleh King berupa senjata untuk mereka bertarung, bangsa demon pun mendapatkannya. Itu dulu saat bangsa demon masih menjadi bagian penghuni Caelum. Namun kesombongan dan keserakahan membuat mereka menjadi penjahat dan penghancur seperti sekarang. Mereka menggunakan senjata yang merupakan anugerah dari King itu untuk melakukan kejahatan dan menciptakan kehancuran di semua tempat yang mereka lewati.  Di saat Aerus berpikir dirinya akan terkena ujung tombak yang mengeluarkan api yang sedikit lagi mencapai dirinya, menggunakan busur di tangannya, dia mencoba melindungi diri. Tapi rupanya melihat tombak api melesat cepat ke arahnya membuat Aerus ketakutan bukan main. Dia bahkan mulai memejamkan mata karena meyakini sebentar lagi tubuhnya akan ditembus tombak api sang musuh.  “Crawford!”  Tapi teriakan itu tiba-tiba terdengar, mengalun dari beberapa pasukannya yang meneriakan satu kata yang sama. Crawford! Aerus tentu tahu betul siapa pemilik nama itu. Seulas senyum terulas di bibirnya yang indah, Aerus bergegas membuka mata dan kelegaan tiada tara dia rasakan saat melihat sosok itu kini berdiri dengan gagah di hadapannya setelah dengan mudah berhasil menghalau tombak yang nyaris menusuk tubuh Aerus.  Tubuh tegapnya yang gagah dan perkasa tampak memukau dan membuat semua yang melihatnya merasa kagum serta memberi penghormatan sebesar-besarnya. Rambut panjang sepunggung dengan warna silver yang berkilauan itu tampak indah saat terkena terpaan cahaya. Rambut yang berkibar seiring hembusan angin yang menerpanya. Wajahnya rupawan, memiliki dagu yang lancip dengan rahang tegas. Hidungnya begitu tinggi, berbanding terbalik dengan hidung para demon yang bagai pintu masuk gua saking besar dan tertarik ke samping hingga menyatu dengan wajah. Iris mata sebiru langit milik sosok itu sangat mampu menghipnotis siapa pun yang menatapnya. Tak ada yang aneh dengan telinganya, terlihat sama seperti telinga manusia namun sosok itu memiliki telinga yang sedikit runcing di bagian atas. Itu adalah tanda, dia berbeda dengan manusia. Kedua sayap yang terlentang lebar layaknya burung itu menjadi bukti penegas bahwa dia memang salah satu penghuni Caelum yang sangat menawan.  Crawford Skylar … Sang Milites Caelum terkuat yang memiliki senjata suci berupa pedang bernama Gladius.  Berdiri di sekeliling Crawford adalah pasukannya, para Milites Caelum yang dianugerahi senjata berupa pedang untuk melawan musuh. Satu tebasan pedang mereka berhasil menjatuhkan semua tombak yang melesat cepat karena dilemparkan para demon. Para demon menggeram kesal, kedatangan Crawford dan pasukannya adalah bencana besar dan malapetaka untuk mereka. Padahal Aerus dan pasukannya masih bisa mereka atasi, tapi situasinya akan jadi berbeda jika Crawford dan pasukannya telah bergabung di medan pertempuran.  “Mundur! Mundur!”  Tidak. Kali ini bukan Aerus yang memberikan komando pada pasukannya untuk mundur, melainkan salah seorang demon yang mungkin sudah diakui sebagai pemimpin oleh semua bangsa demon.  Mengikuti perintah itu, para demon yang awalnya begitu percaya diri berlari ke depan untuk melakukan serangan, kini berlarian ke belakang mencoba untuk menyelamatkan diri.  “Tidak akan. Kalian tidak akan bisa melarikan diri dariku.”  Crawford mengangkat Gladius di tangannya, lantas dengan satu ayunan menebaskan pedang suci tersebut. Di detik berikutnya, yang terjadi adalah cahaya yang muncul dari jejak tebasan Gladius. Cahaya itu menyerupai bulan sabit yang perlahan membesar hingga menjadi lubang cahaya layaknya pusaran yang menghisap benda apa pun di sekelilingnya.  Aaaaarrrhhhhh! Aaaaaakhrrhhh!  Yang terdengar hanya teriakan demi teriakan dari para demon yang terhisap lubang tersebut. Sebuah lubang cahaya yang akan membawa mereka kembali ke Infernum. Ya, itulah kemampuan hebat yang dimiliki pedang legendaris itu, tidak lain mampu membuka pintu menuju Infernum. Dengan sekali tebasan maka semua demon yang ada di sekitar Gladius akan terhisap dan dikembalikan ke dalam Infernum.  Kekacauan dan huru-hara terhenti dalam sekejap setelah semua demon yang berjumlah ribuan itu kini tak tersisa lagi barang satu pun. Crawford kembali menyarungkan pedang besarnya di belakang punggung. Lantas dia berbalik badan menghadap Aerus, teman baiknya yang sedang mengulas senyum padanya.  “Perang berakhir. Maaf, datang terlambat.”  Itulah yang dikatakan Crawford dengan ramah setelah sebelumnya membalas senyuman Aerus.   ***   Drap! Drap! Drap!  Suara langkah kaki terdengar begitu kompak, itu adalah suara langkah kaki para Milites Caelum yang baru saja selesai menjalankan tugas penting untuk berperang melawan bangsa demon. Kembali ke Caelum, tujuan mereka sekarang adalah Skylar. Itu merupakan nama sebuah tempat di Caelum yang dikhususkan sebagai tempat peristirahatan para Milites Caelum.  Berjalan di samping Aerus adalah teman baiknya, yang seperti biasa menjadi pahlawan dalam perang, Crawford. Tapi langkah Aerus terhenti karena Crawford yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.  “Kenapa?” tanya Aerus. Crawford mengulas senyum, tangan kirinya terangkat dan mendarat sempurna di bahu Aerus. “Kau kembali ke Skylar duluan. Aku ada sedikit urusan.”  Kening Aerus kini mengernyit dalam, “Urusan? Urusan apa?” “Hanya urusan kecil. Kau pergilah lebih dulu, aku akan segera menyusulmu.”  Merasa tak ada gunanya dia ikut campur dengan urusan Crawford, Aerus hanya mengangguk sebelum kembali melanjutkan langkah untuk menyusul para Milites Caelum yang sudah berjalan lebih dulu.  Crawford mengusap ujung hidungnya dengan jari telunjuk sembari memastikan Aerus sudah pergi menjauh. Bibirnya terulas lebar saat dirasa situasinya sudah aman, kini dia siap menemui seseorang yang dirindukannya.  Crawford dengan mengendap-endap memasuki area yang sebenarnya terlarang didatangi oleh para Milites Caelum. Regallia nama tempat itu, tempat yang dikhususkan untuk para bidadari yang dianugerahi kecantikan dan pesona yang tak tertandingi makhluk apa pun.  Crawford masih berjalan sambil menggulirkan mata menatap sekeliling untuk memastikan tak ada seorang pun yang melihat sosoknya. Karena jika ada yang melihatnya maka tamat sudah riwayatnya.  Langkah Crawford terhenti begitu dirinya tiba di salah satu danau. Itu danau berair jernih dengan banyak kelopak bunga menguarkan aroma wangi, terapung di atas air. Duduk di sebuah batu tepat di pinggir danau merupakan seorang wanita yang sedang memainkan harfa dengan jari lentiknya. Ya, harfa, karena para bidadari diberikan anugerah berupa keahlian mereka memainkan alat musik yang satu itu. Selain berwajah cantik, suara mereka pun begitu merdu. Keberadaan bidadari merupakan keindahan lain di dalam Caelum. Paras cantik para bidadari seharusnya sangat mampu menghipnotis para Milites Caelum yang pada dasarnya memang berjenis laki-laki. Namun tak ada yang berani, jangankan mendekati para bidadari, menatap mereka terlalu lama pun, tak ada Milites Caelum yang berani melakukannya. Alasannya sederhana karena ada peraturan mutlak dari King yang melarang para penghuninya menjalin kisah asmara.  Tapi sepertinya Crawford mulai berani bermain-main dengan larangan itu karena kini dengan lancang dan berani dia sedang menatap sosok wanita cantik yang sedang memainkan harfa sembari melantunkan senandung yang begitu menenangkan hati. Cukup lama Crawford berdiri di belakang wanita itu dengan senyuman yang tak pernah luntur terulas di bibirnya.  “Sampai kapan kau akan menatapku di sana?”  Bersamaan dengan pertanyaan itu terlontar, irama musik harfa dan senandung dari sang bidadari terhenti. Wanita itu lantas berbalik badan dan terlihatlah wajah cantiknya yang selalu sukses membuat Crawford jatuh cinta. Ya, sang Milites Caelum telah lancang jatuh cinta pada bidadari itu. Jacqueline Regallia namanya. Bidadari paling ahli memainkan harfa dan memiliki suara paling merdu dibandingkan bidadari yang lain.  Kecantikannya tak perlu diragukan lagi, rambut panjang keemasannya yang tampak berkilauan dengan indah dan terlihat lembut. Membuat Crawford selalu tergelitik untuk menyentuhnya. Bulu mata yang panjang dan begitu lentik menjadi penghias utama iris hijau cemerlang yang dimiliki wanita itu. Kulit putih yang memancarkan sinar merupakan sesuatu yang dimiliki Jacqueline, yang paling disukai oleh Crawford. Oh, jangan lupakan senyumannya, karena senyuman wanita itu sungguh sangat mampu menggetarkan seorang Milites Caelum terkuat sekali pun. Wanita itu mengenakan gaun indah senada dengan warna rambutnya, kini sedang mengulas senyum kepada Crawford sambil merentangkan kedua tangan seolah menyambut kedatangan pria itu.  Crawford menerima undangan tersirat dari si wanita, dia berjalan menghampirinya dan menyambut isyarat Jacqueline yang mengharapkan pelukan hangat darinya.  Mereka berpelukan karena sudah cukup lama tak bertemu, Crawford yang terlalu sibuk turun tangan menghadapi para demon yang tidak pernah jera melakukan serangan membuatnya tak bisa sering berkunjung ke Regallia.  Pelukan mereka terlepas dan kini Crawford mendudukan diri di batu untuk menggantikan Jacqueline yang sebelum kedatangannya tengah duduk di sana.  “Kemarilah. Duduk di sini.”  Jacqueline terlihat enggan untuk menuruti keinginan Crawford yang sedang menepuk pahanya sendiri, sebuah isyarat agar dirinya duduk di pangkuan pria itu. Ini memang bukan pertama kali mereka berduaan seperti ini, terhitung sudah beberapa tahun terlewati. Tapi tetap saja rasa takut itu selalu dirasakan Jacqueline. Karena dia tahu persis tindakan mereka adalah sebuah pelanggaran untuk hukum paling mutlak di Caelum.  Karena Jacqueline yang hanya diam mematung, Crawford menangkap tangan wanita itu lalu menariknya secara paksa agar dia duduk di pangkuannya. Jacqueline hanya bisa pasrah, dia tak pernah berani menolak Crawford karena tak dia pungkiri, dia pun menginginkannya.  “Bagaimana dengan peperangan hari ini?”  Suaranya mengalun merdu disertai jari-jari lentiknya yang menari-nari di wajah menawan Crawford.  “Hm, biasa saja. Gladius selalu bisa diandalkan untuk urusan menghadapi para demon.”  Tentu saja jawaban seperti itu yang diberikan Crawford, karena dirinya tanpa senjata kebanggaannya mungkin akan cukup kewalahan menghadapi bangsa demon.  Crawford menyadari kekasihnya terlihat berbeda hari ini, wanita itu terlihat murung tak seceria biasanya. Ada apa dengan Jacqueline? Tanda tanya besar kini bercokol di benak Crawford dan dia harus mencari tahu penyebab wanita yang dicintainya itu memasang wajah murung meski mereka sedang bersama seperti ini.  Crawford menyentuh dagu Jacqueline yang sedang menundukan wajah, “Kau kenapa?” “Aku baik-baik saja.” Crawford menggeleng, “Tidak. Kau terlihat murung.” “Aku hanya sedang berpikir, bagaimana jika hubungan terlarang kita diketahui? Apa kau tidak takut?”  Crawford tertegun, kekhawatiran ini sebenarnya sering juga dia rasakan. Tapi dia selalu menepis jauh-jauh kekhawatiran itu karena kehilangan Jacqueline merupakan hal yang paling mengerikan baginya, lebih mengerikan dari konsekuensi yang harus dia terima seandainya hubungan terlarang mereka diketahui.  Crawford mengulas senyum, bermaksud menenangkan Jacqueline. “Diketahui siapa? Aku selalu berhati-hati jika mengendap-endap ke Regallia.” “King,” jawab Jacqueline. Dan sepersekian detik, Crawford ikut tersentak begitu bibir mungil wanitanya baru saja menyebutkan seseorang yang begitu dia hormati dan takuti.  Crawford terkekeh pelan, “Kurasa itu tidak mungkin.” “Kenapa tidak mungkin? King mengetahui segalanya.” “Tapi tidak dengan hubungan kita, buktinya bertahun-tahun kita menjalin hubungan ini secara diam-diam tapi tidak pernah sekalipun King menegur kita.” “Tapi …” “Lagi pula, aku yakin ada banyak hal yang lebih diperhatikan oleh King dibandingkan mengurusi hubungan kita. Benar, kan? Aku rasa hubungan kita ini bukan hal yang terlalu penting untuk diperhatikan oleh seorang penguasa seperti King.”  Jacqueline gemetaran mendengar ucapan Crawford yang begitu berani itu, entah apa yang membuatnya tiba-tiba merasa ketakutan seperti ini. Namun sedetik kemudian dia mengetahui alasan tubuhnya tiba-tiba gemetaran begitu suara itu terdengar begitu menggema, terdengar dari berbagai sudut sehingga tak ada tempat bagi mereka berdua untuk bersembunyi.  Crawford Skylar, Jacqueline Regallia … kalian berdua begitu berani melanggar larangan yang aku buat. Kesempatan untuk kalian telah berakhir sampai di sini.  Tak ada kata yang mampu menggambarkan betapa ketakutan mereka berdua saat ini, terlebih begitu telinga mereka mendengar suara derap langkah dari arah belakang. Crawford berbalik badan dengan gerakan perlahan dan seketika itu juga kedua matanya membulat sempurna.  “Jadi ini urusan kecil yang kau sebutkan tadi. Aku sangat kecewa padamu.”  Itu Aerus dan beberapa Milites Caelum yang datang untuk menjalankan perintah dari King yaitu menangkap Crawford dan Jacqueline yang telah melakukan dosa besar.   ***   Kursi singgasana itu begitu mewah dan agung, jangan dibandingkan dengan kursi para raja di sebuah kerajaan karena kursi singgasana yang berada di pusat Caelum, mereka menyebutnya, begitu agung dan mulia. Tak ada sosok yang duduk di sana melainkan cahaya menyerupai matahari. Itu hanya jelmaan King karena para penghuni Caelum sekalipun tak ada yang pernah melihat wujud aslinya.  Berlutut di depan kursi singgasana merupakan dua pendosa yang sebentar lagi akan diadili. Crawford dan Jacqueline tengah berlutut dengan kepala yang tertunduk ke bawah, tak berani melihat kemuliaan dari sang penguasa yang telah mereka langgar larangannya dengan begitu lancang dan berani.  “Mohon ampuni kami. Anda yang begitu welas asih.”  Jacqueline mencoba mengutarakan keinginan hatinya, tidak ada lagi yang dia inginkan sekarang selain ampunan dari sang penguasa. Tapi sepertinya semua sudah terlambat bagi mereka. Kesempatan bagi mereka untuk kembali ke jalan yang benar sudah diberikan sejak lama. Sejak bertahun-tahun yang lalu di saat mereka begitu senang dan bangga karena meyakini hubungan terlarang mereka tidak diketahui siapa pun. Nyatanya tidak demikian. Sang penguasa mengetahui segalanya, hanya saja kediamannya adalah bentuk kesempatan yang diberikan pada dua insan itu untuk kembali sadar dan memperbaiki diri.  Rupanya kesempatan itu sudah disia-siakan, memohon ampunan pun sudah terlambat untuk mereka. King menjatuhkan hukuman yang berat namun sangat setimpal untuk dosa besar yang telah mereka lakukan. Bereinkarnasi menjadi manusia dan harus turun ke bumi adalah hukuman mutlak yang harus sejoli itu terima. Semua yang berkaitan dengan kehidupan mereka selama menjadi penghuni Caelum akan dimusnahkan. Termasuk kekuatan dan ingatan mereka.  Crawford dan Jacqueline saling berpandangan satu sama lain begitu hukuman itu dijatuhkan untuk mereka. Tak ada penyesalan karena mereka telah jatuh cinta. Jika disuruh memilih, mereka akan tetap saling jatuh cinta. Tapi yang mereka sesali sekarang adalah inilah terakhir kalinya mereka bertemu dan bisa saling mengingat kisah percintaan mereka yang begitu indah. Karena setelah ini semuanya akan sirna dari pikiran mereka, tak akan ada lagi kesempatan bagi mereka untuk kembali menjadi pasangan.  Crawford dan Jacqueline hanya bisa pasrah saat mereka digiring ke suatu tempat oleh Aerus dan beberapa Milites Caelum.  Tentu sudah mereka tebak lubang itu yang akan mereka datangi, karena itu kini mereka tak merasa terkejut sedikit pun begitu sebuah lubang menyerupai pusaran awan mengeluarkan asap putih tengah berputar-putar di depan mereka. Itu adalah lubang yang akan membawa mereka ke dunia lain, sebuah dunia fana yang disebut bumi. Bereinkarnasi menjadi salah satu penduduk bumi yang paling serakah dan selalu melakukan dosa bernama manusia.  Sebelum dirinya memasuki lubang itu, Crawford untuk terakhir kalinya menoleh ke arah teman baiknya, seseorang yang selalu berjuang bersama dengannya setiap turun ke medan perang menghadapi para demon.  “Aerus, aku minta maaf karena mulai sekarang kau harus berjuang sendiri di medan perang.”  Aerus mendengus, tak menutup-nutupi kemarahan dan kekecewaan yang dia rasakan. “Kau membuatku sangat kecewa. Benar-benar sangat kecewa.”  Setelah mengatakan itu, Aerus mendorong Crawford sehingga pria itu jatuh ke dalam lubang tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan pada kekasihnya.  “Craw!!”  Hanya teriakan dari Jacquelin yang masih dia dengar dari atas sana serta wajah wanita itu yang mulai meneteskan air mata. Crawford merentangkan satu tangannya ke depan seolah sekali lagi ingin menggapai tangan wanita yang dicintainya. Tapi dia sadar, ini memang akhir dari kisah mereka karena tubuhnya kini semakin mendekati dunia fana bernama bumi. Crawford memejamkan mata, merutuki nasibnya yang begitu mengenaskan. Karena dia tahu persis menjadi manusia dan menetap di bumi adalah malapetaka besar untuknya.  Di dunia bernama bumi … entah kengerian apa yang akan dia hadapi. Yang pasti satu hal yang dia yakini, hidupnya tak akan lagi sama seperti dulu. Kehidupannya sebagai manusia, entah bagaimana dia akan menjalaninya karena dia yakin King tidak hanya memberikan hukuman dengan membuatnya bereinkarnasi menjadi manusia, melainkan akan ada hukuman berat lain atas dosa besar yang dilakukannya bersama Jacqueline, yang sedang menantinya di dunia itu, bumi.  Dan petualangan Crawford sebagai manusia pun dimulai sejak saat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD