Merasa sudah dewasa, atau memang sudah dewasa sebelum waktunya, Vanya tidak paham. Yang ia tahu, ia hanya sedang berjuang untuk lebih mengokohkan bahunya. Berusaha sebaik mungkin, meski banyak orang yang mungkin bertanya-tanya tentang mengapa Vanya berusaha sekeras ini? Untuk siapa memangnya? Sementara hidup seorang Irsya Vanya Wiryawan bergelimang harta dari kedua orang tuanya. Papinya merupakan seorang pemilik perusahaan di bidang transportasi yang cukup jaya kariernya. Sementara maminya seorang ibu rumah tangga biasa yang kerap kali didatangi oleh beberapa anak muda, mulai dari anak kuliahan hingga yang sudah menjadi alumni. Rata-rata mereka merupakan jurusan seni melukis. Ya, mami Vanya merupakan seorang pelukis wanita yang cukup terkenal. Karya-karya beliau kadang dipamerkan untuk menggalang dana ke panti asuhan atau ke panti jompo. Benar-benar seorang wanita yang mulia kariernya.
Sedangkan Vanya?
Ia baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) sekitar satu tahun yang lalu. Kini diusianya yang baru menginjak angka sembilan belas tahun, Vanya sudah bisa menghasilkan uang sendiri dengan berjualan baju-baju kekinian anak remaja seusianya hingga orang-orang dewasa. Tak banyak juga orang-orang yang mengacungi jempol mereka pada Vanya. Bagaimana tidak? Nyatanya, Vanya bisa membuktikan bahwasannya tidak semua anak yang terlahir dari keluarga berada itu bersikap manja dan tidak mau berusaha sendiri.
Kegiatan berjualan online Vanya mengalami banyak sekali perkembangan. Dahulunya yang masih sepi, kini sudah mulai ramai dan diminati. Ternyata, harga yang ditawarkan oleh Vanya lebih murah dari pada harga aslinya. Mengapa bisa seperti itu? Karena Vanya mencari tahu supplier yang benar-benar merupakan tangan pertama. Pun juga ia tidak begitu banyak mengambil untung dari berjualannya ini. Toh juga selama ia berjualan, papi dan maminya masih terus memberinya uang jajan dan sebagainya.
Tentang pendidikan Vanya yang selanjutnya, kuliah? Entahlah..
“Vanya?”
“Iya, Ma?” sahut Vanya sembari masih fokus membungkus baju pesanan beberapa orang yang harus dikirim hari ini juga.
“Mami bantu ya? Kamu sepertinya lelah..”
“Nggak kok, Mi. Ini tinggal dikit kok. Mami ke dapur lagi aja, nggak apa-apa. Bentar lagi Papi pulang ‘kan? Vanya juga sudah lapar nih!”
“Sebenarnya ada yang ingin mami bicarakan.”
“Tentang apa, Mi? Kuliah? Duh, Mi..Vanya masih belum minat. Vanya masih suka dagang kayak gini. Enak, bisa dapat uang. Dan juga bisa dapat banyak kenalan supplier baju, bahkan sekarang sudah merembet ke tas dan sepatu hloo, Mi..” celoteh Vanya berharap semoga sang mami tidak memaksanya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Entahlah, Vanya merupakan anak teraneh dari keluarga besarnya yang rata-rata dari orang berada. Omnya seorang bos di usaha pertambangan, sementara anak-anak omnya rata-rata sukses dan menggeluti berbagai bidang pekerjaan. Anak pertama omnya berhasil menjadi seorang marinir, anak keduanya menjadi bagian dari beacukai, sementara anak terakhir atau anak ketiga omnya baru mengenyam pendidikan kuliahnya dua tahun ini, dan digadang-gadang setelah lulus nanti akan menjadi seorang dokter. Intinya, semua masa depan sepupu-sepupunya tertata. Berbeda jauh dengan Vanya yang ogah-ogahan untuk kuliah.
Vanya melirik sekilas ke sampingnya. Ternyata maminya sudah tidak ada di sekitarnya. Syukurlah, Vanya menghela napasnya dengan lega. “Lagian, apa sukses harus berawal dari kuliah? Enggak ‘kan? Banyak kok sarjana yang nganggur. Sekarang itu, yang diperlukan kemampuan di lapangan. Soalnya kebanyakan teori juga percuma kalau nggak dipraktikin!”
“Non Vanya..malah ngobrol sendiri. Ayo turun! Sudah ditunggu Tuan dan Nyonya untuk makan malam.”
“Iya, Mbok. On the way!”
Gadis itu pun bangkit dari duduk lesehannya. Meninggalkan sejenak paket-paket baju yang sudah rapih dibungkusnya tadi. Sebelum benar-benar meninggalkan kamarnya, Vanya sempat berkaca di depan cermin besar miliknya. Sebuah cermin yang kerap kali dibuat untuk mempromosikan dagangannya.
“Oke, Vanya. Hidupmu adalah milikmu. Orang lain tidak berhak atas dirimu. Kesuksesan hanya akan datang ketika kamu bersungguh-sungguh. Maka dari itu, ayo buktikan pada semua orang. Bahwa kamu bisa dengan jalanmu!”
Sering berbicara sendiri memang merupakan hobi seorang Irsya Vanya Wiryawan. Putri pertama dan anak satu-satunya dari keluarga Wiryawan itu memang selalu melakukan hal-hal semaunya sendiri. Wiryawan bersyukur, untungnya segala hal yang Vanya lakukan masih terbilang hal-hal yang positif dan berguna. Karena, meski pun Vanya seorang anak perempuan. Kelak, Vanyalah yang nantinya akan mewarisi segala harta hingga usaha yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Sayangnya, sejak kecil hingga dewasa, Vanya tidak pernah bisa mengikuti jejak Isna—maminya, sebagai seorang pelukis.
Bagi Vanya, melukis itu suatu hal yang sangat sulit dan mustahil untuk dirinya lakukan!
Awalnya memang suasana makan khidmat, hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring, yang dapat terdengar. Hingga deheman Wiryawan—papi Vanya terdengar. Saat itulah mami dan juga Vanya sama-sama menoleh pada kepala keluarga mereka. Biasanya, bila sudah seperti ini akan ada sebuah perbincangan yang terjadi di meja makan. Vanya sendiri sudah bersiap-siap. Mungkin kali ini dewi fortuna tidak berpihak padanya, pasalnya perasaan Vanya tidak enak sedari tadi mendudukkan dirinya di kursi meja makan ini.
“Vanya, bagaimana? Sudah menentukan kamu hendak melanjutkan pendidikan kuliah dimana? Mengambil jurusan apa?”
Nah, firasat memang tidak pernah salah! Serentetan pertanyaan yang keluar langsung dari bibir papinya membuat pacu jantung dalam diri Vanya mulai bekerja dengan sangat keras. Pasalnya, selama ini hanya papinya-lah yang sanggup dan sudah pasti bisa membawa Vanya ke jalan yang diinginkan oleh beliau.
Meski ragu, Vanya tetap memberanikan dirinya untuk menjawabi pertanyaan berat dari sang papi. “Pi, Vanya ‘kan sudah pernah bilang berkali-kali. Vanya itu—“
“Masih nggak mau kuliah?”
Vanya menggeleng saat maminya memotong perkataanya dengan sebuah tanya kembali. Lengkap sudah bila kedua orang tuanya berduet maut memaksanya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Vanya yang seorang diri bisa apa? Bisa menabung dosa bila Vanya terus-terusan membangkang pada kedua orang tuanya.
“Mau sampai kapan kamu menunda untuk melanjutkan pendidikanmu yang seharusnya sudah kamu jalani selama satu tahun ini, Vanya? Apa waktu yang papi berikan untuk kamu beristirahat masih belum cukup?”
Beristirahat? Jadi selama ini papi hanya memberi waktu pada Vanya untuk beristirahat? Bukan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri? Astaga, Vanya salah mengira..
“Vanya kira, Vanya bebas menentukan pilihan hidup Vanya sendiri. Tapi ternyata Vanya salah. Papi sama Mami masih tetap mengambil alih semua pilihan Vanya. Vanya sudah kenyang, Vanya pamit keluar sebentar Pi, Mi. Cari angin..” Vanya pun bangkit dari duduknya. Melenggang begitu saja meninggalkan rumah besarnya.
Gadis itu tidak pergi kemana-mana, kabur pun sepertinya akan percuma. Apa memangnya yang tidak bisa diketahui oleh seorang Wiryawan? Tidak ada kecuali jalan takdir Tuhan. Maka dari itu, Vanya hanya akan berjalan-jalan keluar rumah. Kebetulan letak rumahnya berada di samping jalan raya besar. Dan, jarak rumah dengan alun-alun kota tidak begitu jauh. Vanya putuskan untuk pergi ke sana malam ini.
Tidak ada yang berubah dari setiap jengkal alun-alun kota kelahirannya ini. Vanya masih merasakan udara yang sama—memeluknya seperti beberapa tahun lalu saat kejadian ini pernah terjadi sebelumnya. Hidup bergelimang harta yang mungkin banyak sekali orang atau pun anak-anak yang ingin berada di posisinya. Vanya justru jengah dengan semua ini. Ia tidak bisa sebebas anak-anak lainnya. Menyandang nama kebesaran Wiryawan, nyatanya tidak hanya bahagia saja yang menyelimuti hari-hari Vanya. Duka yang tidak terlihat, serta lara yang menyesakkan masih kerap terasa.
“Bahagia bukan tentang materi. Tapi bebas menentukan pilihan diri sendiri untuk jalan hidup ke depannya nanti.”
“Tapi pilihan kita belum tentu yang terbaik,” sahut seorang pria yang berdiri tidak jauh dari Vanya.
Entah sedang menyahuti perkataan Vanya, atau sedang membalas pesan seseorang dengan ponsel di tangannya, Vanya tidak tahu pastinya bagaimana. Pria itu masih fokus dengan ponsel pribadi miliknya. Jemarinya aktif menari-nari, hal tersebut membuat Vanya yakin bahwasannya pria asing itu tidak sedang menyahuti perkataannya barusan.
Celotehnya seorang diri di tengah keramaian tidak berhenti di situ saja. Vanya kembali melanjutkan perkataannya. “Ingin bebas, ingin lepas. Tapi terlalu khayal untuk diwujudkan. Sementara kedua sayapku tersangkut karena sangkarku terlalu kecil.”
“Sudah takdir.”
Kedua bola mata Vanya melotot seketika. Gadis berusia sembilan belas tahun itu pun bangkit dari duduknya. Ia berjalan menghampiri seorang pria asing yang sudah dua kali menyahuti perkataannya. Ya, Vanya yakin sekarang. Pria itu mendengar segala keluh-kesahnya seorang diri di tengah keramaian ini.
“Bapak sedari tadi menyahuti ucapan saya?” tanya Vanya tanpa mengucap serentetan kalimat basa-basi.
Pria itu memasukkan ponsel yang dipegangnya sedari tadi. Ia kemudian menatap Vanya dengan tatapan yang tidak bisa Vanya artikan. “Kamu sedang berbicara sendiri bukan?”
Dengan lugunya Vanya mengangguk. Tetapi memang benar adanya! Vanya memang sedang berbicara dengan dirinya sejak tadi.
“Ya sudah. Apa saya masih perlu menjawab pertanyaan kamu barusan?”
“Perlu! Kenapa kamu menyahuti setiap perkataan saya!?”
“Sebatas rasa simpati sebagai sesama manusia.”
“……” Vanya tidak bisa berkata-kata lagi. Ia merasa percakapannya dengan orang asing ini sangat aneh. Disudahi saja!
Vanya berbalik. Namun belum sempat Vanya beranjak melangkahkan kakinya. Si pria asing itu berucap kembali, “Kamu masih muda. Masa depan masih panjang. Setidaknya, gunakan masa mudamu untuk mewujudkan keinginan kedua orang tuamu, meski bertolak-belakang dengan pilihan hidupmu.”
“Memangnya kamu siapa berani-beraninya menasihatiku!?”
“Siapa yang menasihati Eneng!? Saya jualan jagung bakar. Mau, Neng?”
“E—enggak, Pak. Makasih!”
Pandangan Vanya menyisir tempat keramaian ini. Berharap masih menemukan jejak pria asing yang menyahuti hingga menasihatinya tadi. Tapi bak ditelan bumi, ia benar-benar tidak bisa Vanya temukan diantara ratusan orang yang tengah bersenang-senang menghabiskan waktu di alun-alun kota ini.
“Kalau ketemu lagi sama itu orang, aku bakal pites-pites! Dan aku bakal bilang, bahwa aku ini bukan peri kayangan yang bisa mewujudkan segala keinginan orang-orang, termasuk kedua orang tuaku sendiri!”
***