Setibanya di toko bahan roti, Vanya dan Mbok Sih segera turun dari mobil. Sedangkan Pak Rahman memutuskan menunggu di parkir kendaraan roda empat. Toko bahan roti ini sangat besar. Semua lengkap tersedia. Surganya para wanita yang menyukai kegiatan membuat roti. Bagi Vanya sih, biasa saja. Bagi Mbok Sih beda lagi. Mbok Sih sangat antusias sejak menginjakkan kakinya di toko besar ini. Vanya jadi khawatir, mungkin sepulangnya dari sini Mbok Sih akan mengeluh kecapekan. Mengingat besarnya toko ini.
Vanya hanya mengekori langkah pelan Mbok Sih, sampai sepasang matanya menangkap pemandangan sosok pria yang sangat ia kenali. Tapi ada hal lain yang justru menarik perhatian Vanya. Hadirnya sosok wanita cantik berpakaian muslimah!
“Pak Lian!?” seru Vanya seketika.
Sebelum menghampiri Lian, Vanya sempat berpesan. “Mbok Sih, lanjutin aja belanjanya. Nanti Vanya nyusul. Hubungi Vanya ya, Mbok!” Seraya mengangkat ponselnya tinggi dan melambaikan tangan pada wanita tua itu sebagai tanda perpisahan.
Tanpa ada rasa belas kasihan sama sekali, Vanya meninggalkan Mbok Sih begitu saja demi menghampiri Lian. Vanya merasa santai saja saat meninggalkan Mbok Sih, karena tadi ‘kan Mbok Sih berniat berbelanja kemari seorang diri. Vanya mengekorinya karena memaksa, dengan alasan bosan. Begitu cara pikir Vanya bekerja.
“Pak Lian! Saya panggil-panggil juga. Kok enggak nyaut, sih!?” kesal Vanya karena Lian mengabaikan panggilannya. Padahal Vanya sudah mengeluarkan suara merdunya, memanggil Lian beberapa kali. Ini seharusnya Vanya ditraktir segelas es boba, sih. Seharusnya.
Sementara sosok yang namanya terpanggil hingga detik ini masih setia mengabaikannya begitu saja. Gadis berpakaian muslimah yang berada di sebelahnya tampak menyunggingkan senyum tipis, bermaksud menyapa Vanya mungkin. Vanya mengabaikannya. Seolah menganggap kehadirannya bak angin. Hanya terasa, tapi tak terlihat.
“Pak Lian lagi cari apa?” tanya Vanya. Tanpa rasa malu karena sudah diabaikan. Ia tak mau menyerah, tentu saja! Bahkan sekarang Vanya merasa berani berbicara lebih santai dengan Lian. Perlahan Vanya menanggalkan bahasa bakunya bila di luar kegiatan formal. Berharap kedepannya hubungan mereka bisa dekat dan hal tersebut dapat memudahkan akses Vanya untuk menggapai hati Lian.
“Pak Lian sedang menemani saya, Mbak. Mencari bahan-bahan kue yang saya butuhkan..”
Bukan suara Lian. Karena suara tersebut terdengar lembut di telinga Vanya. Seketika Vanya menoleh pada gadis berpakaian muslimah itu. Senyuman gadis itu semakin lebar saja. Membuat Vanya gemas ingin menarik ujung jilbab yang ia kenakan. Kemudian, mengikat lehernya kuat-kuat! Sadis..
Tapi Vanya ingin bermain cantik. Bila gadis itu bisa bersandiwara menjadi gadis lemah lembut nan anggun, Vanya pun juga bisa! Ia merasa lebih jago dalam hal ini. Lihat saja. Akan Vanya buktikan sekarang juga!
“Oh begitu, ya? Pak Lian baik sekali ya, mau repot-repot mengantar pembantunya..”
Sekata-kata Vanya berucap!
Lian yang tadinya terus mengabaikan kehadiran Vanya, seketika mendelik. Tatapan tajamnya langsung menghunus tepat di sepasang bola mata liar Vanya. Vanya seperti tak mempunyai rasa bersalah sedikit pun. Hal itu membuat Lian naik pitam.
Vanya sendiri memang sengaja menyebut gadis ini dengan sebutan pembantu. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Lian. Apakah masih tetap membisu? Seraya menggapai-gapai bahan kue yang Vanya yakini Lian tak tahu kegunaannya apa! Biasalah. Akting untuk jual mahal pada Vanya. Apalagi di sekitar mereka ada gadis cantik idaman. Hmm..bukannya Vanya tak tahu, jelas dari penampilannya—gadis itu bukanlah seorang pembantu. Tapi feeling Vanya juga mengatakan bahwa dia bukanlah saudara kandung Lian. Tidak ada mirip-miripnya!
“Apa? Kenapa Pak Lian pelototin saya? Memangnya ada yang salah dengan perkataan saya barusan?”
JELAS!
Lian menarik napasnya. Kemudian membuangnya secara kasar. Menghadapi gadis pembangkang aneh ini memang memerlukan tingkat kesabaran yang luar biasa.
“Ketidaktahuanmu itu melukai hati seseorang. Apa kamu menyadarinya?” bijak Lian menegur Vanya. Padahal Vanya sudah mempersiapkan dirinya bilamana Lian membentaknya dengan kata-k********r. Karena Vanya yakin, Lian pasti akan membela gadis muslimah ini.
Tapi ternyata, semua itu justru di luar dugaan Vanya. Sekarang keadaan jadi berbalik pada Vanya, gadis itu merasa tak enak hati. Rasa malu menggulungnya menjadi manusia paling kecil diantara dua orang di hadapannya yang masih setia memamerkan senyuman.
Lian dengan senyum sinisnya. Sedangkan, gadis muslimah itu dengan senyum tipisnya. Walau tak bisa Vanya pungkiri, di sepasang bola mata beningnya terdapat rasa kecewa karena dianggap pembantu oleh orang asing yang tiba-tiba hadir seperti Vanya ini.
“Maaf atas ketidaktahuannya, Yasmin..” ujar Lian dengan segenap ketulusan dalam hatinya.
Vanya ternganga, Lian memohon maaf atas kesalahannya? Ia tidak salah dengar? Astaga! Bila akan begini jadinya, lebih baik Vanya fokus saja pada Lian tadi. Lagi-lagi Vanya semakin dirundung oleh rasa bersalah.
“Tidak apa-apa, Mas Lian. Dia ‘kan tidak tahu.” Gadis yang Vanya ketahui bernama Yasmin itu masih setia memamerkan senyumnya. Entah terbuat dari apa hati gadis ini? Sabar sekali.
Bila Vanya yang berada di posisinya. Sudah pasti Vanya akan mengamuk besar! Enak saja disebut pembantu.
“Memang. Dia hanya orang asing.”
Hati Vanya mencelos mendengar Lian secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya orang asing. Hmm, begini ya ternyata sakitnya tidak dianggap? Daripada Vanya terus membisu bak orang bodoh. Vanya pada akhirnya memohon maaf secara tidak ikhlas pada Yasmin.
Seperti dugaan Vanya. Yasmin juga memaklumi kesalahannya yang jelas menyinggung perasaan Yasmin.
“Kamu ini siapanya Mas Lian?”
“Calon—”
“Calon mahasiswa, Yasmin. Beberapa waktu lalu, saya diundang ke sebuah kampus. Dia ini kebetulan salah satu audien saya dalam seminar tersebut.”
“Ohh..begitu, ya. Salam kenal. Pantas saja kamu memanggil Mas Lian dengan panggilan ‘Bapak’..”
“Sebenarnya bisa aja kok, saya panggil ‘Mas’,” sewot Vanya.
Entah mengapa? Meskipun pembawaan gadis muslimah ini lemah lembut dan adem ayem, Vanya justru merasa kepanasan! Terlebih saat Vanya merasakan adanya ketertarikan gadis ini pada Lian. Semua tersirat melalui pandangan matanya kepada Lian.
‘Sial! Saingan berat,’ batin Vanya sadar diri. Tapi Vanya tidak bisa menyerah dalam waktu dini.
“Mas Lian?” Vanya sengaja menjajal panggilan tersebut secara terang-terangan di depan Lian dan Yasmin. Terlihat ekspresi tidak terima yang Lian tunjukkan. Hal itu justru membuat Vanya bersemangat. Lian memang tak suka dengan panggilan yang Vanya suarakan, tapi Vanya justru gemas sendiri!
Hingga Vanya menegaskan, “Mulai detik ini, di luar kegiatan formal. Saya akan memanggil seperti itu. Terasa lebih nyaman. Kan kedepannya kita akan semakin dekat, Mas..”
“Semakin dekat?”
“Iya, Mbak Yasmin. Do’akan kami berjodoh, ya..” Vanya mengakhiri basa-basi-busuknya. Tak lupa memperdengarkan kekehan nakalnya.
Yasmin tampak terkejut. Sementara Lian wajahnya sudah sangat memerah.
“Yasmin, kamu teruskan saja belanjamu. Saya ada keperluan sebentar dengan gadis ini. Nanti saya akan menyusul kamu. Pastikan ponselmu aktif.”
Tanpa menunggu persetujuan dari Yasmin, Lian segera menyeret tangan Vanya. Mengajaknya ke suatu tempat yang dirasa nyaman untuk menegur keras gadis nakal ini. Bisa-bisanya ia sembarangan mengatakan mengenai ‘jodoh’. Seolah mengisyaratkan adanya hubungan spesial diantara mereka. Padahal kenyataannya, mereka hanya dua orang asing yang beberapa kali terlibat dalam sebuah kejadian. Itu pun semua kejadiannya tidak menyenangkan.
Vanya yang sudah merasakan sakitnya diseret Lian dua kali, terus mengomel sepanjang berjalan. Iya, dua kali! Di kampus dan di toko ini. Mungkin ini sudah menjadi kebiasaan Lian—menyeretnya!
Saat tiba di sebuah lorong yang sepi, karena ini merupakan jalur para pegawai dan jalur evakuasi bila terjadi kebakaran atau hal-hal buruk lainnya di toko berlantai tiga ini. Lian pun segera menghempaskan pergelangan tangan Vanya yang tadi dicekalnya. Wajahnya memerah, Vanya yakin setelah ini bom itu akan meledak. Entah mengapa? Ketika hanya berdua saja dengannya, segala emosi Lian bisa tersalurkan begitu saja.
Vanya justru menyukainya. Walau menyeramkan dan dapat menghisap segala keberanian dalam dirinya.
“Kamu tahu apa yang kamu katakan itu bisa berdampak buruk pada saya? Hah!?”
Benar bukan? Suara Lian meninggi. Pertanda ia benar-benar marah kali ini..
Kemarahan Lian ini sepertinya yang pertama kali. Karena sebelumnya, Lian tidak semarah ini pada Vanya. Hanya karena ucapan Vanya mengenai berjodoh, Lian semarah ini. Hal tersebut lantas membuat Vanya berpikir, Apa sebegitu tidak tertariknya Lian padanya?
“Dia itu sepupu saya! Bisa saja setelah ini dia menceritakan ucapan ngawurmu itu pada kedua orang tua saya.”
Bibir Vanya membentuk huruf O. Batinnya bersorak gembira karena mengetahui status Yasmin yang sebenarnya. Tapi Vanya tetap waspada. Yasmin tampak tertarik pada Lian. Mereka bisa saja menikah. Justru, peluang Yasmin di sini lebih besar. Dari segi fisik sampai segi pendekatan. Memikirkan hal berat itu, kepala Vanya pusing sendiri.
Vanya sengaja membisu. Supaya Lian dapat leluasa mengeluarkan segala uneg-unegnya. Lagipula, dalam keadaan marah seperti ini—Lian tetap terlihat tampan.
Lian melanjutkan kemarahannya. “Apa yang harus saya katakan!? Kamu itu tidak punya otak, ya? Serendah ini caramu mengejar-ngejar saya! Apa sebegitu tertariknya kamu dengan saya? Ada apa di diri saya? Kekayaan? Ketampanan? Atau hal lainnya?”
Dari sinilah, segala kemarahan Lian itu terasa menyakitkan untuk Vanya. Lian yang selalu dapat mengendalikan, kini lepas kendali. Kejam sekali tiap kalimatnya. Menusuk hati dan menghakimi perasaan tulus Vanya.
Tidak berhenti di situ saja. Ternyata masih ada lanjutannya.
Bahkan kali ini pria itu menunjuk-nunjuk wajah Vanya. “Perlu kamu ketahui, banyak hal buruk yang selalu saya sembunyikan dari semua orang. Allah menutupi semuanya dengan baik. Jadi, jangan terlalu penasaran dengan saya! Mengerti kamu!?”
“Saya tidak penasaran pada Mas Lian. Sungguh..” lirih Vanya.
“Jelas! Karena kamu membalutnya dengan rasa ketertarikanmu yang berlebihan itu! Katakanlah saya ini terlalu percaya diri. Tak masalah. Saya dan segala argumen saya—benar di sini. Sementara kamu dan kalimat sanggahanmu itu—hanyalah kemunafikan!”
Sekuat Vanya menahan air matanya. Pada akhirnya luruh juga. Tanpa ada yang mengusap air matanya, lelehan itu terus mengalir. Menjadi pelengkap luka hati di wajahnya.
Tak apa, wajar bila Lian marah. Vanya memakluminya..
Tapi Vanya tak akan menyerah.
“Oke! Anggap saja saya munafik. Tapi saya benar-benar jatuh cinta pada Mas Lian. Apa Mas Lian tahu cinta pada pandangan pertama? Itu yang tengah saya rasakan!”
Akhirnya, Vanya tak peduli lagi dengan reaksi Lian yang mungkin akan semakin menjadi. Bagaimana tidak? Saat ini, Vanya mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan!
Lian terkekeh. Tampak sekali pria ini meremehkan ungkapan cinta Vanya barusan. “Cinta pada pandangan pertama? Kamu hidup di zaman apa? Hei, Gadis Muda! Perasaanmu itu hanya sesaat. Saya pastikan beberapa minggu kemudian, kamu pasti akan menemukan cinta-cinta pandangan pertama lainnya!”
Di bawah sana, tangan Vanya terkepal kuat. Ia sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak ikut meledak di kala Lian meledak-ledak. Seperti mami dan papinya ketika sedang bertengkar dan tanpa sengaja Vanya mengetahuinya. Maminya akan menjadi air yang memadamkan api. Sedangkan api itu perumpamaan untuk sang papi.
“Enggak akan, Mas..” balas Vanya dengan suara parau. Ia masih menangis, tapi tanpa terisak. Tangisnya ini mengindikasikan kepada rasa sakit hati akibat perkataan menyakitkan Lian padanya. Sungguh..semua ini di luar perkiraannya. Padahal Lian selama ini selalu bertutur kata bijak.
“Kamu bukan tipe saya!” sentak Lian yang tak lantas memporak-porandakan segala semangat Vanya dalam mendapatkan hatinya.
Vanya sadar betul. Mungkin ada kaitannya dengan perbedaan yang sangat mencolok antara dirinya dengan sepupu Lian tadi. “Saya bisa menjadi apapun untuk Mas Lian! Termasuk ini..penampilan saya.” Vanya menggenggam ujung bagian bawah kaos pendeknya.
“Tetap saja! Kamu Gadis Pembangkang Aneh yang telah mempunyai kesan buruk di awal perjumpaan kita.” Lian selalu berusaha menyanggah Vanya. Mulai dari sanggahan yang luar biasa menyakitkan sampai yang membeberkan kenyataan seperti barusan.
“Mau kesan buruk atau kesan manis sekali pun, tidak akan mengubah perasaan saya. Saya cinta Mas Lian saat ini, esok, dan sampai nanti.”
“Kamu tidak mengerti juga, ya!? Saya terang-terang menolakmu! Saya tidak sudi bila nantinya berjodoh denganmu!”
“Sudi atau tidak sudi, kuasa ‘kan tetap berada di tangan Tuhan. Tuhan Yang Maha Berkuasa. Atas segala rasa, hati, dan pikiran. Untuk saat ini, bisa saja Mas Lian menolak saya mentah-mentah. Tapi siapa yang tahu bila suatu saat nanti Mas Lian mencintai saya mati-matian. Ingat kata-kata saya ini, Mas..” tutur Vanya berusaha untuk tak ikut berapi-api. Ini adalah titik terhebat pengendalian dirinya. Selama ini, baru Lian seorang yang mampu membuat Vanya bertahan memendam emosinya sedalam ini.
“Tidak akan masuk dalam ingatan saya! Kita akhiri saja perbincangan ini, karena tidak akan ada habisnya! Permisi.” Lian berbalik dan berjalan menjauh dari Vanya yang masih mematung di tempatnya berdiri.
“Iya, tidak akan ada habisnya! Seperti cinta saya pada Mas Lian! Tunggu usaha-usaha saya yang lainnya ya, Mas!” seru Vanya memberitahukan bahwa dirinya belum menyerah.
“Isshh..asal kabur aja! Tapi aku yakin sih, Mas Lian dengar. Ya udahlah. Yang terpenting aku udah dengarin isi hati Mas Lian. Lega. Walau nyelekit luar biasa!” dumel Vanya seraya mengusap kasar air matanya. Ia menyayangkan air mata yang tak terkendali, keluar terus-menerus bersamaan dengan hatinya yang tercabik-cabik. Bila hatinya, pasti tidak akan bisa terlihat Lian secara kasatmata.
Tapi wajahnya? Pasti sangat jelek di mata Lian! Vanya menyayangkan ekspresi jeleknya saat mewek tadi..
“Teruntuk Hatiku, tetap kokoh walau Mas Lian kedepannya bakalan sering ngereog! Apapun itu, ini ujian berat dan jalan satu-satunya menuju hati Mas Lian.” Vanya mengelus dadanya sendiri. Berusaha membesarkan hati bersama niatnya yang masih kukuh menggapai hati Lian.
“Semangat, Vanya!”
***