Perasaan Lega Vanya

2391 Words
Tepat sekali. Sindiran yang Isna layangkan sukses mengacaukan pernyataan cinta Vanya kepada Lian. Vanya yang refleks karena ketahuan sang mami, langsung menyembunyikan ponselnya di belakang tubuh. Ia meringis lebar dan memutar kedua bola matanya. Sebenarnya saat ini Vanya tengah berpikir keras, bagaimana dirinya bisa terbebas dari masalah kepergok ini? “Bagus yaa.. Bukannya istirahat, tapi malah teleponan sambil sayang-sayangan.” Isna lagi-lagi melontarkan sindiran pedasnya. Kali ini diiringi dengan langkah kakinya yang berjalan mendekat pada Vanya. Persis seperti anak induk yang bersiap untuk menerkam anaknya karena telah membuat suasana hatinya buruk. “M—mami..V—vanya enggak teleponan sama siapa-siapa! Ini tadi V—vanya nonton film! Biasalah. Kalau lagi nonton film, Vanya ‘kan kadang suka gemes sama pemainnya.” Sudah tertangkap basah. Tapi Vanya tetap mengelak sebagai sebuah aksi penyelamatan diri dari omelan sang mami. “Ngelesss terus kamu, ya.. Mami sudah lama pantau kamu. Sudah cukup! Sekarang mana ponsel kamu? Biar Mami cek. Apa benar kamu nonton film?” Mampus! Vanya sudah benar-benar tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya, dengan menggunakan instingnya Vanya yang tengah menyembunyikan ponselnya di belakang tubuh mencoba meraba-raba tombol power untuk mematikan ponselnya. Karena seingatnya tadi, Vanya belum sempat mematikan panggilan suaranya bersama Lian. Sudah kena apes kepergok sang mami, lalu omelan mami terdengar Lian, begitu? Memalukan sekali! Vanya persis anak SMP yang ketahuan berpacaran sembunyi-sembunyi. Padahal selama ia sekolah tidak pernah sekalipun menjalin hubungan diam-diam semacam itu. Vanya berbeda dari teman-temannya yang lain. Walau saat duduk di bangku SMP dan SMA Vanya kerap mendapatkan surat cinta dari lawan jenisnya. Vanya mengabaikan itu semua dan memilih menikmati masa sekolahnya hanya dengan persahabatan yang menyenangkan. Sehingga ia fokus menikmati masa pendidikan dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Tidak ada perasaan sakit hati dan sebagainya. Vanya selalu bahagia. Namun kini, sekalinya Vanya jatuh hati, justru serumit ini. Vanya jatuh hati pada sosok Lian yang selalu menolaknya mentah-mentah. Padahal bila dilihat dengan kasatmata, Vanya tidak jelek-jelek amat. Justru ia merasa lebih cantik daripada Yasmin yang ia ketahui sepupu Lian tapi menatap Lian dengan penuh cinta. Cih! “Haloo…Anak Manis! Kenapa malah bengong!? Mana ponselnya, Sayang? Biar Mami cek terlebih dulu,” tagih Isna dengan memamerkan senyum lebarnya. Akan tetapi, tampak sangat menyeramkan bagi Vanya. Vanya tentu bisa membedakan antara senyum tulus maminya dengan senyum hendak menerkam seperti ini. Terpaksa karena sudah terdesak. Vanya pun menyerahkan ponselnya kepada sang mami. “Ponsel Vanya kayaknya mati deh, Mi. Kehabisan baterai karena keasyikan nonton film..” dalihnya mencoba menjelaskan sebelum maminya bertanya mengenai keadaan ponselnya yang telah mati. Lebih tepatnya Vanya matikan secara sengaja. Bila sudah begini, Isna menyerah untuk mengorek bukti mengenai Vanya yang tadi diketahuinya asyik berteleponan dengan seorang pria. Apalagi tadi, Vanya terlihat sangat senang sekali saat berkali-kali dengan yakinnya mengungkapkan perasaannya. Isna jadi penasaran bercampur khawatir. Mau bagaimana pun juga, Isna menyadari bahwa selama ini Vanya kurang terbuka kepadanya. Mungkin karena Isna sendiri sibuk dengan dunianya, sehingga mengenai kehidupan asmara sang putri—kerap terabaikan. Kini, Isna berjanji mencoba memperbaiki keadaan. Sebagai sesama perempuan, pasti tidaklah sulit untuk terbuka satu sama lain. Dengan menghela napas pasrah, Isna mengembalikan ponsel yang diduga dimatikan secara sengaja itu. Isna mencoba mempercayai dalih Vanya, walau sebenarnya Isna tahu kebenarannya. “Ya sudah. Ini..segera isi daya baterai kamu! Nanti ponselmu rusak.” “I—iya, Mi.” Vanya menerima kembali ponselnya dengan perasaan lega dan curiga. Lega karena maminya pada akhirnya percaya begitu saja. Curiga karena tumben sekali wanita ini tidak memperpanjang perkara. Syukurlah..mungkin karena faktor Vanya yang sedang sakit. Jadi maminya sedikit melunak daripada biasanya. Ada sedikit rasa syukur dibalik penyakit yang tak terduga ini. “Kamu geser sedikit, Van. Malam ini Mami mau tidur sama kamu.” “Ha!? M—mami tidur di sini!?” “Iya, nemenin kamu. Kenapa? Enggak suka?” “B—bukan begitu, Mi. Kalau Mami tidur di sini, terus yang nemenin Papi tidur, siapa? Emangnya Mami udah izin Papi mau tidur sama Vanya di sini?” “Papi enggak masalah Mami tidur sama kamu, karena kamu ‘kan lagi sakit. Mami sudah izin Papi, kok. Kamu kenapa panik gitu? Terganggu dengan kehadiran Mami di sini?” “Enggak, kok! Isshh..Mami. Negatif terus pikirannya ke Vanya.” Vanya mencebik kesal. Tidak Lian, tidak maminya tersayang, mengapa malam ini keduanya sama-sama menyebalkan? Akhirnya, Vanya mengisi daya ponselnya dan mengabaikan benda tersebut teronggok di nakas begitu saja. Kini ia lebih memilih menyamankan diri dengan kehadiran maminya. Setelah bertahun-tahun tidur selalu sendirian, Vanya yang jarang tidur ditemani oleh maminya tiba-tiba merasa gugup. Hmm..tidak biasanya sang mami tidur dengannya, apalagi sejak Vanya besar. Vanya memang selalu dibiasakan mandiri. Dalam hal apapun itu. Walau sebenarnya ia sama saja dengan gadis lain, masih kerap bermanja-manja pada kedua orang tuanya. Terlebih Vanya anak tunggal dari keluarga kaya-raya. Namun, sisi manja Vanya lebih banyak tercurah pada bentuk kasih sayang. Mengingat kedua orang tuanya kerap sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Di samping Vanya, kini Isna berbaring dengan nyaman. Pada cahaya yang remang-remang, keduanya masih sama-sama enggan memejamkan mata dan memandang atap kamar ini. Berharap bintang dan bulan di atas sana mampu menembus atap kamar, mungkin. Ah..indahnya bila hal itu bisa sampai terjadi. Tapi jelas tak mungkin! “Ekhm..Mami belum tidur?” Vanya mencoba berbasa-basi, mengusir keheningan. Mereka tidak sedang berperang dingin, mengapa saling diam? Isna menoleh sebentar. Kemudian, kembali menatap ke atas sana. “Kamu sendiri juga belum tidur tuh..” “Iya, soalnya ‘kan tadi Vanya sudah tidur.” Kali ini alasan Vanya cukup masuk akal. Tetapi Isna meralatnya, “Pingsan.” Sehingga membuat Vanya terkekeh kecil. Mendengar kekehan putrinya di saat sedang sakit seperti ini, Isna semakin yakin bila banyak yang ia lewatkan dalam kehidupan sang putri. Ia merasa bersalah. Kedepannya ia akan lebih perhatian pada putrinya ini. Dengan sengaja Isna menyinggung perihal kekehan Vanya saat sedang sakit. “Kamu bahagia banget. Padahal lagi sakit.” “Iya. Soalnya ‘kan tidurnya bisa ditemenin Mami!” “Helleh. Pasti karena kamu lagi jatuh cinta ‘kan? Ngaku sama Mami. Kayak Mami enggak pernah muda aja.” Vanya terdiam. Maminya ini seperti peramal. Serba tahu apa yang saat ini tengah dirasakan oleh hatinya, sampai-sampai sakit pun tidak terasa. Habisnya tadi Vanya berhasil menghubungi Lian via panggilan video dan panggilan suara. Betapa menyenangkan hati Vanya saat ini! Semangat sembuh berkobar dalam dirinya. Berharap esok ia bisa kembali beraktivitas seperti biasa dan mencari-cari kesempatan untuk bertemu Lian. Ah, betul sekali! Vanya harus memutar otaknya untuk bisa mempunyai alasan bertemu Lian. Dengan begitu, Vanya bisa perlahan dekat dan meraih hati Lian. Vanya tak ingin ditikung oleh siapapun itu. Apalagi wanita muslimah bernama Yasmin-Yasmin itu! “Kenapa diam saja? Bingung ya caranya dapatin hati pria yang sudah buat kamu jatuh cinta itu?” Tepat sekali pertanyaan Isna. Seketika Vanya memiringkan tubuhnya, tak peduli dengan selang infus yang melekat di tangannya. Tidak akan kenapa-kenapa. Vanya sudah mencari posisi nyamannya. Memasang raut wajah mendungnya. Vanya berucap lirih, “Mami kok tahu, sih..” “Ya tahulah! Itu di dahimu ada tulisan ‘GAGAL MENAKLUKKAN HATI PRIA’,” ejek Isna kepada putrinya. “Ishh..Mami!” kesal Vanya. Sebenarnya Isna hanya bermaksud memancing. Tapi karena Vanya mudah sekali dipancing, yaa sudah langsung kepada intinya saja. Isna akan benar-benar mengorek semuanya malam ini. Tak peduli bila dini hari menyambut. Ia akan mengusahakan kedua matanya tetap terbuka dan telinganya mendengar setiap cerita, keluh-kesah, Vanya yang diketahuinya sudah mulai memasuki kisah asmara. Ah..Isna rasanya tidak rela. Anak gadisnya jatuh cinta pada seorang pria! “Ceritakan apa yang kamu rasakan. Biar Mami bisa memberi saran.” “Beneran, Mi? Soalnya ini masalah serius.” “Iya..” Isna tersenyum dan turut memiringkan tubuhnya supaya dapat dengan jelas memandang wajah sang putri yang tengah dilanda jatuh cinta. Vanya pun mulai bercerita mengenai segala kebaikan Lian. Pertemuan mereka pertama kali hanya dijelaskan saat keduanya bertemu di lorong. Titik. Tidak beserta dengan insiden buruk yang terjadi di sana, karena Vanya tidak ingin maminya memberi tanda buruk pada Lian. Walau seujung kuku pun. Pikiran Isna ini seperti diarahkan kepada hal-hal baik mengenai diri Lian. Walaupun terpaksa harus Vanya ceritakan mengenai penolakan-penolakan Lian. Toh, tujuan Vanya kali ini memang hendak meminta saran sang mami yang lebih berpengalaman daripada dirinya yang baru merasakan. Di akhir ceritanya, Vanya langsung to the point meminta saran. “Menurut Mami, Vanya harus apa?” “Harus menerima kenyataan.” “Sesimpel itu!?” Vanya hampir tidak percaya dengan jawaban sang mami. Ia merasa membuang napasnya sia-sia untuk bercerita segala kebaikan Lian. “Iya. Soalnya cerita kamu itu berlebihan, Vanya. Coba kamu lebih jujur pada Mami. Kalau dia nolak kamu, Mami rasa dia tidak mungkin bersikap lembut. Mami salah?” Vanya menggeleng. Ia ternyata memang tidak bisa membohongi wanita yang merupakan bidadari tak bersayapnya ini. “Mami benar. Sangat-sangat benar. Mas Lian itu dingin.” Isna mengulum senyumnya. “Oh..jadi namanya Lian?” “Iya. Mami kenal!?” “Tidak,” jawab Isna dengan cepat, karena ia merasa nama ‘LIAN’ di dunia ini banyak. “Pemilik L’Biscuit, Mi.” “APA!?” Melihat keterkejutan di wajah sang mami. Vanya merasa sangat senang. Ia malah dengan bangganya mendeskripsikan sosok Lian. “Pebisnis muda yang terkenal itu loh, Mi. Mami sekarang tahu ‘kan orangnya? Udah ganteng, mapan, pekerja keras, kurangnya dimana coba?” “Kurangnya di kamu! Sadar diri, Sayang..” Tangan Isna membelai dagu Vanya. Mungkin bila Danisha ada di sini, sudah pasti gadis itu akan tertawa puas. Menertawai tanggapan Mami Vanya yang terlampaui apa adanya. Vanya seketika menepis tangan Isna. “Kenapa memangnya kalau Vanya suka bahkan jatuh cinta ke Mas Lian!? Salah ya, Mi?” “Tidak salah, kok. Karena dia lawan jenis kamu. Itu artinya kamu normal. Tapi, yang bikin Mami syok..” Vanya harap-harap cemas menunggu kelanjutan ucapan Isna. Hingga terdengarlah sebuah tanya yang Vanya yakin bisa menjawabnya dengan mudah, “Kenapa harus dia orangnya?” “Karena kalau bukan Mas Lian, Vanya enggak jatuh cinta! Kalau bukan Mas Lian, Vanya enggak akan sekukuh ini! Hanya Mas Lian pokoknya, Mi. Titik.” Pernyataan tegas Vanya membuat Isna tidak bisa berkata-kata sejenak. Ia mencoba menangani syoknya karena baru mengetahui identitas pria yang dicintai putrinya. Bila tidak salah, Isna merasa ini kali pertama Vanya jatuh cinta. Dan, kepada Lian yang notabenenya berusia jauh di atas Vanya. Isna tidak bisa membayangkan bila Lian menerima cinta Vanya. Begitu pun sebaliknya. Bukan hanya perihal usia, tapi pemikiran mereka yang sudah pasti jauh berbeda. Vanya yang sepertinya masih kerap bersenang-senang. Sementara Lian yang sudah pasti mulai serius menjalani hari-harinya. Setahu Isna, Lian memang seorang pria yang sudah berusia matang dan siap mengarungi bahtera rumah tangga. Walau Isna sempat mendengar kabar beberapa tahun yang lalu mengenai Lian yang ditinggal menikah oleh kekasihnya. Lama tak mendengar kabar dari anak kerabat Papi Vanya, tiba-tiba kini putrinya mengaku jatuh cinta kepada sosok tersebut. Apakah ini yang disebut jalan takdir? Ya, Isna mengenal baik sosok Papa Lian karena beliau teman baik Papi Vanya. ‘Mengapa dunia sesempit ini?’ batin Isna yang berusaha percaya dengan cerita Vanya. Semoga Isna tidak salah mengenali Lian yang ia maksud dengan Lian yang dimaksud putrinya. “Mi..” panggil Vanya yang kemudian memecah segala pikiran Isna tentang anak salah seorang teman Papa Vanya. Sebelum Vanya sempat berkata-kata lagi. Isna lebih dulu menyela, “Dengar Mami baik-baik.” Vanya mengangguk patuh. Ia mengunci rapat-rapat bibirnya dan hanya memfungsikan kedua telinganya dengan baik. “Papi dan Papa Lian berteman baik.” “YES!! Kalau emang udah jodoh. Enggak akan kemana ya, Mi..” Vanya kesenangan. “Kamu jangan senang dulu. Memangnya, kamu bisa menebak bagaimana reaksi Papi? Yaa, kalau Papi senang. Kalau Papi marah dan malah menceramahi kamu untuk fokus menempuh pendidikan kuliah, bagaimana?” “Papi bakalan senang kok, Mi! Percaya deh sama Vanya!” “……” Isna tak bisa berkata-kata. Ia hanya menghela napasnya. Pikirannya mulai bekerja, menduga-duga bagaimana reaksi Papi Vanya bila mengetahui tentang hal ini. “Iya, Mi. Mami tenang aja. Soalnya Vanya enggak bakalan main-main sampai ganggu kuliah Vanya.” Vanya menjeda sebentar kata-katanya. Karena kelanjutan kalimatnya ini pasti akan sangat mengejutkan Isna. “..karena Vanya maunya langsung nikah aja, Mi!” “HA!? NIKAH!?” Isna langsung mengubah posisi tidurnya menjadi duduk tegap. Vanya pun mengikuti sang mami yang tiba-tiba duduk. “Iya! Vanya bakalan minta Papi buat nikahin Vanya sama anak teman Papi, MAS LIAN.” Vanya sengaja menekankan nama Lian pada perkataan yakinnya barusan. Hal tersebut sontak membuat otak Isna semakin tidak bisa diajak berkompromi. Wanita itu kemudian geleng-geleng kepala karena masih tidak percaya dengan ucapan putrinya barusan. Terlepas dari bercanda atau serius, ini seperti mimpi bagi Isna. Isna mulai curiga. “Dokter Victor sepertinya menambahkan obat bius yang efeknya cukup berpengaruh dengan kinerja otakmu, Van!” “Vanya serius, Mi. Vanya enggak mau pacaran. Lagian Mas Lian nolak Vanya terus! Nikah aja, deh..” “Kamu jarang minta-minta ke Papi. Tapi sekalinya minta, permintaan kamu ini bisa bikin Papi naik darah!” “Ishh..Mami! Kan belum dicoba. Enggak boleh pesimis. Siapa tahu Papi sebenarnya diam-diam kepingin nimang cucu,” ucap Vanya semakin melantur kemana-mana. “HUSSS! DIAM!” Vanya terkekeh puas. Sepertinya ia berhasil membuat maminya panik. Walau sebenarnya ucapan Vanya tidak sepenuhnya melantur. Ada seriusnya. Terutama pada bagian Vanya ingin dinikahkan dengan Lian. Lagipula, tidak masalah menempuh pendidikan saat sudah menikah. Justru kedepannya Vanya merasa Lian bisa membantunya setiap saat, setiap waktu. Betapa menyenangkannya bersuamikan Lian.. Baru membayangkan saja, Vanya rasanya mau pingsan. Saking bahagianya! Isna mencoba tak menghiraukan ucapan melantur Vanya dan kembali pada posisinya semula. Diikuti Vanya. “Sekarang tidur. Pejamkan mata kamu..” titah Isna dengan suara selembut mungkin. Tapi Vanya masih tak mengindahkan tutur lembutnya. “Ayo! Tunggu apalagi!?” Baiklah. Perbincangan malam menjelang dini hari ini, sepertinya memang berakhir sampai di sini. Vanya pun pasrah. Walau sebenarnya ia masih belum puas menceritakan perasaan cintanya kepada Lian. Karena tidak akan menemui ujungnya. “Bentar, Mi. Vanya baca do’a dulu. Siapa tahu nanti bertemu Mas Lian dalam mimpi!” “VANYA!? KAMU BUAT MAMI TIDAK BISA TIDUR!” ‘Selamat berpikir keras, Mamiku..’ Vanya tersenyum jahil. Kemudian memejamkan kedua matanya dengan perasaan gembira. Tanpa rasa bersalah sedikit pun akan keadaan sang mami. Entah mengapa? Vanya merasa sangat lega seusai menceritakan mengenai perasaannya kepada sang mami. Kini Vanya hanya berharap, semoga kedepannya jalan untuk bersama dengan Lian semakin terbentang luas. Apalagi setelah Vanya mengetahui sebuah fakta adanya jalinan pertemanan diantara para papa. Menikah? Vanya akan selalu siap bila dengan Lian orangnya! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD